[caption id="" align="aligncenter" width="672" caption="Upacara Adat Labuh Laut Larung Sembonyo (Pantai Prigi, Trenggalek)"][/caption]
“Sepatu masuk supaya bisa jadi selop di Indonesia. Lalu kenapa demokrasi masuk ditelan bulat-bulat dan orang-orang melupakan Pancasila?”–Sudjiwo Tejo
Generasi yang akan datang...aduh!
Mendatang—mungkin—anak-anak pinggiran kali di Sidoarjo,
tidak akan lagi bisa ikut bersorak waktu Nyadran.
Bagaimana mau Nyadran?
Wong semakin lama,
kali disana semakin dangkal ditimbun limbah pabrik baja.
Ya Ghaffar, maafkan mereka!
Generasi hari esok...ah!
Esok—bisa saja—anak-anak pedesaan di Pasuruan,
hilang kesempatan nonton Ojung dan belajar sifat seorang ksatria.
Bagaimana mau Ojung?
Wong sawah arena perhelatan,
kalah bersaing dengan gedung-gedung pencakar langit.
Dan lagi, bukankah kali—sebagai nadi irigasi—sudah tidak lagi mengalir?
Ya Waliy, lindungi kami!
Generasi setelah kita...alamak!
Setelah kita—bukan mustahil—anak-anak kampung nelayan di Trenggalek,
lupa caranya bersyukur karena tak pernah larut dalam Larung Sembonyo.
Bagaimana mau Larung Sembonyo?
Wong saban hari,
rumah mereka kena gusur kongsi bisnis pendiri bungalo.
Dan lagi, bukankah sawah—sebagai sumber sesaji—sudah lama kolaps?
Ya Jabbar, kami berserah. Pasrah bongkokan!
Malang, 27 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H