Ngaben: Harmoni antara Kehidupan dan Kematian
Di sebuah desa kecil di Bali, asap wangi dari dupa yang terbakar perlahan membubung ke langit biru. Suara gamelan menggema di antara rumah-rumah tradisional, menciptakan suasana yang penuh khidmat. Hari itu, masyarakat berkumpul untuk melaksanakan upacara Ngaben, sebuah ritual pembakaran jenazah yang menjadi simbol perjalanan akhir manusia menuju kebebasan jiwa. Ngaben adalah lebih dari sekadar prosesi, ia adalah sebuah representasi mendalam dari filosofi hidup masyarakat Bali: keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Di awal prosesi, keluarga yang berduka menghias jenazah dengan kain-kain indah berwarna emas dan putih. Bade, sebuah menara kayu bertingkat dengan ukiran yang rumit, dibangun dengan penuh ketelitian. Bade ini melambangkan Gunung Meru, yang dalam mitologi Hindu dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa. Dibawa oleh puluhan pria, bade diarak menuju tempat pembakaran sambil diiringi tabuhan gong dan seruan doa. Suasana penuh keagungan terasa begitu kental; meski duka menyelimuti, ada juga energi keteguhan dan penerimaan dari keluarga yang ditinggalkan.
Di tempat pembakaran, jenazah diletakkan di atas lembu kayu yang diukir dengan penuh seni. Lembu ini, biasanya berwarna hitam atau putih, adalah kendaraan suci yang akan membawa jiwa menuju alam bebas. Api, yang menjadi elemen penting dalam Ngaben, dinyalakan dengan doa-doa dan mantra. Proses pembakaran ini bukan sekadar melepas raga fisik, tetapi juga simbol pembebasan jiwa dari ikatan duniawi. Asap yang mengepul melambangkan jiwa yang sedang naik menuju moksha, kebebasan abadi dalam kepercayaan Hindu.
Keunikan dari Ngaben terletak pada caranya mempersepsikan kematian. Tidak ada tangisan histeris atau kesedihan yang berlebihan. Sebaliknya, ritual ini dirayakan dengan penuh kesadaran bahwa kematian adalah bagian dari siklus kehidupan. Hal ini mencerminkan pandangan masyarakat Bali bahwa segala sesuatu, termasuk kematian, adalah proses menuju keseimbangan.
Ngaben juga merepresentasikan harmoni sosial. Seluruh warga desa ikut serta, baik dalam menyiapkan perlengkapan maupun membantu keluarga yang berduka. Rasa kebersamaan ini memperkuat ikatan sosial, mencerminkan semangat gotong royong yang masih hidup di tengah modernisasi.
Bagi masyarakat Bali, Ngaben bukan hanya ritual, tetapi juga ungkapan seni yang luar biasa. Setiap detil dari upacara ini, mulai dari ukiran bade hingga tarian yang mengiringinya, adalah bentuk penghormatan terhadap yang telah pergi. Seni ini juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin menyaksikan langsung kedalaman budaya Bali.
Namun, di balik semua kemegahan itu, Ngaben mengajarkan kita untuk menerima kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Ia mengingatkan bahwa yang fana hanyalah tubuh, sementara jiwa adalah abadi. Pesan ini relevan tidak hanya bagi masyarakat Bali, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin menemukan kedamaian dalam memahami kehidupan dan kematian.
Ngaben, dengan segala filosofinya, adalah cerminan dari kebijaksanaan yang diwariskan oleh leluhur. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap akhir, selalu ada awal yang baru. Di bawah langit Bali yang cerah, ketika abu terakhir terbang bersama angin, kita diingatkan akan siklus abadi kehidupan: lahir, mati, dan bersatu kembali dengan semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H