Mohon tunggu...
Sasa
Sasa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Your future favorite writer.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Kecil tentang Kenaikan Harga BBM

7 Juli 2013   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi naik menjadi Rp6.500,- per liter untuk Premium dan Solar menjadi Rp5.500,- per liter. Sebelumnya, kedua jenis BBM tersebut berada di angka Rp4.500,- per liter. Kenaikan harga ini berlaku mulai tanggal 22 Juni 2013 pukul 00.00 di seluruh Indonesia setelah hasil voting terbuka pada rapat paripurna DPR RI yang dilaksanakan pada 17 Juni 2013. Dalam rapat tersebut, 65% anggota DPR yang hadir menyetujui RAPBN-P 2013 yang berisi dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi.

Di luar gedung, opini masyarakat terus mengalir baik di media sosial maupun melalui unjuk rasa yang terjadi di beberapa kota. Tidak seperti tahun-tahun saat isu kenaikan harga BBM digulirkan sebelumnya, kali ini opini masyarakat cukup beragam. Jika dulu kita melihat seluruh masyarakat menolak kebijakan untuk menaikkan harga BBM, kali ini tidak sedikit yang mendukung kebijakan ini. Hal ini terlihat dari tulisan-tulisan yang muncul di media sosial baik Twitter maupun Facebook, seperti:

"Beli rokok Rp12.000,- per hari bisa, bensin cuma naik Rp2.000 seliter aja protesnya gila-gilaan."

"Mobil mewah tapi BBM maunya pakai yang murah. Rakyat Indonesia ga bisa dimanja terus."

Kalimat-kalimat ini menujukkan bahwa rakyat Indonesia mulai terbuka dalam menerima perubahan. Atau mungkin mereka memang sudah berubah, sehingga sudah cukup siap pula untuk menerima perubahan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Setelah harga BBM bersubsidi naik, harga barang kebutuhan sehari-hari dan tarif transportasi umum pun naik. Sebagian besar naik secara perlahan, sebagian lagi langsung melonjak ke angka yang tinggi. Ditambah lagi kondisi yang mendekati bulan puasa ataupun lebaran, tentu tidak akan mudah bagi rakyat kecil untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka. BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) senilai Rp150.000,- pun diturunkan untuk menepati janji pemerintah pada rakyat kurang mampu yang terdaftar. Bantuan ini justru menjadi kontroversi di tengah masyarakat karena banyak anggapan bahwa kriteria penerima BLSM tidak sesuai dengan kenyataannya. Cukup banyak ibu-ibu dengan kalung emas atau bapak-bapak dengan sepeda motor keluaran terbaru yang mengantri di Kantor Pos setempat untuk mengambil BLSM mereka. Belum lagi mereka yang terlihat sangat tidak mampu malah tidak terdaftar sebagai penerima BLSM. Selain itu, ada banyak nama warga yang telah lama meninggal dunia terdaftar menjadi penerima BLSM. Itu hanya sebagian kecil masalah pendistribusian BLSM di tengah masyarakat.

Pemerintah harus memperbaiki permasalahan ini sampai ke akarnya. Tidak hanya dalam hal pendataan penerima BLSM, tetap mungkin juga harus mengkaji ulang kebijakan ini. Menurut saya, pemberian BLSM ini tidak mendidik masyarakat. Kemiskinan yang ada di tengah rakyat Indonesia saat ini tidak hanya mengenai tingkat kesejahteraan hidup mereka, melainkan juga mental mereka. Orang-orang yang bermental miskin, akan terus merasa dirinya miskin, selalu ingin dimanja dengan bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah, meskipun sebenarnya mereka sudah cukup mampu dan tidak berhak menerima bantuan itu. Dalam hal ini, yang harus diperbaiki adalah mental mereka, bukan kondisi keuangan mereka. Maka dari itu, ada baiknya jika saya boleh memberi saran pada pemerintah, kaji ulang kebijakan ini. Alangkah lebih baik jika yang diberikan adalah pendidikan untuk berwirausaha dan bunga kredit yang murah bagi pelaku usaha kecil agar mereka dapat menjadi masyarakat yang mandiri, yang membantu Indonesia menjadi lebih kuat dan kaya.

Sementara BLSM tetap terdistribusi dengan berbagai permasalahan di dalamnya, tarif angkutan umum sudah naik terlebih dahulu sebelum dikeluarkannya keputusan dari pemerintah. Umumnya, media memberitakan kenaikan tarif angkutan umum ekonomi di Jakarta berkisar antara 30-50%, padahal pemerintah belum menetapkan kenaikan tarif angkutan umum. Tanggapan pengguna angkutan tentang kenaikan tarif ini pun beragam saat diwawancarai oleh media. Ada yang mengatakan keberatan dan mempertanyakan hal itu pada supir angkutan, ada pula yang mengatakan wajar sehingga menerima harga yang ditetapkan supir sendiri. Tapi ada satu tanggapan yang cukup menarik untuk saya. Beberapa pengguna angkutan tersebut mengatakan, "Ya mau bagaimana lagi, ikut aja lah."

Kalimat itu menunjukkan betapa lemahnya mereka sebagai rakyat di bawah bendera Indonesia yang memegang asas-asas demokrasi. Mereka butuh dorongan untuk sadar bahwa kedaulatan negara ini, ada di tangan mereka. Hal kecil seperti ini sangat berbahaya ketika menjadi besar. Kelak setiap warga negara akan tunduk kepada apapun keputusan pemerintah dan tidak memiliki daya untuk melawan, atau menunjukkan apa mau mereka. Demokrasi akhirnya hanya akan menjadi sejarah bagi bangsa yang besar ini.

Jika dihubungkan kembali ke awal, ke opini masyarakat dalam menanggapi isu kenaikan harga BBM, pemikiran ini menjadi fatal. Dampaknya, bukan cuma tidak akan ada lagi unjuk rasa yang menentang kenaikan harga BBM, namun juga tidak ada yang akan bersuara lantang mendukung isu ini. Ketakutan terbesar saya bukanlah seluruh rakyat memberontak pemerintahan yang sedang berlangsung, melainkan sikap apatis masyarakat yang akan terus berkembang. Perlu adanya pendidikan tentang politik untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama rakyat yang sangat jauh dari hingar-bingar politik. Jangan hanya sosialisasi saat mendekati pemilihan umum, tapi juga penjelasan tentang hak dan kewajiban mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Kekuatan bangsa ini ada di tangan mereka.

Ketika masyarakat mulai sadar bahwa mereka bukanlah sekedar rakyat di bawah pemerintah, mereka akan tumbuh menjadi masyarakat yang mandiri. Seperti yang terjadi di daerah Pacitan. Diberitakan di media bahwa tingginya harga distribusi bahan pangan untuk masuk ke Pacitan karena kenaikan harga BBM membuat masyarakat setempat memaksimalkan potensi daerah mereka. Cabe, misalnya. Produksi cabe di Pacitan mulai merangkak naik karena tingginya permintaan dan harga yang menyesuaikan. Para petani cabe juga merasa jerih payah mereka lebih dihargai. Dampak-dampak positif seperti ini perlu disebarkan agar masyarakat di daerah lain juga memiliki usaha untuk mengatasi naiknya harga-harga kebutuhan. Kelak Indonesia akan menjadi bangsa yang mandiri, yang kuat, dan tidak takut akan perubahan ekonomi dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun