Mohon tunggu...
MG Kurniawan
MG Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Keturunan Adam a.s.\r\n\r\nGerbang Ilmu: http://www.mutiarapublic.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Pram: Kedigdayaan Proletar, Ironi Borjuis, dan Hipokrisi Politik Lintas Zaman Novel Arok Dedes

5 Juli 2014   10:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:24 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MEMBACA PRAM: KEDIGDAYAAN PROLETAR, IRONI BORJUIS, DAN HIPOKRISI POLITIK LINTAS ZAMAN NOVEL AROK DEDES

Esai oleh: M.G. Kurniawan

“Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.” (Dang Hyang Lohgawe-Arok Dedes hal. 261)

PENGANTAR: USAHA MENGISI RUANG YANG KOSONG

Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya disingkat PAT) lahir di Blora pada 6 Pebruari 1925. Satu-satunya orang Indonesia yang namanya berkali-kali dinominasikan sebagai peraih Nobel Sastra tersebut hampir saja dihapuskan dari sejarah bangsa ini dengan jalan pembredelan karya-karyanya, dianggap komunis, sampai dituding subversif. Namun, toh PAT tetap tegak berdiri dan meneruskan kerja “politiknya” (menulis, menulis, dan menulis).

Hal tersebut diperkuat dengan pendapat PAT mengenai dunia kepenulisan yang dihembuskan lewat salah satu karya sastranya, Anak Semua Bangsa (selanjutnya disingkat ASB), sebagai berikut.

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (ASB, 2011:x)

Ungkapan yang dalam ASB dilontarkan oleh Nyai Ontosoroh tersebut terbukti diimplementasikan betul oleh PAT. Bersama dengan penerbit Hasta Mitra, PAT tetap memberikan sumbangsih kepada Indonesia dengan terus menerus menulis buku kemudian menerbitkannya. Hasilnya? Bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya (30 April 2006, 81 tahun), (pemikiran melalui tulisan) PAT tetap abadi. Napasnya melanglangbuana sampai jauh, diterjemahkan dalam lebih kurang 33 bahasa, dan diamini oleh banyak orang.

Salah satu karyanya yang hingga kini menjadi perbincangan hangat adalah novel sejarah Arok Dedes (sesudahnya disebut AD). AD adalah seri pertama dari Tetralogi Buru. Mata Pusaran (ditemukan dalam kondisi remuk cacat, tersisa hanya halaman 232—362), Arus Balik, dan Mangir (satu-satunya karya PAT yang berbentuk naskah drama). Secara umum, ADmerawikan kisah mengenai coup d’etat (kudeta) pertama yang terjadi dalam sejarah Nusantara (Indonesia). Menjadi menarik ketika, meminjam istilah Acep Iswan Saidi, PAT dianggap melakukan dekonstruksi besar-besaran mengenai cerita Ken Arok dalam AD. Sejarah Nusantara pada awal abad ke-13 Masehi tersebut oleh PAT diberangus habis segala sesuatu yang berbau mistik dan irasional. Seperti yang pernah dikatakan Ong Hok Ham (dalam Firdausi, 2010:6), “Arok Dedes ala Pram sungguh berbeda dengan kisah Arok-Ken Dedes yang pernah dipelajari semasa SD-SMP-SMA dari buku-buku sejarah terbitan Orde Baru.”.

Jika dibandingkan dengan buku-buku sejarah terbitan rezim Orba (contoh: Pararaton versi Drs. R. Pitono Hardjowardojo), memang novel ADkarya PAT banyak sekali ditemukan perbedaan. Mulai dari mitos keris Empu Gandring (oleh PAT diganti dengan gerakan militer Gandring) sampai dengan mitos Arok adalah keturunan langsung Dewa Brahma (bahkan oleh PAT sama sekali tidak disinggung). Fakta tersebut menjadikan novel ADkarya PAT sering dijadikan objek penelitian. Setidaknya ditemukan tiga penelitian mengenai novel ADkarya PAT. Pertama Aplikasi Teori Antonio Gramsci Dalam Kajian Sosiologi Sastra Terhadap Novel AD Karya Pramoedya Ananta Toer (Suhariyadi, 2009). Penelitian tersebut fokus pada bagaimana paradigma politik PAT dalam konteks sosiokultural yang berimbas pada tampaknya bentuk-bentuk indoktrinisasi ideologi Marxis (realisme-sosialis) dalam novel AD.

Kedua, Perancangan Novel Grafis Adaptasi AD Karya Pramoedya Ananta Toer (Dahniar Rahmi Firdausi, 2010). Firdausi melalui penelitiannya berhasil menghasilkan bentuk lain dari novel AD karya PAT. Alih wahana dari novel konservatif ke novel grafis dimaksudkan agar segmentasi penikmat karya PAT lebih luas dengan jalan penyampaian dan pengemasan cerita yang sama sekali baru (Firdausi, 2010:15). Ketiga, Representasi Perempuan dalam Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer (Tinjauan Kritik Sastra Feminis) (Sumiyadi, 2011). Melalui salah satu tokoh dalam novel AD, Sang Pramesywari Ken Dedes, Sumiyadi mengetengahkan mengenai dekonstruksi dominasi ideologi patriarki di Jawa yang dilakukan oleh PAT.

Berangkat dari fakta tersebut, penulis menganggap ada semacam “ruang kosong” dalam penelitian-penelitian mengenai novel ADkarya PAT. Ruang kosong tersebut bisa diartikan sebagai tidak adanya penelitian yang pembahasannya fokus dan khusus pada perjuangan kelas dalam novel ADkarya PAT. Oleh karena itu, esai ilmiah ini akan mencoba menjawab pertanyaan, bagaimana pencitraan perjuangan kelas di novel AD karya PAT?

AD mengambil latar sejarah zaman kerajaan pada kurun waktu awal abad ke-13 (1215—1220 M.). Latar cerita adalah Tumapel (Kerajaan Singasari) dan sekitarnya. Dipilihnya Tumapel (sekarang Kecamatan Singasari, Kota Malang) bisa jadi karena pada masa itu Tumapel menjadi jalur perdagangan antara wilayah-wilayah Jawa Timur. Tumapel menjadi tempat persinggahan senjata-senjata buatan Empu Gandring di Lulumbang (sekarang Pasuruan) dari Hujang Galuh (sekarang Surabaya) sebelum diangkut ke Kerajaan Kediri. Tumapel juga menjadi tempat persinggahan hasil laut dari Gresik yang akan dibawa menuju Kerajaan Kediri. Dari fakta tersebut, Tumapel bisa dikatakan wilayah terpenting di Jawa Timur pada masa itu dan sangat potensial untuk dijadikan sentral latar cerita, seperti yang dilakukan PAT dalam AD.

PROLETAR VERSUS BORJUIS: PERTEMPURAN EKONOMI, RELIGI, SENI, DAN IDEOLOGI

Proletar: Ngawur Karena Benar

Harold Lasswell, bapak ilmu komunikasi, mengatakan bahwa dalam bentuk apapun komunikasi harus memenuhi kerangka “who says, with what channel, to whom, with what effect”. Dalam novel AD, tokoh Arok digambarkan dengan sangat baik dalam mengimplementasikan apa yang dikatakan oleh Lasswell tersebut. Salah satunya adalah, ketika Arok menyaru menjadi Borang dan “berpidato” untuk menumbuhkan api perlawanan rakyat dukuh Bantar (barat laut Tumapel) sebagai berikut.

(1) “Kalian penyembah Hyang Wisynu yang kurang baik. Kesetiaan telah kalian persembahkan pada Tunggul Ametung, bukan pada Hyang Wisynu. ...tentara Tumapel akan tumpas di Sanggarana. Juga setiap orang di antara kalian yang lebih takut pada Akuwu Tumapel dan tentaranya. Dan kalian takkan dapatkan sesuatu jawaban. Karena apa yang aku katakan ini adalah juga dari para dewa.” (AD, hal. 20)

Interpretasi mengenai taksonomi Lasswell atas kutipan tersebut adalah tokoh Arok atau Borang sebagai pelaku yang melancarkan komunikasi. Saluran komunikasi menggunakan lisan (pidato) di tanah lapang dukuh Bantar. Jika dikaitkan dengan konteks komunikasi politik dewasa ini, maka saluran komunikasi tidak lagi menggunakan lisan, tetapi tulisan serta tidak di tanah lapang, tetapi media massa (cetak, elektronik, dan internet).

Tokoh Arok dalam AD oleh PAT digambarkan sebagai seorang proletar (anak tani, bukan anak Dewa Brahma) yang penuh bertindak penuh perhitungan dan didasari dengan pengetahuan yang luas. Pencitraan Arok sebagai pemberontak Kerajaan Tumapel (dan otomatis dianggap membangkang pada Kediri) disusun sangat halus dengan ditampilkannya sisi akademisi yang memang didapat dari berguru pada beberapa pendeta (Bapa Tantripala dan Dang Hyang Lohgawe). Salah satunya adalah sebagai berikut.

(2) “...Sebagai seorang yang terdidik...ia telah terlatih untuk melakukan sesuatu dengan perencanaan dan pertimbangan. ...Ia merasa telah mempunyai kekuatan cukup, ilmu dan pengetahuan memadai. Ia akan gulingkan Tunggul Ametung. Ia dapat kerahkan semua temannya di desa-desa sebelah barat Tumapel. Tetapi jumlah dan peralatan mereka belum mencukupi. ...Kalau Tunggul Ametung dapat digulingkan, balatentara Kediri akan datang. ...Sampai di situ ia berhenti berpikir. Ia belum tahu jalan. Ia harus mempelajari kemungkinan itu.” (AD, hal. 75)

Dari kedua kutipan novel AD di atas (data [1] dan [2]) terlihat jelas bahwa PAT (melalui tokoh Arok) menerapkan betul apa yang dikatakan oleh Nimmo (2010:24) bahwa opini publik harus melibatkan keterkaitan antara aspek personal, sosial, dan politik yang ditandai dengan munculnya; (1) pertikaian yang berpotensi menjadi isu, (2) kepemimpinan politik, (3) interpretasi personal dan pertimbangan sosial, (4) kemauan memaparkan opini pribadi di depan umum. Arok memanfaatkan pertikaian antara Ki Bantar (pendiri dukuh Bantar) dengan tentara Tumapel. Kemudian Arok mengerahkan segala daya upaya, pikiran, serta materi untuk memoles pertikaian-pertikaian tersebut agar menimbulkan pergolakan di kalangan dukuh Bantar khususnya, dan di seluruh Tumapel pada umumnya. Tentu, ini adalah murni interpretasi penulis. Dengan pertimbangan bahwa buku Dan Nimmo terbit kali pertama pada 1978, sedangkan novel AD karya PAT selesai ditulis pada 1976.

Borjuis: Gamang, Rapuh, Dan Miskin Kemauan

Sudah menjadi kesepahaman umum bahwa setiap tulisan (baik itu fiksi maupun nonfiksi) yang mengangkat tema perjuangan kelas, selalu memenangkan satu pihak, dan membenamkan pihak lainnya. Terlebih pada binary opposition antara kaum proletar (kaum pekerja, contoh: tani, buruh, budak, dan lain-lain) dan kaum borjuis (pemilik modal, penguasa, atau yang memiliki pengaruh atas kekuasaan). Dalam novel AD, PAT menganalogikan borjuis dengan kaum brahmana Tumapel (Syiwa) yang tidak berkutik pada kekuasaan kaum sudra Tumapel (bisa juga disebut borjuis politis) yang disatriakan dengan legalisasi penguasa Kerajaan Kediri, Sri Baginda Kretajaya, sebagai “atasan” Tumapel. Salah satunya tampak pada kutipan berikut.

(3) “Waktu sebarisan kepala desa menyusul, memikul patung dewa yang sedang duduk di atas punggung garuda... Hanya para brahmani dan brahmani, yang berada di antara para penonton dan menyembunyikan kepercayaannya selama ini, dalam kediamannya masih dapat mengenal, patung itu sama sekali bukan seorang dewa, hanya seorang raja yang diperdewakan: Erlangga.” (AD, hal. 8—9)

Bahkan untuk hal yang sangat prinsip (Ketuhanan) brahmana Tumapel sama sekali tidak melawan, hanya sebatas menggunjing. Seperti yang disampaikan oleh R.M. Mangkudimedja (1979:85) bahwa “Sadhengah peperanganing gogolonganipun agami Hindu, ingkang ageng piyambak agami Wisnu tuwin Siwah, sanadyan kawruhipun menggah ing dipun wastani Allah beda-beda.”. Sangat terlihat bagaimana kegamangan kaum borjuis (brahmana) dalam bertindak, di satu sisi mereka tidak mengakui Raja Airlangga yang oleh kaum Wisynu (dewa atau Tuhan kaum sudra) disesajarkan dengan Dewa Wisynu sendiri. Namun, di sisi lain, mereka hanya bisa diam, diam, dan diam.

Kerapuhan kaum borjuis (brahmana) tersebut semakin terlihat manakala Arok yang merepresentasikan kaum proletar dengan keras mengkritik mereka, sebagai berikut.

(4) “...Juga sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para brahmana siapa saja yang pernah sahaya temui, hanya mengecam-ngecam, menyumpah, dan mengutuk. Tak seorang pun pernah berniat menghadap Sri Baginda Kretajaya untuk mempersembahkan pendapatnya. Kaum brahmana itu sendiri yang sebenarnya tak punya keberanian, mereka ketakutan dan justru ketakutan sebelum berbuat, ketakutan untuk berbuat itu yang menyebabkan para brahmana telah kehilangan kedudukannya selama dua ratus tahun ini. ...” (AD, hal. 51—52)

Seperti yang dikatakan oleh Listiyono Santoso (2006:37) bahwa jika para filosof seperti Auguste Comte atau Martin Heidegger, bahkan David Hume hanya mampu berpersepsi tentang dunia, filsafat Marx lebih didayagunakan untuk mengubah dunia. Dalam konteks novel AD pada kutipan (4) bisa dianalogikan bahwa kaum brahmana adalah filosof yang oleh Santoso disebut hanya berkutat pada bagaimana manusia berpikir, sedangkan Arok (representasi kaum proletar) adalah filsafat Marx yang menekankan pada bagaimana manusia bertindak. Pendapat ini dikuatkan oleh Toer (1999:2) yang menguraikan bahwa, “Dalam lima tahun kemudian, berumur dua puluh, (Arok, pen) telah menjadi taktikus perang,yang mengubah cara berperang gaya Hindu di Jawa, juga seorang politikus dan negarawan dengan gaya sendiri”.

Economic Power itu Menciptakan Jurang yang Terlalu Dalam

Setiap perjuangan kelas sebagaimana telah terjadi dalam peristiwa sejarah di dunia dalam banyak aspek selalu disebabkan oleh dan atau menyangkut segi kehidupan ekonomis (Hardjowardojo, 1965:9). Begitu pula dengan perjuangan kelas yang terdapat di dalam novel AD karya PAT. PAT menggambarkan bagaimana dominasi ekonomi Kediri dan Tumapel telah menjadikan rakyat (khususnya kaum proletar di Tumapel) menjadi sangat sengsara. Seperti tampak pada kutipan berikut.

(5) “Pengawal itu menyerahkannya pada lurah pendulangan, seorang perempuan tua yang telah kisut, dengan buahdada seperti kantong kempes tergeong-geong hampir sampai padapusat. ...Seorang budak dengan bayi dalam selendang...dan menidurkan anaknya di atasnya, di bawah sebatang pokok kayu. Ia turun lagi dan meneruskan pekerjaannya.” (AD, hal. 40)

Latar tempat kutipan tersebut adalah di pendulangan emas, perak, dan tembaga Kali Kanta (sekarang Kali Konto, yang mengalir di sepanjang Kasembon, Ngantang, dan Pujon) yang menjadi sumber upeti Tumapel sebagai “bawahan Kediri. Kurniawan (1999:160) mengatakan bahwa lakon dalam karya PAT, cenderung mendapatkan konflik yang diakibatkan oleh situasi sosial, politik, atau ekonomi, yang direpresentasikan dalam peristiwa perang, pembredelan HAM, perbudakan, penjajahan, dan eksploitasi. Entah kebetulan atau tidak, rasanya sulit menerima fakta berikut adalah sebagai sebuah kebetulan, novel AD diselesaikan ketika PAT mendekam di Buru sebagai tapol (tahanan politik) rezim Orba yang digawangi Suharto. Tepatnya pada 24 Desember 1976 (PAT ditahan di pulau Buru pada Agustus 1969—12 November 1979). Interpretasi paling masuk akal, yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentunya, adalah bahwa pendulangan Kali Kanta dalam novel AD dijadikan PAT sebagai media untuk mengkritik penambangan PT Freeport.

Dalam artikel berjudul Konspirasi JF. Kennedy, Sukarno, Suharto, CIA, dan Freeport (indocropcirceles.wordpress.com, 2013), dijelaskan hubungan antara kematian JFK pada 22 November 1963, “kudeta” Suharto kepada Sukarno melalui Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966), sampai ekspansi PT Freeport (Freeport Sulphur of Delaware) untuk kali pertama di Indonesia (Irian Jaya, sekarang Papua) pada 1967. Tanda tangan kontrak kerja antara PT Freeport dan pemerintah Indonesia dilaksanakan pada Jumat 7 April 1967 yang berujung pada pengesahan Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 pada Desember 1967. Inti dari UU Pertambangan No.11 1967 adalah klasifikasi emas, tembaga, dan perak (yang digali PT Freeport) ke dalam golongan B (dapat menjamin hajat hidup orang banyak).

Pada kenyataannya, hasil tambang golongan B tersebut hanya menjamin hidup beberapa golongan (Soeharto dan kawan-kawan serta Amerika). Dalam konteks novel AD, pendulangan Kali Kanta memang hanya menyejahterkan sebagian orang di Tumapel (Tunggul Ametung, Yang Suci Belakangka, dan prajurit Tumapel) serta Kerajaan Kediri sebagai “atasan” Tumapel (Sri Baginda Kretajaya). Pada akhirnya, ketika kesadaran akan kelas mereka yang ditindas, kaum proletar dari berbagai jenis pekerjaan (tani, buruh, dan budak) yang merasakan adanya jarak pemisah yang terlalu jauh antara dirinya dan kaum borjuis, pun melawan. Seperti tampak pada kutipan berikut.

(6) “Lingsang dan pasukannya mendaoat kehormatan jadi ujung barisan yang akan memasuki Kutaraja dari selatan. Di belakangnya akan menyusul pasukan Umang. Di belakangnya lagi pasukan Tanca. ...Dari sebelah barat kota berbaris pasukan Mundrayana. Dari utara pasukan Santing dan Arih-Arih. ...Pasukan biarawan dan biarawati yang tak banyak jumlahnya diharuskan tetap di tempat di tenggara. ...di belakang ketiga-tiga pasukan mengikuti kanak-kanak dan orang tua, juga ibu-ibu dengan anak dalam gendongan atau dalam tuntunan. Juga para petani mengikuti mereka, laki-perempuan... Mereka hendak ikut bersumbang meruntuhkan kekuasaan Tunggul Ametung. Paling tidak menjadi saksi hidup.” (AD, hal. 370—371)

Bahkan biarawan dan biarawati serta pendeta Hindu (kaum borjuis agamis) pun ikut dalam meletakkan kelas mereka pada tempatnya semula dan dengan otomatis membantu kaum proletar dalam menumbangkan penguasa feodal (kaum borjuis politis). Kutipan (6) tersebut adalah implementasi nyata PAT dari apa yang dikatakan Lukacs (2012:155) bahwa jati diri proletar menjadi sempurna melalui pelenyapan diri, dengan jalan membuat masyarakat tanpa kelas lewat perjuangan kelasnya sendiri dan kemenangan tersebut hanya bisa diraih manakala pengaruh internal dirinya sendiri bisa dipadamkan. Hal ini tercermin dalam bab ke-10 novel AD mengenai Jatuhnya Tunggul Ametung, ketika orang-orang Syiwa, Wisynu, Buddha, Kalacakra, Tantrayana, Durga, dan mereka yang memuja leluhur menjadi satu tanpa sekat kelas sosial maupun kepercayaan. Diperkuat dengan pernyataan Arok ketika resmi menjadi Akuwu Tumapel bahwa tak seorang pun akan menjadi budak di Tumapel karena Tumapel adalah milik semua orang tanpa memandang agama, kelas, dan jabatan.

Binary Opposition: Spiritualisme-Materialisme

Georg Lukacs (2012:135) mengatakan bahwa kelas borjuis memiliki keunggulan di bidang intelektual (tidak tampak), sedangkan kelas proletariat kekuatannya terletak pada kejelian melihat masyarakat dari pusatnya sebagai sebuah keseluruhan (riil). Seperti tampak pada kutipan berikut.

(7) “Sahaya telah ikuti semua uraian dan pembicaraan, pertikaian, dan saran. Hanya satu yang tidak pernah disinggung: dimanakah sebenarnya kekuatan kaum brahmana? Seluruh ilmu dan pengetahuan, milik paling berharga dari kaum brahmana yang tak dapat diragukan ini, dikerahkan hanya untuk memburuk-burukkan yang tidak disukai, tidak menjadi kekuatan yang mengungguli yang lain-lain.” (AD, hal 161)

Pertemuan kaum brahmana di sebuah candi di gunung Kawi yang terkesan sekadar seremonial dan adu intelektualitas para brahmana (spiritualisme) dibabat habis oleh PAT (melalui tokoh Arok) dengan mengatakan bahwa itu semua tidak ada gunanya jika tidak diwujudkan dalam perilaku.

Salah satu yang menarik dari binary opposition antara spiritualisme dengan materialisme yang coba didekonstruksi oleh PAT adalah fakta mengenai keris Empu Gandring yang menjadi kutukan bagi Ken Arok dan keturunannya. Fakta ini telah menjadi “kesepakatan sejarah” yang dipahami hampir semua orang di Indonesia. Seperti termaktub dalam Pararaton (1965:27) karangan Drs. R. Pitono Hardjowardojo yang berbunyi, “inilah jang sedang saja kerdjakan, Angrok. ...Panas hati Ken Angrok, lalu keris itu ditusukkan kepada Pu Gandring. ...Maka berkatalah Pu Gandring:,,Angrok, jang membunuh kelak akan mati oleh keris itu, anak tjutjunja akan mati oleh keris itu, keris itu akan membunuh 7 orang radja.”. Namun, oleh PAT kutukan keris Empu Gandring yang sarat unsur mistisisme tersebut diriilkan menjadi Gerakan Militer Empu Gandring. Seperti tampak pada kutipan berikut.

(8) “Kalian, para tamtama Gerakan Empu Gandring. Kalian telah melakukan persekutuan untuk membunuh Yang Mulia Akuwu dan telah melaksanakan pada hari ini.” (AD, hal. 395)

Art and Ideology: Praktik Pemahaman (Doktrinisasi) Kesadaran Kelas

Kesadaran kelas yang dihembuskan PAT dalam AD adalah manifestasi nyata dari gagasan Maxim Gorkidalam salah satu artikelnya yang paling terkenal yaitu “the people must know their history”. Seperti yang tampak pada kutipan berikut.

(9) “...Pergilah kau pada Bapa Tantripala di desa Kapundungan. Belajarlah kau baik-baik di sana. Kau seorang tani. Itu kau jangan lupa. Biar kau sudah dibenarkan Bapa Tantripala untuk meninggalkan rumahnya, kau harus selalu ingat: kau seorang tani.” (AD, hal. 61) ucapan Ki Bango Samparan sebelum Arok berangkat berguru ke Bapa Tantripala.

Dari kutipan (9) tersebut bisa diidentifikasi sebagai penyadaran kelas atau sejarah yang dikatakan Ki Bango Samparan kepada Arok sebelum Arok berguru ke Bapa Tantripala. Penyadaran kelas ini sangat berlasan karena seperti yang dikatakan Marx (dalam Lukacs, 2012:121) bahwa, “petani-petani kecil membentuk kumpulan massa yang amat banyak yang anggota-anggotanya hidup dalam kondisi yang sama, tetapi tanpa memasuki dan terlibat dalam aneka rupa relasi satu sama lain”. Oleh Ki Bango Samparan, Arok diharapkan bisa menjadi pemersatu kaumnya dengan jalan: sadar akan kelas dan sejarahnya. Itu dibuktikan ketika Arok menggalang dukungan kepada para petani di desa-desa sekitar Tumapel dan buruh-buruh pendulangan emas kali Kanta dalam usahnya menggulingkan kekuasaan tirani Tumapel dan Kediri. Karena dengan cara seperti itulah, sebuah rencana organisasi total atas masyarakat dapat mulai dibangun. Seperti dikatakan PAT dalam novel Jejak Langkah (2011:x), ”didiklah rakyat dengan organisasi, didiklah penguasa dengan perlawanan”.

HIPOKRISI POLITIK LINTAS ZAMAN: DARI ZAMAN KERAJAAN HINGGA ZAMAN EDAN

1215—1222 M: Arok cs, Tunggul Ametung, dan para Pendeta Hindu

Hampir di setiap halaman novel AD, PAT menunjukkan bagaimana hipokrisi politik (politikus hipokrit) begitu merajalela. Pengaruh feodalisme Jawa yang sedang jaya-jayanya pada masa itu membuat hampir semua lapisan masyarakat (terutama kaum borjuis, baik politis maupun agamis) bermuka dua. Satu muka dengan mimik pengabdian sepenuh hati ditunjukkan kepada atasannya, sedangkan satu muka dengan ekspresi kebengisan ditunjukkan ketika berhadapan dengan bawahannya. Seperti tampak pada kutipan berikut.

(10)”Sekumpulan ular bermuka dua, “sebut Arya Artya. “Memperbudak orang-orang tak berdaya, dan membikin orang tak berdaya untuk dijadikan budak.” (AD, hal. 29)

Kutipan (10) tersebut merujuk pada Tunggul Ametung dan Yang Suci Belakangka sebagai penguasa tertinggi di Tumapel yang menindas rakyatnya sendiri, dijadikan budak, demi menyenangkan hati Sri Baginda Kretajaya, Raja Kediri (yang notabene dalah Kerajaan yang membawahi Tumapel). Bahkan, tokoh yang melontarkan wacana tersebut pun (Arya Artya) juga digambarkan oleh PAT sebagai seorang yang hipokrit (munafik, bermuka dua). Seperti tampak pada kutipan berikut ini.

(11) “Jadi apakah aku ini, yang bernafsu untuk menjadi pandita negeri, seorang brahmana pemuja Sang Hyang Mahadewa Syiwa, yang gagal melaksanakan keinginan untuk jadi pandita akuwu Wisynu? Sudah sedemikian hinakah arya Hindu di bawah Wisynu Jawa ini?” (AD, hal. 32)

Dari dua kutipan tersebut ([10] dan [11]) terlihat jelas bagaimana kaum borjuis sama sekali tidak mengindahkan nilai humanitas yang oleh Toer (dalam Kurniawan, 1999:168) disebut sebagai: kebenaran dan keadilan. Dua nilai humanitas tersebut disingkirkan oleh Tunggul Ametung dan Pendeta Hindu dengan jalan berlaku tidak adil kepada kawulanya, menghapus nilai kemanusiaan, dan tidak memperdulikan subjektivas agama yang pada akhirnya menampilkan tokoh-tokoh tersebut sebagai seorang yang hipokrit. Hipokrisi politik juga tampak pada kutipan berikut.

(12) “Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu.” (AD, hal. 261)

Kutipan (12) yang dijadikan tag line novel AD terbitan Hasta Mitra tersebut menunjukkan bagaimana seorang pendeta Hindu (Dang Hyang Lohgawe) dan Arok memilih menggunakan “topeng” untuk menjungkalkan Tunggul Ametung. Sampai kejatuhan dan kematian Tunggul Ametung pun, Arok dianggap sebagai pahlawan karena berhasil menjaga pekuwuan dan memberantas pemberontakan di Tumapel. Padahal menjaga pekuwuan dengan mengusahakan kepercayaan dari Tunggul Ametung adalah tidak lebih dari usaha Arok dan Lohgawe agar semakin mudah dalam melancarkan kudetanya. Pemberontak-pemberontak di Tumapel itu pun semuanya adalah teman-teman Arok. Pada akhirnya seperti yang dikatakan oleh Joesof Isak (dalam Toer, 2002:viii), “...orang yang mengkup kekuasaan justru berhasil melempar tuduhan kup itu kepada pihak-pihak lain sampai yang difitnah menjadi korban kesengsaraan dan penderitaan”.

Orde Baru: Suharto dan Antek-Anteknya

Orde Baru, Soeharto, Hasta Mitra, dan PAT adalah kepingan sejarah kelam sastra Indonesia yang tidak bisa begitu saja dipisahkan serta dilupakan. Hampir semua karya PAT (yang kebanyakan diterbitkan oleh Hasta Mitra) pada masa Orba dilarang oleh Jaksa Agung. Menjadi masuk akal ketika dalam beberapa karyanya PAT terlihat seolah-olah sedang “menyerang” kekuasaan rezim Orba yang represif. Salah satunya dalam novel AD. Bahkan Joesof Isak, editor AD terbitan Hasta Mitra, terang-terangan menyatakan bahwa, “Tidak terlalu mengherankan bila para pembaca setelah mengikuti kisah ‘Arok Dedes’ Pramoedya—walau tidak disuruh—asosiasi merekea dengan sendirinya pindah dari abad 13 langsung ke abad 20 di tahun 1965-an...’peralihan kekuasaan’ dari Presiden Soekarno ke Suharto?” (Toer, 1999:viii).

Namun pendapat di atas disangkal oleh Acep Iwan Saidi (2000:296) yang mengatakan bahwa penilaian tersebut adalah menyesatkan, karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara tekstual. Sebenarnya, di luar perdebatan apakah AD novel yang merujuk pada peristiwa peralihan kekuasaan pada medio 60-an, yang harus diperhatikan adalah setiap karya sasta bebas diinterpretasi oleh pembaca sesuai dengan kapasitas dan skematanya masing-masing. Penulis menganggap bahwa terlalu banyak fakta dalam AD yang bisa diasosiasikan juga terlalu banyak yang bertolakbelakang dengan fakta pada masa peralihan kekuasaan 1960-an. Namun, asosiasi ini tidak terbatas pada kemiripan kudeta Arok dan kudeta Suharto, tetapi tersebar hampir pada setiap bagian cerita.

Pertama, fakta bahwa Tunggul Ametung sebagai penguasa Tumapel yang tunduk pada Sri Baginda Kretajaya (Raja Kediri) bisa diidentikkan dengan Suharto sebagai Presiden RI (1967—1998) yang tunduk pada CIA. Suharto tidak lebih dari bidak catur yang diarahkan oleh CIA melalui salah satu agennya, Pater Beek (Sembodo, 2009:76—77). Kedua adalah pendulangan Kali Kanta yang menjadi sumber upeti Tumapel ke Kediri, bisa diinterpretasikan sebagai penambangan PT Freeport di Indonesia (Tumapel) yang dijadikan sebagai sumber kekayaan Amerika Serikat (Kediri).

Ketiga adalah kudeta yang salah satunya didasari atas sentimen agama pada AD (Wisynu dan Syiwa), juga terjadi pemerintahan rezim Orba. Seperti yang tercantum dalam majalah D&R 7 Pebruari 1998 (dalam Sembodo, 2009:129—130), “...tatkala pemerintahan Presiden Soeharto memandang politik Islam dengan syak wasangka. ...Dr. Daoed Joesoef, meskipun ia seorang muslim asal Sumut, juga—ketika menjadi Menteri P dan K—dikenal sebagai perumus kebijakan yang tidak kena di hati umat Islam Indonesia, misalnya keputusannya untuk tidak meliburkan murid di bulan Ramadan.” Keempat adalah aktor sebenarnya di balik kudeta Arok atas Tunggul Ametung sampai saat ini masih menjadi perdebatan hangat. Sama halnya dengan siapa dalang di balik peristiwa G-30 S/PKI dan Supersemar yang jadi latar kudeta Suharto sampai saat ini masih simpang siur. Dalam novel AD, yang “dituduh” bertanggung jawab atas tergulingnya Tunggul Ametung adalah Kebo Ijo, Gerakan Militer Gandring, dan Yang Suci Belakangka. Sedangkan dalam fakta sejarah peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, yang dikambinghitamkan adalah PKI melalui konspirasi Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan enam perwira Angkatan Darat dan melukai beberapa lainnya.

Sedangkan fakta yang bertolak belakang, yaitu pertama dalam novel AD ketika Arok resmi jadi Akuwu Tumapel (1220 M.) orang-orang yang dicap bersalah dihukum dengan peradilan terbuka. Sedangkan PKI dibabat habis (tanpa proses peradilan) sejak kali pertama Suharto naik tahta. Kedua, jika pada novel AD, tamtama Gerakan Militer Gandring dimaafkan dan diizinkan ikut membangun wangsa baru dalam Tumapel (disebut juga Wangsa Rajasa atau Wangsa Girindra), lain halnya dengan orang-orang (yang dicap) PKI yang dibunuh maupun dipenjarakan ketika Suharto berkuasa.

Seperti yang dikatakan Robert Cribb (dalam Sembodo, 2009:115—116) bahwa jumlah korban pembunuhan orang-orang (yang dicap) PKI bervariasi, misalnya: 150.000 (Donald Kirk), 200.000 (Ben Anderson dan Ruth Mc Vey), 450.000—500.000 (Sudomo), 150.000 (Adam Malik), dan 100.000 (L.N. Palar). Ketiga, Arok dalam AD selalu berperan dalam setiap usaha memadamkan pemberontakan di Tumapel (perjuangan kelas). Sedangkan Suharto justru tengah lahap makan soto babad ketika bawahannya sedang memperjuangkan kelasnya di Serangan Umum 1 Maret 1949 (Sembodo, 2009:75). Tiga fakta inilah yang menjadi pembeda besar antara novel AD karya PAT dan kudeta Suharto 1965—1966.

PENUTUP: SASTRA SEBAGAI REFLEKSI UNTUK NATION AND CHARACTER BUILDING

Kritik aliran Hegel dan Taine mengatakan bahwa kebesaran sejarah dan sosial disamakan dengan kehebatan artistik. Karya sastra adalah dokumen sejarah yang mewakili zamannya. Bahkan sastra dianggap setara dengan institusi sosial (Wellek & Warren, 1995:111). Ketika institusi-institusi negara lainnya sudah dirongrong oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka sastra adalah harapan terakhir dalam usaha membangun karakter bangsa. PAT adalah salah satu sastrawan yang konsisten, melalui karya sastranya, memberikan penyadaran terhadap rakyat Indonesia (khususnya kaum proletar, tertindas, dan terpinggirkan). Seperti yang dikatakan Kurniawan (1999:177) bahwa sastra realisme sosialis buah pikiran PAT mengemban tugas penyadaran dan meniupkan spirit revolusioner dan progresif ke arah yang memerdekakan kelas-kelas proletar.

Melalui tokoh Arok, orang-orang yang pada hari ini suka sekali dengan kenyamanan praktis seolah-olah oleh PAT dibangunkan dari tidur panjangnya. Bahwa perjuangan kelas, harus dimulai dari bawah ke atas. Bahwa perjuangan kelas harus didasari dengan niat mulia mengangkat derajat orang-orang yang disengsarakan dan menumpas habis semua pihak yang membuat kesengsaraan jadi lestari. Nilai-nilai kemanusiaan dalam novel AD, contoh mengadili kesalahan atas dasar perbuatannya tanpa tedeng aling-aling, juga bisa menjadi refleksi dalam membangun bangsa Indonesia ke depan. Seperti pernah dikatakan Maxim Gorki, “if the enemy does not surrender, he must be destroyed!”.

DAFTAR RUJUKAN

Firdausi, Dahniar Rahmi. 2010. Perancangan Novel Grafis Adaptasi Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer. Surabaya: digilib.its.ac.id. Pdf.

Hardjowardojo, R. Pitono. 1965. Pararaton. Malang: Bhratara. Pdf.

Indo. 2013. Konspirasi JF. Kennedy, Sukarno, Suharto, CIA, dan Freeport. (http://indocropcircles.wordpress.com/2013/05/29/bongkar-konspirasi-antara-sukarno-suharto-dan-freeport/), (Online). Diakses pada 20 Mei 2012.

Kurniawan, Eka. 1999. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Jogjakarya: Yayasan Aksara Indonesia.

Lukacs, Georg. 2012. Dialektika Marxis: Sejarah dan Kesadaran Kelas (Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Mangkudimedja, R.M. 1979. Serat Pararaton Ken Arok 1 (Alih aksara dan alih bahasa: Drs. Harjana HP). Jakarta: Departemen PK Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Nimmo, Dan. 2010. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

——————. 2011. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Santoso, Listiyono. 2006. “Paradigma Materialisme Dialektis dalam Epistemologi Karl Marx” dalam Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri (Ed.Listiyono Santoso dan Abd. Qodir Shaleh). Hal. 35—50. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Saidi, Acep Iswan. 2000. “Pramoedya Ananta Toer: Wacana Sejarah dan Kekuasaan dalam Ideologi Realisme Sosialis” dalam Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (Ed. Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie). Hal. 285—307. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sembodo, M. 2009. Pater Beek Freemason dan CIA.Jakarta: Galan.

Suhariyadi. 2009. Aplikasi Teori Antonio Gramsci Dalam Kajian Sosiologi Sastra Terhadap Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer. Tuban: Prospektus (Jurnal Ilmiah Universitas PGRI Ronggolawe) tahun VII nomor 2 (halaman 197—204). Pdf.

Sumiyadi. 2011. Representasi Perempuan dalam Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer (Tinjauan Kritik Sastra Feminis). Bandung: UPI. Word.

Toer, Pramoedya Ananta. 2002. Arok Dedes. Jakarta: Hasta Mitra.

——————————. 2003. Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.

——————————. 2009. Arok Dedes. Jakarta: Lentera Dipantara.

——————————. 2011. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara.

——————————. 2011. Jejak Langkah. Jakarta: Lentera Dipantara.

Wellek, Rene & Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan (Penerjemah: Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun