Mohon tunggu...
Ati Maria Susila
Ati Maria Susila Mohon Tunggu... karyawan swasta -

...bercerita dan menjadi bagian cerita...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Riuh Klackson di Tengah Macet

4 Mei 2013   15:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:07 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari saya membaca artikel di sebuah Harian Ibukota, saya lupa tanggalnya. Selain tulisan yang panjang tentang kemacetan, disana juga dimuat sebuah foto ribuan kendaraan yang memadati sebuah jalan raya yang menjadi jalur utama dari salah satu arah jalan kota pendukung Jakarta.  Tampak dalam foto itu padatnya sepeda motor yang saling berjejalan, seperti tanpa sela antara sepeda motor yang satu dengan sepeda motor yang lain.

Saya tersenyum sambil bergumam, bisa jadi salah satu diantara ribuan pengendara motor itu adalah saya. Karena sebenarnya saya adalah salah satu penikmat ( kalau boleh saya gunakan istilah tersebut ) kemacetan harian di sepanjang jalan Bekasi menuju Jakarta.  Mengapa saya katakan bahwa saya sebagai 'penikmat', karena bagi sebagian orang yang  mengalami kemacetan setiap hari di sepanjang jalan itu, hanya satu kata yang menghibur hati  "nikmati saja...".

Macet memang sudah menjadi agenda rutin untuk kota Jakarta sekaligus juga melibatkan kota-kota pendukung di sekitarnya seperti Bekasi, Bogor dan Tangerang.  Bukan rahasia lagi perjalanan menuju kantor di pagi hari yang berjarak hanya 25 km dari Bekasi ke Jakarta harus di tempuh selama satu setengah jam di pagi hari.

Saya memulai perjalanan ke kantor setiap hari pada pukul 05:30 WIB. Begitu masuk ke Jalan Raya Bekasi arah Jakarta, saya sudah dihadapkan pada kemacetan.  Masih beruntung di hari kerja di jam tersebut sepeda motor masih bisa dipacu pada kecepatan 20 km/ jam. Akan lebih parah diwaktu musim penghujan, dan semua kendaraan berjalan lebih lambat bahkan bisa terhenti pada 0 km/jam. Yang berarti tidak tersisa celah sedikitpun bagi sepeda motor sekalipun untuk mendahului kendaraan yang lain.

Pada situasi ini setiap pengguna jalan memang di uji kesabarannya. Mereka yang memahami bahwa hampir semua pengguna jalan itu di jam tersebut memiliki kepentingan untuk mencapai tempat tujuan pada waktu tertentu, akan lebih sabar menghadapi perjalanan yang tersendat. Namun tidak sedikit pula, para pengguna jalan yang secara emosional menganggap diri paling harus di dahulukan. Selain menggunakan bahu jalan untuk menerabas kemacetan,  tak jarang mereka juga melawan arus dengan menggunakan jalur dengan arah sebaliknya.  Padahal di ujung jalan lain di persimpangan misalnya, penggunaan jalur yang melawan arus itu akan menyebabkan pertemuan dengan kendaraan dari arah yang lain. Dan arus kendaraan dari arah lain tersebut juga akan menjadi tersendat, bahkan tak jarang berhenti tepat di persimpangan. Sehingga semua arus akan terhenti, dan jejalan kendaran di seputar persimpangan akan lebih padat.

Dalam kondisi tersebut hampir setiap pengendara merasa menjadi orang yang paling benar. Mereka merasa berhak untuk menegur atau memarahi pengendara yang lain dengan harapan bisa mengurai macet dengan kemarahannya. Cara paling mudah untuk 'memarahi'  adalah dengan menekan klackson sekuat-kuatnya. Dan ini memicu pengemudi kendaraan lain untuk melakukan hal yang sama bahkan lebih kencang lagi suaranya. Bukan keadaan 'lancar' yang didapat, malah semakin riuh sepanjang jalan oleh paduan klackson yang bersahutan. Bukan saja pencemaran udara yang didapat dari macet, tapi juga  pencemaran suara.

Tidak ada yang salah pada suara klakcson. Setiap kendaraan pasti dilengkapi dengan fitur klackson. Seperti juga suara pada tubuh kita, klackon diciptakan untuk menyempurnakan satu bagian utuh sebuah kendaraan. Tapi tentu saja bagi penciptanya, keberadaan 'sumber suara' sebagai kelengkapan kendaraan bermotor penggunaannya di kembalikan pada kebutuhan masing-masing pemilik perangkat itu sendiri. Dan masing-masing pengunaan klackson sangat bergantung pada attitude dan rasa hormat pada etika.  Seperti juga suara dari mulut kita, tentang kapan waktu yang tepat untuk Klackson dibunyikan sangat bergantung pada penggunanya. Karena ini sangat terkait dengan kepedulian kita pada emosi yang muncul pada diri siapapun di sekitar kita yang turut mendengar, saat klackson tersebut dibunyikan.

Pada situasi macet tersebut, siapapun tentu saja berhak membunyikannya sesuai kehendak hati. Dan akibat yang muncul dari dibunyikannya klackson di setiap kemacetan, juga menjadi resiko setiap orang yang ada disana . Hanya masalahnya bagaimana bila itu terjadi setiap hari, seiring dengan kemacetan yang terjadi. Sehingga bukan saja polusi udara yang didapat dari kemacetan, waktu yang terbuang, juga pencemaran suara. Penting atau tidak, semua kembali pada setiap orang yang menjalaninya dan kepentingan yang didapat dari masalah kemacetan Jakarta yang sampai saat ini belum ditemukan pemecahannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun