Mohon tunggu...
Fadli
Fadli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat sejarah dan budaya

Menyukai dunia sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sultan Lingga-Riau Bermain Layang-Layang

23 Mei 2021   16:55 Diperbarui: 23 Mei 2021   16:58 1666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdapat bermacam-macam permainan tradisional yang menghibur diri orang Melayu. Diantara permainan tradisional, terdapat permainan layang-layang. Di masa yang lampau, permainan layang-layang dilakukan mulai dari kalangan rakyat biasa sampai bangsawan. Di kerajaan Melaka, layang-layang termasuk permainan yang disukai rakyat hingga para bangsawan. Dalam Sulalatus Salatin dikisahkan Raja Ahmad Putera Mahkota kerajaan Melaka anak dari Sultan Mahmud Syah (1488-1528) bersama para bangsawan suka bermain layang-layang,

Sekali persetua musim orang bermain layang-layang, maka segala orang muda-muda dan anak tuan-tuan semuanya bermain layang-layang berbagai rupa layang-layangnya. Maka Raja Ahmad, anak Sultan Mahmud Syah pun bermain layang-layang terlalu besar, seperti kajang sebidang besamya, dan talinya tali kail tenggiri yang besar. Apabila banyak layang-layang orang sudah naik, maka dinaikkan bagindalah layang-layang itu. Setelah dilihat orang layang-layang Raja Ahmad itu naik, maka segala orang banyak habis menurunkan layang-layangnya, kerana barang layang-layang yang tergesel oleh layang-layang Raja Ahmad itu putus. Maka Hang Isa Pantas pun membuat layang-layang kecil juga, talinya rami kembar tiga, maka disamaknya dengan samak kaca. Apabila Raja Ahmad menaikkan layang-layang, semua orang habis menurunkan layang-Iayangnya. Layang-layang Raja Ahmad pun berdekat dengan layang-layang Hang Isa Pantas, lalu bergesel. Maka tali layang-layang Raja Ahmad pun putus, jatuh ke Tanjung Jati (Shamad Ahmad, 1979:187)

Di Kerajaan Lingga-Riau, para bangsawan juga suka bermain layang-layang. Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857) Sultan Lingga-Riau ke-3 seorang sultan yang sangat menyukai permainan layang-layang. Dia bermain layang-layang bersama para bangsawan di alun-alun kerajaan. Alun-alun kerajaan yang sekarang ini dikenal orang Daik sebagai lapangan Hang Tuah yang terletak di wilayah Kampung Siak. 

G. F. Bruijn Cops Letnan angkatan laut Belanda yang pernah berkunjung ke Daik zaman Sultan Mahmud Muzzafar Syah dalam tulisannya tentang sketsa Kepulauan Riau-Lingga yang terbit tahun 1853, mengisahkan tentang permainan layang-layang.  Tua dan muda menyukai bermain layang-layang. Layang-layang terbuat dari kertas, dan sebagai penyeimbang terdapat seikat kertas di bagian belakang sebagai pengganti ekor panjang yang biasa dipasang di layang-layang orang Eropa. Dia pernah bertemu sultan yang sedang bermain layang-layang. Layang-layang sultan terbuat dari sutra kuning dan karenanya dapat dikenali. Permainan dilakukan menjatuhkan layang-layang lawan dan pemain memasang taruhan. Tali layang-layang diberi resin dan taburan kaca.

 Di Daik pada masa kini bermain layang-layang lebih disukai anak-anak. Jika musim angin utara tiba, kadang muncul musim bermain layang-layang. Layang-layang yang dimainkan tanpa ekor disebut layang-layang tokong. Sebagian anak remaja laki-laki dan orang dewasa juga suka bermain layang-layang untuk berburu keluang. Layang-layang untuk berburu tidak dipasang ekor supaya mudah digerakkan ke kiri dan kanan juga menukik untuk menjerat keluang. Di bawah layang-layang dengan jarak tertentu dipasang deretan mata kail sejumlah belasan atau melebihi dua puluh buah. Kail yang dipasang berguna untuk menjerat keluang yang  terbang. Di sore hari para pemain menaikkan layang-layang dilapangan yang dilintasi keluang. Jika beruntung dan pandai bermain, keluang yang terbang bisa dijerat. Jika kail berhasil mengait bagian kepak atau tubuh dengan kuat, keluang akan terjerat dan ditarik jatuh ke tanah.

Di Daik, permainan layang-layang adu atau disebut juga dengan layang-layang gelas telah punah. Bermain layang-layang gelas bertujuan untuk memutuskan tali layang-layang lawan. Abdul Majid (76 tahun) biasa dipanggil sebagai Pak Unggal yang tinggal di Kampung Tanda Hulu termasuk mantan pemain dan orang yang tahu membuat layang-layang gelas khas Daik. Dari ceritanya, permainan layang-layang gelas berakhir pada awal era tahun 1960-an. Padang lembu dan padang tengah di Daik menjadi tempat bermain layang-layang. 

Tahun 2018, Pak Unggal Majid pernah membuatkan satu layang-layang gelas buat penulis. Bentuk layang-layang gelas mempunyai ciri khas tersediri karena diberi ekor berambu-rambu panjang yang dipasang di bagian belakang. Terdapat rangka dari bilah buluh tipis  menghubungkan antara tali dan rangka kepak yang disebut dengan tulang sotong. Rangka tambahan berfungsi untuk memperkuat bagian atas layang-layang. Di bagian atas tepatnya di ujung kiri-kanan kepak dipasang kertas tambahan yang disebut senteng yang berfungsi untuk hiasan. Menurut Pak Unggal Majid, tali layang-layang dilumuri dengan pecahan kaca halus yang telah diberi perekat. Pecahan kaca halus yang menempel dipermukaan tali menjadi tajam berguna memutuskan tali layang-layang lawan. Kini layang-layang gelas khas Daik tinggal kenangan dan para pemain layang-layang nampaknya tidak lagi tertarik dengan khazanah layang-layang lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun