Mohon tunggu...
M Fuad Hasyim
M Fuad Hasyim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Filsafat Universitas Indonesia

Seorang Mahasiswa Filsafat yang menggeluti bidang psikologi, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat pikiran, eksistensialisme, sastra, budaya, dan teologi keagamaan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pengangguran dan Lepra dalam Peradaban

1 Maret 2023   22:39 Diperbarui: 1 Maret 2023   22:41 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Abad Pertengahan menorehkan kisah tentang penyakit lepra yang menakutkan. Di masa itu, obat untuk menyembuhkan penyakit lepra belum ditemukan. Sehingga, orang-orang yang terkena lepra harus dihanyutkan ke laut dengan perahu dan diasingkan ke tempat yang jauh dari masyarakat. Mereka yang terkena lepra dikucilkan dari masyarakat karena dapat mengganggu ketertiban sosial.

Setelah akhir abad pertengahan, ketika penyakit lepra bisa diatasi, ternyata ada kekosongan ruang sosial, yang harusnya diisi oleh pera pengidap lepra, harus diganti dengan hal lain agar ruang tersebut tidak kosong. Seperti pengucilan, intervensi sosial, dan pengasingan masih tetap tertanam di dalam masyarakat. Kekosongan ruang imaji sosial tersebut kemudian diisi oleh pengangguran dan orang gila. Orang-orang dengan predikat pengangguran dan orang gila mengalami eksklusi sosial layaknya pengidap lepra di abad pertengahan. Mereka diberikan stigma buruk yang sama dengan stigma yang diberikan kepada pengidap lepra.

Pengangguran dipandang sebagai 'aib' dalam perekonomian negara. Hal ini mengandaikan bahwa grafik pengangguran selaras dengan rendahnya menejemen perekonomian serta tata kelola lapangan kerja negara yang buruk. Ditambah dengan tingkat kelahiran yang tinggi dan overpopulasi. Selain itu, pengangguran juga diperparah dengan sistem kapitalisme yang diberlakukan oleh para pemilik alat produksi.

Kapitalisme membuat pekerjaan bergantung pada keputusan kapitalis untuk melakukan produksi, dan keputusan itu bergantung pada keuntungan. Jika kapitalis mengharapkan keuntungan, mereka menyewa pekerja atau buruh. Jika kapitalis tidak butuh, kita akan kelimpahan jumlah pengangguran. Faktanya, kapitalisme membutuhkan pengangguran, keluarga mereka, dan komunitas mereka untuk hidup dengan keputusan yang dibuat oleh kapitalis, meskipun mereka dikecualikan dari berpartisipasi dalam keputusan tersebut.

Kalau kita melihat pada saat ini, posisi ruang imaji kosong yang diisi oleh pengangguran, tidak lagi terpaku pada sistem kapitalisme, namun beralih fokus pada kecanggihan teknologi. Saat ini dan bahkan mungkin sampai di masa depan, teknologi akan bertindak sebagai pihak yang mengasingkan manusia di pinggiran ekonomi yang tidak terjamah. Dengan kata lain teknologi yang berkembang saat ini akan menumbuhkan pengangguran yang lebih banyak dan semakin menempatkan pengangguran dipojok sistem ekonomi.

Munculnya kecerdasan buatan atau Artificial Intellegence semakin mengokohkan tempat para pengangguran untuk menggantikan keterasingan para pengidap lepra di abad pertengahan. Banyak pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh manusia, sudah digantikan oleh kecerdasan buatan. Efektivitas dan efisiensi menjadi perhitungan mutlak mengapa kecerdasan buatan lebih mumpuni daripada manusia. Pada akhirnya, pengangguran akan seperti penyakit lepra yang tidak bisa disembuhkan dan akan diasingkan, dikucilkan, atau bahkan dihanyutkan oleh kecerdasan buatan yang bisa menangani semua yang dikerjakan manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun