Semua negara beradab modern senantiasa menganggap pendidikan itu sebagai faktor penting di dalam menjamin keberlanjutan sekaligus perkembangan negara. Tetapi pernyataan ini menjadi perdebatan karena di dalam prakteknya negara senantiasa justru menyebakan pendidikan tidak pernah mencapai tujuan yang dinyatakannya. Perdebatan itu, antara lain di seputar aspek tujuan pendidikan dan peran yang dimainkan negara di dalam penyelenggaraan pendidikan. Selain itu muncul pula sorotan terhadap pendidikan di dalam hubungannya dengan kepentingan individu dan atau kepentingan komunitas atau negara itu sendiri.
Dari segi hasil keseluruhan proses pendidikan, yang manakah yang menjadi prioritas, apakah untuk menghasilkan individu yang baik atau warga negara yang baik ? Dengan melihat kenyataan belakangna ini, maka patutlah untuk diragukan bahwa negara-negara masih menggumuli pertanyaan tersebut. Kita dapat melihat, seakan-akan pendidikan itu digulirkan dengan bertumpu kepada keyakinan Hegelian. Keyakinan ini menyatakan, individu yang baik adalah yang mengabdi kepada kebaikan keseluruhan, dan kebaikan keseluruhan adalah sebuah pola yang terbuat dari kebaikan individu-individu. Artinya, tidak ada antitesis antara individu yang baik dengan warga negara yang baik.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendebat proposisi dari pikiran Hegelian tersebut. Dengan mengamati fakta-fakta di seputar proses pendidikan, satu hal yang sangat penting -- secara tegas-- telah mengambil tempat untuk berhadapan dengan pikiran Hegelian itu. Fakta itu adalah, bahwa asumsi maupun pendekatan untuk mencapai masing-masing tujuan atau maksud pendidikan itu ternyata berbeda. Pendidikan untuk mengelola mental individu dalam rangka menjadi individu yang baik akan berbeda dengan pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang baik. Ada kriteria umum mengenai individu yang baik serta ada pula kriteria yang ideal tentang satu komunitas atau negara yang baik. Perbedaan pada postur maupun tampilan hasil proses pendidikan itu secara logis akan membedakan rancangan praksis pendidikannya. Apakah individu yang ‘sudah baik bagi keluarganya’ adalah juga akan baik baik bagi komunitas atau negara ?
Seorang artis yang sungguh-sungguh di dalam mengembangkan dirinya, ---lalu pada suatu ketika mencapai ‘impiannya’ dan menjadi kaya raya karena itu--- dalam pandangan umum dinilai sebagai individu yang baik bahkan sangat baik. Tetapi apakah ia sekaligus menjadi warga negara yang baik ? Belum tentu ! Ada artis yang sukses tetapi oleh masyarakat dinilai hanya menebarkan faktor distortif terhadap warisan nilai sosial budaya atau adat-istiadat. Ada juga artis yang kemudian memperluas perannya menjadi ‘pekerja sosial/kemanusiaan, ada pula yang menjadi missioner agama, terlepas dari apapun motifnya. Kenyataan yang disebut itu hanya hendak menunjukkan 'akan ada perbedaan' di dalam mengemas pendidikan untuk kebaikan individual maupun kebaikan warga negara. Adakah titik temu keduanya, baik di jalur prosesnya maupun di dalam diri individu yang sekaligus juga adalah warga negara ?
Hasrat Individu Terhadap Pendidikan
Setiap orang memiliki hasrat untuk menjalani pendidikan jauh sebelum orang memasuki kesadaran tentang sistem sosial atau negara. Keadaan sedemikian merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dianggap sebagai sifat manusiawi : “keingintahuan”. Sifat ini seakan memiliki ‘sistem kekuatannya sendiri’ di dalam jiwa manusia itu. Sifat itu senantiasa mendorong orang untuk tidak menutup-nutupi keingintahuannya atau mengungkapkannya melalui cara-cara tertentu. Kita dapat melihat pengungkapan yang mencolok dari sifat ‘ingin tahu’ itu pada diri anak-anak ‘balita’ yang tak putus-putusnya memunculkan pertanyaan. Penampakan hasrat anak yang seperti itu sangat sering membuat orang dewasa kewalahan bahkan tak sedikit yang merasa terganggu ketenangannya.
Hasrat untuk belajar dan menjalani pendidikan merupakan hasrat yang relevan dengan proses pertumbuhan maupun perkembangan kemanusiaan dari seseorang. Anak yang secara nyata memperlihatkan hasrat belajar secara umum akan mendapat respon yang baik dari keluarganya. Respon yang didasarkan pada kepercayaan bahwa proses belajar dan menjalani pendidikan adalah cara untuk membuat satu individu menjadi individu yang baik. Dan, individu yang baik itu merupakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, hasrat kepada pendidikan pada kemudiannya juga menjadi hasrat umum.
Perkembangan masyarakat, selanjutnya menuntut fasilitas spesifik di dalam melayani hasrat terhadap pendidikan dan pembelajaran itu. Pendidikan juga dituntut untuk hadir di dalam kepelbagaian bidang sesuai dengan hasrat atas jenis kepandaian, keahlian maupun ketrampilan. Untuk sejauh itu, keluarga atau rumah tangga bahkan komunitas kecil tidak lagi berkemampuan untuk memainkan peran pokok. Di atas realitas ini, pendidikan terjerat untuk menumpukan diri kepada alas ekonomi baik dari sisi fasilitator pendidikan maupun dari sisi partisipan pendidikan. Demikianlah pada kemudiannya hasrat atas pendidikan di dalam diri individu mesti bertransaksi dengan faktor eksternalnya.
Kebaikan yang dihasilkan oleh pendidikan pun kemudian menjadi relatif sebagaimana relatifnya kebaikan itu sendiri. Namun secara umum, kebaikan individu karena menjalani pendidikan merupakan faktor yang senantiasa mendapat tempatnya di masyarakat. Itulah sebabnya hasrat individu terhadap pendidikan tidak akan pernah pudar. Hasrat itu malahan semakin diperbesar oleh realitas sosial yang sudah dipengaruhi secara kuat oleh faktor ekonomi. Pembangunan kesejahteraan individu senantiasa ditandai dengan ukuran-ukuran ekonomi. Pendapatan yang tinggi mempunyai hubungan penting dengan tingkat pendidikan atau kompetensi individu.
Demikianlah hasrat pendidikan menjadi memiliki ‘sebuah ujung’ yang jelas bagi individu yaitu dalam rangka peningkatan taraf hidup di dalam wajah capaian kesejahteraan ekonomis. Karena itu, dengan atau tanpa negara seseorang akan senantiasa ber-'hasrat' untuk menjalani pendidikan atapun pembelajaran.
Tetapi bila hasrat dimaksud hanya dikatakan untuk kebaikan individu maka apakah sesungguhnya yang menjadi kepentingan komunitas atau masyarakat dari kebaikan individu ? Atau adakah titik temu dari hasrat individu atas pendidikan dengan hasrat masyarakat atas pendidikan ? Apakah individu yang baik bagi dirinya sendiri dan atau keluarganya akan serentak menjadi individu yang baik bagi komunitas sosialnya (masyarakat) ?
Hasrat Negara
Negara selalu hendak memfungsikan setiap individu di dalamnya sebagai warga negara. Proposisi ini dikenakan kepada semua jenis dan bentuk pengelolaan negara apakah itu oleh kekuasaan yang demokratis, feodal, monarkis maupun otoriter. Semua negara menghendaki hadirnya warga-warga negara yang baik menurut ukuran cita-cita negara. Karena alasan itu, negara pun selalu kukuh untuk memegang otoritas di dunia pendidikan yang telah maupun yang akan dibuat di wilayah negara. Menguasai penetapan tentang sistem-sistemnya, kurikulum dan bahkan metodiknya sehingga pendidikan pada akhirnya lebih sering terasa sebagai ‘hasrat penyelenggara negara’. Pernyataan ini tentunya hanya akan terterima dari perspektif politik mengenai eksistensi satu negara di tengah negara-bangsa lainnya.
Dari sisi negara atau masyarakat, perbedaan sejarah munculnya hasrat (motif) atas pendidikan sudah tentu mengakibatkan perbedaan kepentingan praktis pendidikan. Aspirasi warga masyarakat dari tataran paling mikro (keluarga) senantiasa memformulasikan tujuan pendidikan itu pada tataran praktis yang sempit. Umumnya, keluarga dan individu hanya mencanangkan peranan pendidikan dalam rangka ‘kemajuan’ diri pribadi semata-mata. Karena itu pendidikan harus jauh dari melibatkan pandangan politis bahkan sosiologis.
Tarikan 'arus besar kehidupan' masa kini menyebabkan pendidikan tidak lagi dilihat --untuk pertama-tama-- sebagai jalan mengembangkan potensi seorang individu. Tetapi, pendidikan adalah jalan untuk memperoleh “kedudukan” dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan aspek ekonomi yang propektif bagi kehidupan seseorang. Tarikan terhadap masyarakat untuk terus masuk ke dalam pusaran arus “kesadaran” ekonomi pada akhirnya memunculkan aspirasi yang mengeksploitasi ‘aspek layanan publik’ dari fungsi negara. Demikianlah sehingga di masa kini, permintaan masyarakat memunculkan aneka ragam serta aneka sifat, fungsi maupun bentuk (spesialisasi) dari pendidikan. Sebatas ini, pada kondisi masyarakat yang tidak kuat secara politik di hadapan penguasa negara yang kuat, pendidikan senantiasa dapat dikompromikan.
Pada era liberalisme dan ekonomi pasar bebas yang mendunia (global) masa kini, fungsi dan peran negara pun kembali dipertanyakan. Terutama kedalaman maupun keluasan peragaan otoritasnya di dalam penyelenggaraan pendidikan itu. Apakah semua kebijakan negara di bidang pendidikan adalah mencerminkan hasrat negara tentang pendidikan ? Dengan melihat kenyataan, kebijakan pendidikan masa kini umumnya lebih terasa sebagai fasilitasi negara terhadap “kekuatan yang lebih besar daripada negara itu”. Suatu kekuatan yang telah berhasil menggeser semua aspek pemahaman kita mengenai pendidikan. Kekuatan itu jugalah yang saat ini telah menjadi penyelenggara sesungguhnya dari sistem-sistem pendidikan itu. Apa dan siapakah kekuatan tersebut ? Kekuatan itu adalah ekonomi dalam sosok ‘pihak-pihak’ yang hendak mengeksploitasi keuntungan dari dunia pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai industri. Di dalam situasi dan kondisi sedemikian menemukan dan mempertanyakan hasrat negara atas pendidikan menjadi tidak relevan.
Kekosongan Pendidikan Kewarganegaraan
Hegemoni aspirasi ekonomi ke dalam tujuan pendidikan –sebagaimana telah menjadi gejala umum— membuat kita hanya akan menemukan pola-pola pendidikan untuk “kebaikan individu”. Pengertian mengenai individu yang baik itu sendiri menjadi sangat relatif dan jauh dari filsafat pendidikan. Namun sifat pengertian sedemikian akan selalu hidup karena muncul dari sikap pragmatis masyarakat (komunitas). Pendidikan dengan karakter yang didasarkan kepada pengertian seperti inilah pendidikan yang “mendunia” dan “modern”. Ia melintasi batas negara maupun kebangsaan, mengiringi sifat dari gerak globalisasi ekonomi serta paham ‘kebebasan’ (liberalisme) individu. Di dalam realitas sedemikian, untuk apa lagi pendidikan kewarga negaraan ? Masih relevankah “satu kewarganegaraan” bagi seorang individu yang sudah berpaham mendunia ?
Estafet kepemimpinan suatu negara-bangsa bergantung secara signifikan kepada kualitas pendidikan. Latar belakang pendidikan berskala internasional dari para penyelenggara negara (politisi dan birokrat) secara umum terus membesarkan gejala pengikisan ‘patriotisme’. Kelenturan sikap (yang ditampakkan) para pemimpin di dalam merespon perkembangan modernisasi dunia serta di dalam mengembangkan relasi multilateral pada kenyataannya selalu mencurigakan. Kelenturan dimaksud, --berdasarkan fakta--, lebih disebabkan oleh ‘ketundukan dan kekaguman fanatik’ masing-masing terhadap negara-bangsa di mana 'dia' pernah mengikuti pendidikan. Kelenturan sikap itu bukanlah karena karakternya tlah mencirikan manusia yang ber-“wawasan terbuka” (open mind people). Dari kelompok orang-orang seperti ini tidak mungkin ada rancangan patriotisme. Bagi mereka sebuah ‘negara-bangsa’ menjadi bermakna relatif karena selalu diukur dari keuntungan yang didapat. Lalu, siapakah yang masih membutuhkan pendidikan kewarganegaraan ?
Pendidikan kewarganegaraan selalu menjadi kebutuhan bagi mereka yang berpikir dan berkesadaran untuk mengabdi kepada sesama manusia. Potensi, Kecerdasan, Emosi dan --kemudiannya-- Kekuasaan yang didapat, bagi mereka ini akan selalu dicanangkan untuk diabdikan bagi kebaikan sesama. Mereka senantiasa membutuhkan ‘organisasi’ satu bangsa yang sederhana. Karena --bagi kaum patriotik-- gagasan 'satu warga dunia' di bawah satu sistem kekuasaan sesungguhnya hanyalah tawaran para pencuri dan penipu yang tidak menghormati kemanusiaan “orang lain”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H