Tapi dalam kontek masyarakat kita sendiri, pengertian matre ya seperti di atas tadi, jadi saya simpulkan bahwa penggunaan kata matre dalam hal memotivasi orang lain sebenarnya kurang tepat apalagi dalam kontek masyarakat kita yang cenderung konsumeristis.
Menurut saya, gunakanlah istilah atau jargon yang sesuai pada konteks masyarakatnya. Pelajari bagaimana paradigma suatu masyarakat, yaitu bagaimana masyarakat itu mengartikan istilah atau jargon itu dalam kontek sehari-hari mereka yang bisa jadi meleset dari arti baiknya, seperti pada ketiga poin di atas. Sehingga sama halnya kita melempar sesuatu yang kotor untuk menjadi bahan konsumsi masyarakat karena maksud mereka dan maksud kita berbeda dalam hal mendefinisikan istilah itu.
Sehingga tak jarang saat ini, banyak perempuan menganggap bahwa matre itu wajar, padahal arti matre dalam konteks masyarakat kita sebenarnya berbeda dari arti sebenarnya. Seperti arti matre pada poin 1 dan 2 di atas jika menjadi prinsip kebanyakan orang maka akan menjadi berbahaya untuk mental suatu bangsa. Sedangkan arti matre pada poin 3 jika tujuannya bahwa kita akan menawarkan proposal pada seseorang atau mempertimbangkan seseorang untuk bisa membantu dalam suatu tujuan bersama dalam hal materi saya rasa tak ada masalah, yang menjadi masalah jika kita tujuannya untuk kepentingan diri sendiri, maka akan berubah artinya menjadi poin 2.
Jadi, inti masalahnya bahwa jika penilaian semacam itu dijadikan tolak ukur untuk mencapai tujuan diri sendiri dan paling parah jika itu menjadi prioritas. Dengan prinsip seperti itu akan merusak mental kita. Jadi, jangan heran banyak koruptor saat ini karena yang menjadi prioritas adalah materi dibanding moralitas.
Memang pada dasarnya kita membutuhkan materi untuk hidup tetapi jika itu menjadi prioritas dibanding hal baik lainnya, maka saat itulah mental kita akan rusak.
Jadi, kalau saya mau mencari pasangan hidup, gak boleh ya saya mengharapkan yang mapan?
Nah, mapan sendiri juga itu bukan berarti hanya mapan dalam segi materi tetapi juga mapan dalam hal attitude. Kalau mindset kita selalunya ada materi maka segala sesuatu akan kita artikan sebagai sesuatu yang berbau materi.
Sudah banyak permasalahan karena berkembangnya paradigma dari penggunaan kata matre yang salah tempat & kaprah. Saya pernah mendengar keluhan teman saya dimana ia dituntut untuk menekuni bidang tertentu karena orangtuanya menganggap bahwa bidang itu akan membuatnya sejahtera dalam hal materi meskipun itu tak sesuai minatnya, alhasil ia tak pernah menekuninya & simpang siur tidak jelas. Paling parah lagi, seorang ibu muda pernah bercerita kepada saya dengan mengatakan bahwa rugi kita jika terlahir sebagai perempuan cantik tetapi tidak dapat suami kaya. Mendengar itu saya hanya menelan ludah tanpa mengomentarinya. Memang iya suaminya kaya tapi jangan tanya hampir tiap hari mereka perang. Belum lagi beberapa teman yang mengeluh bahwa orangtuanya selalu mempermasalahkannya karena pekerjaannya gajinya rendah, dan ia mengatakan bahwa sepertinya orangtua kita memiliki anak untuk diharapkan menjadi mesin pencetak uang. Miris bukan?
Jadi, untuk kontek memotivasi orang lain dengan kontek cara berpikir & hidup masyarakat Indonesia yang cenderung konsumeristis, ada baiknya kata matre itu diganti dengan realistis, sehingga materi bukanlah menjadi prioritas tapi memang diperlukan dalam kadar yang wajar.
Jadi, ketika saya ditanya "Mey, kriteria calon pendampingmi gimana ya?"
Jadi, saya hanya menjawab "cukup dia memiliki kepribadian yang baik dan semangat juang & belajarnya tinggi. Itu saja". Karena orang yang memiliki semangat juang & belajar yang tinggi ditambah dengan kepribadian yang baik tidak akan pernah menjadi orang yang benar-benar miskin. Karena kita memang belum pernah masuk dalam golongan orang miskin jika kita masih kaya hati & mental, meski tidak kaya harta. Saya selalu terinspirasi dari cerita teman saya tentang hidup orangtuanya dulu yang serba kesusahan saat baru menikah tetapi karena semangat juangnya akhirnya mereka bisa hidup sejahtera & saya boleh lihat hasilnya meski mereka berkelimpahan, tetapi saya melihat hasil didikan kepada anaknya sangat bagus, karena teman saya ini suka menolong orang susah & tidak takut hidup dari nol jika seandainya dia menikah nanti. Jadi, orangtuanya memang membangun mental yang baik di dalam keluarganya.
Maka saya tidak pernah bangga ketika saya dilabeli sebagai perempuan matre, sebab saya memang tidak matre tapi saya perempuan yang realistis dimana saya memang butuh uang untuk hidup tapi bukan berarti itu harus banyak baru saya bisa hidup dan menjadi prioritas mengalahkan segala-galanya yang baik. Karena saya tidak mau dianggap sebagai perempuan yang tidak mandiri & penjilat, yang memiliki kebiasaan memanfaatkan kelebihan orang lain demi kepentingan diri sendiri.
Jangan mau harga diri kita dinilai hanya sebatas materi. Karena perbedaan antara matre dan realistis sebenarnya sesuatu yang sangat berbeda. Matre kesannya lebih kepada hal yang berbau materi yang menjadi satu-satunya tolak ukur, sedangkan realistis kesannya bahwa materi bukan satu-satunya tolak ukur dan juga bukan prioritas tapi masih ada hal lain yang juga masuk pertimbangan, bukan sekedar materi saja.
Jadi berhati-hatilah menggunakan kata matre, apalagi untuk memotivasi orang lain, karena bisa jadi itu merusak mental orang lain sebagai orang yang hanya mau menunggu tapi malas berusaha atau berusaha tapi cenderung memprioritaskan keuntungan sehingga tidak mempertimbangkan hak orang lain.