Besuk pagi jumat 1 september 2017, semua umat Islam akan melaksanakan hari raya Idul Adha, hari itu disebut juga hari raya "Qurban" mengapa? Karena banyak orang yang berkurban dengan menyembelih kambing atau sapi, bagi orang yang mampu disunnahkan berkurban. Ritual yang setiap tahun diadakan bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah. Kambing dan sapi disembelih disaksikan banyak orang setelah melaksanakan ibadah sholat Ied, daging kurban lalu dibagikan pada masyarakat sekitar. Namun, sudahkah kita berqurban ?
Qurban secara etimologi dari bahasa Arab berarti "dekat", di Indonesia ditulis "Kurban" berkonotasi "Udhkhiyah" artinya menyembelih kambing atau sapi, sedang "korban" berarti menderita karena sebab tertentu, namun satu tujuan dalam kontek Idul Adha yaitu dekat dengan Allah. Manusia membutuhkan pengorbanan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di Makkah sana, saat ini (9 Dzulhijjah) para jamaah haji berkumpul di arafah (makah)untuk melaksanakan wuquf, berdiam dibawah terik matahari, mereka (berkorban) mendekatkan diri kepada Allah.
Beberapa hari yang lalu kita memperingati Kemerdekaan Indonesia yang ke 72, mengingat jasa para pahlawan yang "berkorban" demi bangsa dan negaranya, keringat, darah dan nyawa dipersembahkan demi kemerdekaan manusia Indonesia. Â pengorbanan para pahlawan yang telah menjadikan bangsa Indonesia merdeka, mereka yang merdeka adalah yang mau berkorban untuk orang lain, pengorbanan tersebut menjadikan mereka disebut "Pahlawan" orang yang banyak pahalanya, tentu saja dekat dengan Allah.
Tidak ada orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mengorbankan orang lain, jika ada orang yang mengorbankan orang lain dengan dalih mendekatkan diri kepada Allah, ini sungguh "menipu" Allah. Seorang koruptor membeli 100 sapi dari hasil korupsi, lalu semua disembelih untuk berkurban, dekatkah dia dengan Allah? Seseorang mengorbankan dirinya, meledakkan bom ditengah manusia, membunuh orang lain tanpa sebab syar'i (keharusan dalam perang sabil), sudahkah ia dekat dengan Allah? Jawabannya adalah tidak, karena mereka menipu, membungkus kebatilan dengan baju "pengorbanan".
Meluruskan Pengorbanan
Tampaknya, ada beberapa kelompok yang salah dalam menempatkan "pengorbanan" berupa indoktrinasi radikal, mereka menganggap kafir dan halal membunuh orang yang dianggap tidak seakidah dengan mereka. Doktrin ini disebut "takfiri" Â artinya yang tidak mengikuti paham mereka disebut kafir, dan orang yang dianggap kafir boleh dibunuh, (Najih Ibrahim, 2016) namun jika mereka terbunuh dianggap sebagai pengorbanan "menuju surga" atau pengorbanan untuk memperoleh "Bidadari".
Dr. Najih Ibrahim salah seorang mantan ketua dewan syuro Jamaah Islamiah Mesir yang telah banyak menyadarkan para pencari "korban" (teroris), ia menyatakan akan bahayanya pemikiran takfiri, ia menukil sedikit peristiwa dalam sejarah Islam insinden pembunuhan Kholifah Ali Bin Abi Talib R.a karena dianggap kafir oleh kaum khowarij. Propaganda takfiri  telah mengorbankan Ali Bin Abi Talib. Najih mengingatkan siapa saja yang dihinggapi pemikiran takfiri ini, akan terpengaruh akal sehatnya, dan meiliki sifat tidak menyukai semua orang, mengkafirkan pemerintah, Polisi, Tentara, Ulama, wakil rakyat dan bahkan mengkafirkan semua masyarakat (Najih Ibrahim, 2016) mereka layak menjadi "korban".
Maka dengan adanya moment Idul adha besuk, penulis berharap bangsa Indonesia mengembalikan makna pengorbanan karena tulus kepada Allah, sebagaimana daging kurban yang bagikan kepada masyarakat, begitulah berkorban melalui pengabdian pada masyarakat. Memaknai Kurban bukan hanya ritual semata, namun kurban yang sesungguhnya adalah kepedulian aplikatif dalam kehidupan manusia. Mereka yang berkorban memerdekaan manusia, mereka yang berkorban demi bangsa dan negara, adalah kurban yang sejati. Sudahkah kita berkurban dan berkorban? mari berkurban dan berkorban, Indonesia menunggu pengorbanan kita.Â
Reference :
Lihat dr. Najih Ibrahim, 2016, Bahaya Mimpi al-Baghdadi, Reviva cendekia, Yogyakarta.
------------------