Akhir-akhir ini media memberitakan mengenai rencana Kemendikbud menghapus mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum SMA sederajat.
Tentu berita ini membuat masyarakat menjadi resah, karena kita tahu bahwa pelajaran sejarah sudah menjadi wajib sejak Indonesia merdeka, atau sekurang-kurangnya sejak SD kita sudah belajar sejarah, menghargai sejarah, dengan tujuan semata-mata untuk menanamkan rasa cinta kepada bangsa, perjuangan, pahlawan, dan tanah air. Terkait berita yang beredar ini, Perkumpulan Program Studi Sejarah Se-Indonesia (PPSI) sudah menyatakan sikap untuk menolak terkait rencana penghapusan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum SMA sederajat.
“Kenapa kita perlu belajar sejarah?”
“Kenapa kita tidak boleh menghapus pelajaran sejarah?”
“Apa guna sejarah?”
“Apa yang dimaksud dengan sejarah?”
Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah, mengatakan bahwa “orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya”. Sejarah itu berguna secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik sejarah berguna sebagai pengetahuan. Seandainya sejarah tidak ada gunanya secara ekstrinsik, yang berarti tidak ada sumbangan di luar dirinya, cukuplah dengan nilai-nilai intrinsiknya. Akan tetapi, disadari atau tidak, ternyata sejarah ada di mana-mana (Kuntowijoyo, 2013: 15).
Kuntowijoyo memaparkan setidaknya empat guna sejarah secara instrinsik, yaitu (1) sejarah sebagai ilmu, (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, (3) sejarah sebagai penyataan pendapat, dan (4) sejarah sebagai profesi. Secara ekstrinsik, sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu sebagai pendidikan (1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan, (7) keindahan, dan (8) ilmu bantu. Selain sebagai pendidikan, sejarah juga berfungsi sebagai (9) latar belakang, (10) rujukan, dan (11) bukti (Kuntowijoyo, 2013: 15-20).
Penjelasan Kuntowijoyo di atas seharusnya sudah bisa dipahami bahwa sejarah berguna sebagai ilmu pengetahuan.