Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 31 Agustus lalu telah mengeluarkan Permendikbudristek No 3o Tahunn 2021. Pada peraturan tersebut berisikan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun seiring bejalannya waktu hal itu pun menuai begitu banyak sekali suara kritikan dari beragam elemen. Baik dari organisasi masyarakat sampai dengan partai politik. Disinyalir suara kritikan yang dilayangkan pun atas dasar penolakan pada salah satu pasal di dalam permendikbud tersebut.
Pada pasal 5 yang mengatur tentang rumusan norma kekerasan seksual, antara lain yaitu meliputi tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan atau melalui ranah teknologi informasi komunikasi. Sementara pada ayat 2 menjelaskan bentuk kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan tanpa persetujuan.
Contohnya Pada pasal 5 ayat 2 huruf b menjelaskan bahwa "Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban". Ayat pada pasal tersebut pun menuai kecaman karena dalam kondisi apapun tindak kejahatan seksual tidak akan pernah meminta izin kepada korban yang bersangkutan.
Lanjut lagi pada pasal 5 ayat 2 huruf f yang berbunyi "Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban". Jika kita telaah lebih mendalam terkait ayat tersebut, maka secara logis bahwa tindak kejahatan seksual dengan nuansa media digital tidak mungkin dan tidak akan mengantong perizinan dari para pihak korban.
Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menanggapi perihal tudingan yang menyatakan bahwa Kemendikbud memberikan "Karpet Merah" akan tindak kejahatan seksual, ia menuturkan bahwa tuduhan yang beredar pada saat ini di tengah-tengah khalayak luas pun sangatlah tidak benar dan menegaskan beberapa kali kepada awak media bahwa Kemendikbud berkomitmen penuh untuk memberantas tindak kejahatan yang meneror di tengah aktivitas perguruan tinggi . Justru dengan lahirnya Permendikbudristek hal tersebut menjadi gambaran nyata bahwa upaya preventif dalam melawan aksi kejatahan seksual sangatlah nyata.
Namun di lain sisi saya pun beranggapan bahwa memang terdapat kesalahan yang mendasar pada penulisan pasal tersebut, sehingga dari hal itulah yang menimbulkan kontrakdiktif di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Mungkin tidak sedikit di antara kita yang menilai bahwa penulisan frasa tersebut hanyalah perkara kecil yang tidak perlu untuk diambil pusing, karena bagaimana pun yang utama ialah penerapan regulasi tersebut yang harus  benar-benar dilakukan dengan baik.  Akan tetapi terpikirkan kah di antara kita bahwa dari frasa yang tidak tertulis secara tepat, justru dari hal tersebut sejatinya mampu menimbulkan polemik dan kesalahpahaman di antara kita semua dalam memahami bagaimana bentuk regulasi hukum yang tertanam di ibu pertiwi.
Pada hari ini kita sama-sama memahami bahwa sudah marak sekali oknum-oknum yang kian menjadikan kebijakan pemerintah sebagai batu loncatan aksi kejahatan selanjutnya dan hal tersebut sejatinya menjadi boomerang bagi pemerintah yang mengeluarkan regulasi tersebut. Apa yang mendasari hal tersebut? Tidak lain dan tidak bukan yaitu dikarenakan cacatnya pasal yang tertuang serta kurangnya pemahaman akan pasal yang tertulis bagi pihak yang bersangkutan.
Gambar 1:bersumber dari indeksnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H