Sekolah jarak jauh atau sekolah online atau school from home (SFH) masih dilakukan pada awal tahun ajaran baru 2020/2021, sebagai mana pada akhir tahun ajaran 2019/2020. Hal ini dikarenakan masih banyaknya wilayah yang belum masuk zona hijau atau tingkat resiko tertular Covid-19 rendah.
Banyak yang tidak siap dengan mekanisme pembelajaran sekolah dalam jaringan (daring). Sekolah mungkin tidak siap dengan jaringan internet, terutama yang di daerah terpencil. Atau jika ada jaringan internet tidak siap denga perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) yang cukup untuk mendukung sekolah online. Mungkin juga belum menemukan metode pembelajaran yang efektif sesuai dengan lokasi sekolah.
Bagaimana dengan pemerintah? Apakah sudah siap dengan sekolah online? Pembaca KOMPASIANA bisa menganalisis sendiri peran dan kesiapan pemerintah dalam sekolah online.
Wali murid (orang tua dan keluarga) dan siswa belum tentu semua siap dengan sekolah online. Jika mereka tinggal di daerah terpencil yang sulit sinyal, maka hampir dipastikan tidak mungkin sekolah online. Lalu bagaimana jika tempat tinggal siswa berada di kawasan yang mudah memperoleh sinyal internet seperti di kawasan perkotaan, apakah dengan sendirinya mudah melakukan sekolah online? Jawabnya belum tentu.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan informasi yang saya peroleh langsung, berikut beberapa kendala sekolah online untuk daerah yang secara infrastruktur internet sudah siap atau mempunyai sinyal yang baik:
1. Kedua orang tua bekerja. Sekolah online menuntut pendampingan orang tua selama proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), terutama anak usia SD. Jika kedua orang tua bekerja tidak mungkin ada pendampingan. Bisa juga didampingi oleh Asisten Rumah Tangga di rumah, tapi hasilnya pasti tidak maksimal.
2. Gejala Cabin Fever karena jarang keluar rumah. Solusinya harus ada waktu untuk keluar rumah, tapi dengan protokol kesehatan yang ketat. Saat ini tidak mudah. Banyak tempat wisata yang masih tutup. Sebagai contoh, taman-taman kota di Surabaya masih belum boleh dikunjungi sesuai dengan kebijakan pemerintah.
3. Tidak mampu menyediakan kuota internet yang cukup. Beberapa pihak sudah mulai membantu, misalnya warung kopi menyediakan internet gratis untuk siswa sekolah. Bagaimana dengan pemerintah?
4. Tidak mempunyai perangkat elektronik yang mendukung. Sudah terdapat berita yang menyebutkan orang tua tidak mampu membeli perangkat elektronik untuk mendukung sekolah online, sehingga murid tetap datang ke sekolah untuk belajar. Penulis juga menemukan sebuah keluarga dengan jumlah anak 3 tapi hanya mampu menyediakan 1 perangkat, mau tidak mau harus berbagi. Jika waktu belajar bersamaan, salah satu anak harus mengalah tidak bisa mengikuti sekolah online. Bisa juga terjadi karena anak masih SD, orang tua sengaja tidak membelikan perangkat elektronik.
Dalam artikel ini penulis fokus pada nomor 4, yaitu jika lingkungan tempat tinggal murid mempunyai infrastruktur internet yang baik tapi tidak mempunyai perangkat keras elektronik yang cukup untuk mendukung sekolah online. Yang bisa kita lakukan adalah berbagi perangkat elektronik bekas. Saya memberikan contoh riil yang terjadi pada anak saya, sesuai gambar yang terlihat.
Laptop yang dilihat adalah bekas pakai dari sebuah perusahaan BUMN. Laptop tersebut pembelian tahun 2008 atau sudah berusia 12 tahun. Lebih tua usia laptop daripada usia anak saya yang kelas 3 SD. Bahkan laptop tersebut sudah rusak keyboard-nya. Laptop tersebut disambungkan dengan keyboard tersendiri yang merupakan bekas pakai dari sebuah komputer rusak yang tidak terpakai. Artinya ada kanibalisme keyboard disini. Begitu juga mouse, merupakan bekas pakai dari sebuah komputer milik sepupu yang tidak terpakai lagi.