Mohon tunggu...
MG Kurniawan
MG Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Keturunan Adam a.s.\r\n\r\nGerbang Ilmu: http://www.mutiarapublic.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Biarkanlah Jiwamu Berlibur, Hei Penyair: Kajian Ekokritik Sastra Puisi Karya Wiji Thukul

6 Juli 2014   23:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:14 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Puisi Biarkanlah Jiwamu Berlibur, Hey Penyair dalam Perspektif Ekokritik Sastra

*mgkurniawan

Biarkanlah Jiwamu Berlibur, Hey Penyair (selanjutnya disingkat BJBHP) adalah salah satu puisi yang terhimpun dalam antologi puisi Nyanyian Akar Rumput (selanjutnya disingkat NAR)karya Wiji Thukul. Antologi puisi tersebut terdiri dari tujuh bab, diantaranya Bab I: Lingkungan Kita si Mulut Besar, Bab II: Ketika Rakyat Pergi, Bab III: Darman dan Lain-Lain, Bab IV: Puisi Pelo, Bab V: Baju Loak Sobek Pudaknya, Bab VI: Yang Tersisih, dan Bab VII: Para Jenderal Marah-Marah. BJBHP sendiri terdapat dalam Bab II: Ketika Rakyat Pergi, tepatnya pada halaman 87—89. BJBHP adalah salah satu puisi terpanjang, totoal 58 baris, dalam NAR.

Tema yang dibawa dalam NAR sangat beragam, mulai dari agama, pendidikan, kebudayaan, sampai tema-tema lingkungan. Tetapi tetap, ada satu hal yang tidak pernah berubah dari puisi-puisi Wiji Thukul. Bertema apapun, puisinya tetap mengandung unsure kritik social. Begitu juga halnya dengan BJBHP yang menurut pengamatan adalah salah satu puisi paling komprehensif jika dilihat dari segi “apa-apa yang dibicarakan”. Salah satu tema yang diangkat dalam BJBHP adalah ekokritik sastra. Setidaknya tercatat terdapat lima bagian yang nantinya akan dianalisis satu per satu dalam artikel ilmiah ini.

Perhatikan cuplikan puisi BJBHP berikut

(1) segarkanlah paru-paru dengan pemandangan-pemandangan hijau

Dalam penggalan tersebut, terlihat bahwa Wiji Thukul mengesankan satu-satunya yang bisa menyegarkan badan adalah pemandangan-pemandangan hijau (baca: pegunungan, hutan, dan lain-lain). Bisa jadi, penyair yang punya nama samaran Aloysius Sumedi ketika bersembunyi di Kalimantan ini juga menyarankan hal tersebut kepada dirinya sendiri. Sekadar catatan, Wiji Thukul adalah perokok, dan dalam penggalan tersebut disebutkan segarkanlah paru-paru, karena perokok memang mempunyai paru-paru yang kurang sehat.

Kemudian perhatikan baris puisi berikut.

(2) pergilah ke parangtritis menikmati gubuk-gubuk penduduk yang menangkap jingking

Di situ terlihat bagaimana Wiji Tjukul sangat piawai dalam menggambarkan suasana riil yang terjadi di Pantai Parangtritis. Dalam kenyataannya, memang penduduk-penduduk parangtritis selain menyewakan gubuk sebagai tempat singgah wisatawan juga menjual peyek jingking. Penulis seolah ingin mengatakan bahwa alam dalam keadaan tertentu akan sanggung membuat jiwa siapapun merasa sedang berlibur.

Kritik mengenai lingkungan yang semakin hari semakin rusak mulai muncul dalam penggalan puisi berikut.

(3) atau pergi menyelamlah ke keributan jalan raya kotamu

Dalam penggalan tersebut, sejauh yang bisa dianalisis, adalah mengatakan mengenai jalan raya-jalan raya di kota yang semakin hari semakin rebut (baca: macet). Pertumbuhan kendaraan sangat masif, sedangkan pertumbuhan jalan raya mandek. Jalan raya juga menjadi ajang bagi polusi udara untuk meracuni lingkungan yang kita tinggali sekarang ini. Asap dari sepeda motor, mobil, dan angkutan umum berhasil membuat udara yang kita hirup menjadi tidak layak. Dan Wiji Thukul berhasil menggambarkan semua itu dengan sangat cantik dan rapi sekali.

Penggalan puisi di bawah ini juga memperlihatkan kritik lingkungan yang dimunculkan Wiji Thukul.

(4) dan membiarkan penyelewengan kekuasaan

membangung gedung-gedung, melebarkan jalan raya dan menyingkirkan kaki lima

Dalam penggalan puisi tersebut yang dikritik adalah pemerintah yang menyelewengkan kekuasaan sekaligus masyarakat yang membiarkannya. Bagaimana gedung pencakar langit dibangun dengan tanpa menghiraukan keseimbangan lingkungan. Bagaimana jalan raya dilebarkan dan memakan ruang terbuka hijau yang seharusnya dijadikan alat paling ampuh penangkal polusi. Dan lagi-lagi, Wiji Thukul berhasil mengemas kritik sosial mengenai lingkungan dengan sangat rapi.

Berikut penggalan puisi BJBHP karya Wiji Thukul yang paling komprehensif dan faktual kritik sosialnya.

(5) jika kita masih punya malu pada diri sendiri

dan berhenti mengotori teluk jakarta dengan kotoran industri

berhenti membabati hutan-hutan kalimantan

Dalam penggalan tersebut yang pertama dikritik adalah teluk Jakarta yang tercemar oleh kotoran industri. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa teluk Jakarta tercemar oleh limbah industri dan menyebabkan banyak ikan mati. Padahal ikan dan hewan-hewan laut lainnya (kerang hijau, kijing, dan lain-lain) adalah sumber protein pokok masyarakat pesisiran teluk Jakarta. Selain itu, kualitas air di teluk Jakarta juga sangat buruk. Hal ini terjadi karena manusia (khususnya pengelola pabrik yang membuang limbahnya ke teluk Jakarta) sama sekali tidak mempertimbangkan kelestarian lingkungan dalam perbuatannya. Padahal Ibnu Khaldun (Susilo, 2012:30) pernah menyatakan bahwa bentuk-bentuk persekutan hidup manusia muncul sebagai akibat dari interaksik iklim, geografi, dan ekonomi. Ketiga bagian dari lingkungan itu juga bersifat sangat menentukan corak temperamen manusia. Artinya bahwa seluruh aspek budaya, perilaku bahkan “nasib” manusia dipengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada lingkungan.

Kritik lingkungan kedua yang dilontarkan adalah mengenai hutan-hutan di Kalimantan yang semakin lama semakin habis. Menurut data terakhir yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan tahun 2006, hutan di Kalimantan selama lima tahun terakhir mengalami deforestasi 2,83 juta hektar per tahun. Dengan begitu hutan yang tadinya seluas 120,35 juta hektar, pada saat itu yang bisa berfungsi maksimal hanya sekitar 70 juta hektar dan semakin lama akan semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan kualitas udara di Indonesi secara keseluruhan semakin buruk. Lagi-lagi fakta ini menguatkan bahwa nasib manusia tunduk pada lingkungan. Ironisnya, lingkungan tersebut rusak gara-gara ulah jail tangan-tangan manusia sendiri.

Pelajaran yang Kita Bisa Petik

Ralph Metzner (dalam Tucker dan Grim, 2007:205) pernah mengatakan bahwa krisis lingkungan globab adalah katalisator bagi pengkajian ulang nilai-nilai dan analogi yang sangat luas jangkauannya di dalam setiap bidang pengetahuan dan penyelidikan manusia. Artinya adalah bahwa krisis lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya membuka peluang yang sangat lebar bagi kita, semua umat manusia, untuk kembali berkaca, untuk kembali berefleksi, dan untuk kembali memikirkan mengenai lingkungan.

Apa yang dilakukan Wiji Thukul dalam puisi BJBHP adalah salah satu usaha tersebut. Tentang bagaimana seorang penyair mengkaji ulang nilai-nilai lingkungan dan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Apa yang ditulis dalam artikel ilmiah ini adalah juga merupakan bagian dari usaha penyelidikan mengenai lingkungan. Bahwa kerusakan lingkungan, seharusnya, tidak hanya harus disikapi dengan terus menerus meradang. Namun, kita harus mencari cara bagaimana mengatasi krisis tersebut. Salah satu caranya adalah dengan menganalisis karya sastra-karya sastra yang mengandungi nilai kritik krisis lingkungan untuk kemudian dijadikan pijakan mengambil keputusan yang bisa saja menanggulangi krisis lingkungan itu sendiri.

DAFTAR RUJUKAN

Kartikasari, F. 2013. Pengkajian Puisi. (http://fitrikartikalee.blogspot-.com/2013/01/pengkajian-puisi.html), (Online). Diakses pada 13 April 2013.

KBBI Offline v1.3.

Lestari, N.M. 2011. Tugas Analisis Puisi “Lonceng Tinju”. (http://ahiru-melodrama.blogspot.com/2011/11/tugas-kajian-puisi-analisis-puisi.html), (Online). Diakses pada 13 April 2013.

Ratna, N.K. 2013. Stilistika (Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---------------. 2013.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sachoemar, S.I. dan Wahjono, H.D. 2007. Kondisi Pencemaran Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta. Jakarta: JAI Vol.3, No.1 2007.

Susilo, R.K.D. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.

Thukul, W. 2014. Nyanyian Akar Rumput. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tucker, M.E. dan Grim, J.A. 2007. Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius

Waluyo, H.J. 2003. Apresiasi Puisi (Untuk Pelajar dan Mahasiswa). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Widyartono, D. 2011. Pengantar Menulis&Membaca Puisi. Malang: UM Press.

Wellek, R. Dan Warren, A. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. (Dialihbahasakan oleh Melani Budianta).

Yulistira, D. 2013. Kerusakan Hutan Tak Dapat Dihindari?. (http://fppb.ubb.ac.id/?Katagori=Lingkungan&&judul_artikel=Kerusakan+Hutan+Tak+Dapat+Dihindari?&&id=366&&Page=artikel_ubb&&ID_Menu=366), (Online). Diakses pada 20 Juni 2014.

Zulkifli, A. dkk. 2013. Wiji Thukul: Teka-teki Orang Hilang (Seri Buku Tempo Prahara-Prahara Orde Baru). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun