Mohon tunggu...
M FARIZ NURFAJAR
M FARIZ NURFAJAR Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

NIM: 55523110052 | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak. | Mata Kuliah: Pajak Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Corporation di Indonesia Pendekatan Teori Pierre Bourdieu

25 November 2024   10:50 Diperbarui: 25 November 2024   10:50 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Apollo UMB (Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Corporation di Indonesia Pendekatan Teori Pierre Bourdieu)

Controlled Foreign Corporation (CFC) 

Menurut Dado dan Sedmihradsky (2004 : 127) ,istilah CFC biasanya digunakan pada suatu konteks rejim, yang dirancang untuk menyerang persinggahan keuntungan-keuntungan penduduk dalam negri ke tempat yang rendah atau tidak ada pengenaan pajaknya (low or no tax jurisdiction). Controlled Foreign Companies (yang selanjutnya disingkat CFC) merupakan suatu konstruksi legal dari berbagai macam aturan perpajakan internasional yang pemakaiannya kepada Negara luar negri tertentu dimana pemegang saham (wajib pajak) dalam negeri memiliki pengaruh yang banyak sekali (Asqolani, 2008). Dari penjelasan Asqolani dapat ditarik kesimpulan bahwa praktek CFC terjadi karena adanya hubungan istimewa dari kepemilikan mayoritas saham, maka badan usaha luar negri (subsidiaries) tersebut menjadi mudah untuk dikendalikan.

CFC diakui sebagai suatu entitas yang dapat dikenakan pajak secara terpisah (separate taxable entities) yang berada dalam jurisdiksi luar negri dan secara tidak langsung menjadi subjek pajak Negara domisili pemegang saham (Fontana, 2008). Hal ini relatif mudah bagi Wajib Pajak untuk mentransfer pendapatannya, khususnya dividen, bunga, dan royalti ke perusahaan luar negeri dan kemudian menunda pemajakan atau mungkin menghindari pemajakan di negaranya sendiri (Lang et al, 2004). Dalam bukunya, Anang Mury (2011 : 239) menyatakan bahwa praktek CFC memungkinkan terjadi karena adanya tax haven country atau negara-negara yang mengenakan pajak rendah daripada Negara asal. Rendahnya tarif pajak di tax haven country dimanfaatkan untuk menunda pengenaan pajak yang dikombinasikan dengan level pemajakan, sehingga nantinya yang akan ditanggung, yaitu sebagai berikut :

  • Pajak yang dikenakan atas dividen di Negara tempat anak perusahaan berkedudukan
  • Pajak yang dikenakan atas dividen di Negara tempat holding company berkedudukan
  • Pajak yang dikenakan atas dividen di Negara tempat pemegang saham berkedudukan

Dokpri
Dokpri

Secara singkat ilustrasi dalam gambar diatas menggambarkan WP A yang berkedudukan di Negara X yang mengenakan tarif pajak sebesar 25 % yang mendirikan perusahaan holding company H Ltd di Negara Y yang tidak mengenakan pajak (Tax Haven Country). Selanjutnya H Ltd melakukan investasi di anak perusahaan B Corp yang berkedudukan di Negara Z yang mengenakan tarif pajak 10%. Ketika B Corp membagikan dividen kepada H Ltd, maka akan dikenakan pajak di Negara Z sebesar 10% karena dividen yang diterima merupakan penghasilan atas H Ltd yang tidak dikenakan pajak di Negara Y. Jika kemudian H Ltd membagikan dividen kepada WP A di Negara X, maka akan dikenakan pajak dengan tarif sebesar 25% sehingga lebih baik H Ltd menahan pembagian dividen tersebut maka dengan demikian pengenaan pajak dengan tarif 25% tersebut dapat tertunda.

Skenario ini lebih menguntungkan daripada WP A langsung melakukan investasi di anak perusahaan (B Corp) di Negara Z karena dengan demikian maka akan langsung dikenakan pajak dengan tarif 25% (Mury, 2014 : 240). Dari Skema dan ilustrasi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Praktek CFC biasanya dilakukan untuk menunda peredaran laba (praktek profit shifting) dengan membuat entitas lain sebagai perantaranya.

CFC Rules di Indonesia untuk menghadapi penghindaran pajak tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menjelaskan bahwa :

 "Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
  2. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor."

Pada Bulan Juni 2019 Pemerintah Indonesia melakukan perubahan ketentuan untuk Controlled Foreign Company (CFC) melalui PMK Nomor 93/PMK.03/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek.

PMK 93 merupakan komitmen Indonesia sebagai anggota G20 dalam mengimplementasikan rencana aksi OECD BEPS Action 3 tentang Designing Effective Controlled Foreign Company Rules meskipun CFC Rules bukanlah salah satu minimun standard yang ditetapkan OECD. Selain itu, revisi CFC Rules juga semakin memperkuat Specific Anti Avoidance Rules (SAAR) yang sejalan dengan upaya reformasi perpajakan di bidang peraturan perpajakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun