Mohon tunggu...
Mangara Tampubolon
Mangara Tampubolon Mohon Tunggu... -

Saya seorang pekerja sosial (nekerja pada sebuah lembaga swadaya masyarakat yg fungsi dan peran utamanya adalah mengembangkan praktika pembelajaran dan pendidikan alternatif utk masyrakat anak, khususnya paara anak yg tidak mengiktui sistem persekolahan (pendidikan formal sekolah).

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pembangunan untuk Manusia

30 Desember 2011   20:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:33 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Satu ciri negatif pembangunan di kurun waktu limapuluh tahun terakhir yang terus berkelanjutan adalah pengabaian manusia karena pelencengan sasaran pembangunan itu. Pelencengan pemikiran tentang  pihak "beneficiaries" (yang memperoleh manfaat) di wilayah di mana pembangunan itu dilaksanakan. Penyebabnya adalah paradigma yang memberi jiwa kepada konsepsinya sekaligus mengendalikan proses pembangunan itu; yaitu paradigma ekonomi dalam wujud ‘pendapatan’.

Dalam waktu lama kata ‘ekonomi’ selalu mengikuti kata ‘pembangunan’ lalu membentuk frasa “pembangunan ekonomi”. Frasa ini mengendalikan secara ketat keseluruhan konsepsi tentang pembangunan dan implementasinya di mana-mana. Dari perspektif ekonomi publik (makro) maupun ekonomi pasar (mikro) maka prioritas hasil dari keseluruhan prosesnya adalah yang disebut sebagai “pendapatan ekonomi” atau “pendapatan” (income). Dengan mengacu kepada fakta-fakta, selanjutnya kata pembangunan dapat dilogikakan sebagai kegiatan dalam rangka optimalisasi sekaligus akumulasi pendapatan.

Term “pendapatan”  itu sendiri bersifat netral dari perspektif pemikiran sejarah perekonomian. Istilah itu menjadi terkesan sebagai klaim ekonomi kapitalistik ketika aliran ekonomi ini benar-benar menjadi arus besar dunia. Suatu hal yang menggejala sejak Amerika memimpin usaha-usaha rekonstruksi untuk negara-bangsa yang ‘hancur’ karena perang dunia II. Melekat kepada usaha yang sekilas tampak luhur itu, juga berproses suatu kekuatan atau kekuasaan yang mengubah kesadaran mayoritas manusia pasca perang dunia II tentang ekonomi. Konkritnya, ekonomi adalah proses akumulasi ‘uang’ (dana) sebagai wujud kekayaan yang memberi kekuasaan kepada si pemilik kekayaan, contohnya adalah Negara Amerika (USA)  di era setelah PD II itu.

Secara faktual, sepanjang sejarah ekonomi pasar, pembangunan berparadigma pendapatan belum pernah memberi bukti bahwa sasarannya adalah seluruh manusia. Di semua tempat (negara) sistem pembangunan ekonomi sedemikian hanya  menciptakan penumpukan kekayaan sekaligus pemberian kekuasaan tak tertentu kepada minoritas penduduk. Penyebabnya adalah lingkaran produksi dan reproduksi  yang terbentuk di dalam hubungan antara kekayaan dengan penguasaan teknologi. Dari lingkaran ini pula seakan telah muncul sebuah hukum yang menyatakan “yang telah di depan akan selamanya di depan”.  Siapa yang telah menjadi ‘kepala’ selamanya akan menjadikan yang lainnya hanya sebagai ‘ekor’.

Sistem Ekonomi Kebohongan

Kapitalisme itu sendiri secara faktual mengalami penggandaan kekuatan setelah perang dunia II.  Sepanjang kurun waktu tertentu doktrin ‘kekuasaan pasar membentuk sistem dan mekanismenya sendiri melalui tangan tak terlihat’ bergaung di wilayah pemikiran ekonomi pasar dan seolah menjadi pusat bagi terori-teorinya. Resessi global di akhir 1920-an sampai ke awal 1930-an memperlihatkan kekosongan dan kebohongan doktrin itu. Faktanya, revitalisasi ekonomi publiklah (sebagaimana direkomendasikan oleh JM. Keynes) yang terbukti memulihkan kondisi perekonomian dunia.

Kebohongan mekanisme pasar itu semakin terbukti ketika Marshall Plan menjadi penggerak utama rekonstruksi negara-negara korban perang dunia II. Pola Marshall Plan ini secara nyata menunjukkan peran kekuasaan negara  sebagai sandaran pergerakan modal swasta  yang melintasi batas-batas negara bangsa. Politik bantuan internasional juga menjadi serial-serial kebohongan karena melalui politik bantuan itu kekuasaan politik di negara-negara ‘penerima bantuan’ dipaksa untuk melayani kepentingan para pemodal. Sejumlah regulasi (penciptaan UU/Orde Hukum lainnya), fasilitasi infrastruktur, stabilitas politik dan keamanan, fasilitas moneter dan fiskal (pajak dan tariff bea-bea) serta politik upah tenaga kerja murah dan tanpa aksi/reaksi buruh merupakan syarat-syarat yang dituntut oleh masuknya modal para kapitalis dari negara-negara pemberi bantuan.  Tanpa dukungan itu semua pada hakekatnya ‘modal’ dalam bentuk kekayaan uang tidak memiliki daya untuk menciptakan sendiri apa yang dipercayai sebagai ‘kekuatan dari tangan tak terlihat’.

Salah satu sifat khas dari ekonomi dengan paradigma pendapatan ini sangat terlihat melalui wajah industrinya ialah : “lapar tanah” !  Di semua negara berkembang, industri yang lapar tanah memunculkan ekses merosotnya taraf hidup jutaan manusia yang tergusur maupun kehilangan tanah-tanahnya.  Proses pengambilan maupun pencaplokan tanah dialaskan pada bentuk kebohongan lainnya yaitu “ pembangunan demi kepentingan umum”. Sekali lagi, kapitalisme mengandalkan kekuatan politik dari yang berkuasa dan kekuatan aparatur negara yang bersifat memaksa sampai kepada tingkat terjadinya kekerasan.

Sepanjang lima puluh tahun terakhir pembangunan dengan paradigma pendapatan belum pernah terbukti memberi kesejahteraan kepada mayoritas penduduk dunia. Selain penumpukan kekayaan pada segelintir orang (maupun segelintir negara-negara yang disebut sebagai negara maju) sistem pembangunan ini juga terus mengembangkan penyesatan kesadaran.

Penyesatan-penyesatan itu antara lain adalah :


  1. Makna-makna; seperti makna pembangunan itu, makna kegiatan ekonomi, makna kepentingan umum dan sebagainya. Kata pembangunan untuk waktu lama telah dipahami sebagai sesuatu yang terutama berurusan dengan pisik dan berujung pada peningkatan pendapatan negara. Dari segi konsepsi sampai kepada prakteknya, pembangunan senantiasa ditautkan kepada peranan kelembagaan baik negara maupun swasta atau tidak pernah bertumpu pada massa rakyat. Kegiatan ekonomi selalu disandarkan kepada ketersediaan dana yang dengan demikian meminggirkan nilai dan eksistensial manusia (proses kreatif dan daya kerjanya).

  1. Pengendalian kesadaran masyarakat untuk melupakan konsepsi mengenai fungsi dan peran negara. Untuk kebanyakan negara-negara bangsa yang merdeka di sekitar masa perang dunia II, umumnya negara dikonsepkan sebagai jalan memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat melalui pembangunan maupun pengembangan sistem-sistem layanan publik. Sifat paling mencolok dari layanan publik antara lain adalah masyarakat dapat memperoleh sejumlah kebutuhan maupun kepentingan secara cuma-cuma (gratis) semisal pendidikan dan layanan kesehatan.

  1. Pengendalian kesadaran politik masyarakat yang memaksa masyarakat untuk mempercayai bahwa konsep demokrasi seolah-olah satu paket dengan konsep liberalisme dan konsep ekonomi pasar. Di dalam prakteknya, sistem ekonomi pasar sesungguhnya  menghendaki agar masyarakat itu hidup dengan sikap apolitis. Pembentukan kesadaran sedemikian berlangsung melalui penetrasinya ke wilayah pendidikan.

  1. Pengendalian kesadaran masyarakat untuk tidak lagi memiliki kesadaran sosial baik kultural maupun antropologis. Dilemma-dilemma modernitas seperti runtuhnya satu demi satu pranata sosial serta ketercerabutan maupun dekulturasi telah dapat dilihat oleh mayoritas masyarakat seolah-olah hanya sebagai konsekuensi dari jaman yang telah berubah.

  1. Menggelapkan pengertian tentang jalan lain atau alternatif lain tentang pembangunan maupun pencapaian kesejahteraan manusia (masyarakat). Pengarusbesaran kapitalisme dengan peragaan kemegahannya yang ditopang oleh kekuatan negara itu telah membutakan sebagian besar mata masyarakat sehingga tidak lagi dapat melihat ‘jalan yang lain’. Kualitas ‘pengarusutamaan’ ekonomi kapitalistik itu pada faktanya telah setara dengan  kebangkitan suatu ‘agama baru’. Dari keadaan sedemikian, seolah-olah muncul sebuah hukum yang memerintahkan : “setiap orang mesti membuat dirinya kaya secara materi.” Dengan ‘hukum agama’ seperti ini, sistem ekonomi pasar semakin mendapat tempatnya dan selanjutnya meneruskan kebohongan yang menjadi sifatnya.

  1. Sesungguhnya ‘kekuatan tangan tak terlihat dari sistem dan mekanisme pasar’ itu tidak pernah ada.  Fakta, sistem ini selalu membutuhkan dukungan kekuasaan negara, terutama melalui hukum dan berbagai macam aturan  serta kekuatan bersenjata. Adalah fakta, pengiriman kekuatan militer Amerika Serikat ke berbagai negara adalah sebentuk cara untuk membuka pintu para kapitalis memasuki negara-negara dimaksud. Demikian pula dengan adanya pemerintah yang menindas rakyatnya demi kepentingan pendirian sebuah pabrik, adalah bukti-bukti ‘kebohongan tangan tak terlihat’ itu.

Pembangunan Berparadigma Sosial : “Mengutamakan Manusia”

Gagasan tentang pembangunan seharusnya membuat orang berpikir bahwa maksudnya adalah mengenai ‘kelebihbaikan’ manusia (masyarakat). Dengan demikian, konsepsi pembangunan pertama sekali dimulai dengan pengorganisasian partisipasi manusia yang menjadi sasaran pembangunan. Partisipasi masyarakat sejak dari perencanaan pembangunan itu sekaligus menandakan manusia dilihat secara sosio-kultural dengan sejarah kehadiran serta hubungan yang jelas dengan tempat dan ruang di mana masyarakat itu berada.

Dari pengertian  sebagaimana dinyatakan di atas, segenap pengetahuan tentang pembangunan mestilah mencantol kepada sosiologi maupun antropologi.  Penyikapan sedemikian sekaligus menyatakan secara tegas bahwa “bangun, bertumbuh dan berkembang” sesungguhnya melekat menyatu kepada hakekat kemanusiaan. Dari pengertian ini  orang akan menyadari ‘ada atau tidak ada’ konsepsi maupun realitas negara maka manusia (baca:masyarakat) akan terus membangun dirinya. Ketika negara itu telah nyata ada maka harus dipahami bahwa negara itu ada  karena ide manusia (masyarakat) mengenai sebentuk cara di dalam membangun dirinya. Akhirnya kita dapat melihat bahwa ide negara dan ide pembangunan adalah satu hal yang menyatu ke dalam pengertian ‘kelanjutan perkembangan kebudayaan dari suatu masyarakat’.

Pendekatan sosio-kultural atau sosio-antropologis menjadi kebutuhan di dalam memetakan beberapa faktor  sehubungan dengan program pembangunan. Alasan kebutuhan ini, pertama adalah bahwa hakekat pembangunan itu adalah sebagai dinamika dari kebudayaan. Dengan demikian, kajian sosio-antropologis menyuguhkan gambaran komprehensif tentang ketersambungan realitas masa lalu, kekinian dan masa depan (dengan akibat dari tindakan programatik pembangunan yang dipilih) masyarakat. Kedua, memunculkan gambaran realistik tentang manfaat dari pembangunan bagi masyarakat sekaligus memunculkan peta kemungkinan tentang ‘korban dan pengorbanan;. Ketiga, memberikan kesadaran bahwa pembangunan bukanlah untuk melemahkan potensi kekuatan struktur masyarakat  melainkan sebaliknya mengefektifkan pertumbuhan dan perkembangan kekuatan itu sebagai elemen dinamis suatu negara-bangsa. Keempat, memerikan perspektif-perspektif baru bagi semua pihak (penyelenggara kekuasaan negara dan masyarakat) di dalam menyikapi relasi tanah dan manusia (masyarakat). Kelima, memateraikan kesadaran bahwa relasi tanah dengan manusia berusia lebih tua dari pada usia sebuah negara. Suatu negara boleh runtuh tetapi komunitas manusia beserta bentuk-bentuk budaya lokalnya bersifat  kekal adanya di atas tanahnya.

Pendekatan sosio-antropologis di dalam praktek pembangunan bukanlah suatu eliminasi terhadap gagasan ekonomi dan pendapatan.  Bagaimanapun ekonomi adalah bagian dari peradaban atau pembangunan itu. Pendekatan ini hanya mengatur kembali posisi setiap aspek dengan mengacu kepada keutamaan manusianya. Dengan demikian pemikiran tentang pendapatan (baik negara maupun masyarakat) dengan sendirinya menjadi bagian dari sistem analisis tentang manfaat pembangunan serta distribusi manfaat dimaksud secara berurutan.   Berdasarkan pengalaman, --dari penerapan pendekatan sosio-antropologis— terhadap sejumlah proyek pembangunan dari sistem ekonomi kapitalisme sejumlah reduksi resiko sosial, kultural maupun politik telah dapat dilakukan.  Kebutuhan adalah menerapkannya pada skala yang lebih luas dengan pertama-tama menjadikan paradigma sosial sebagai paradigma pembangunan nasional suatu negara-bangsa. Pola di dalam praktikanya adalah  mengutamakan  praktek partisipatif sejak dari perencanaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun