Mohon tunggu...
Meylisa Theresia
Meylisa Theresia Mohon Tunggu... -

Kadang suka menulis tapi belum bisa dibilang hobi. Saya suka (hobi) membaca opini orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebuah Refleksi di Hari Pendidikan Nasional

4 Mei 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu mungkin usia saya masih terlalu kecil untuk mengenal arti kata belajar. Sedari TK sampai tamat SMA, yang ada diotak saya tentang definisi belajar adalah suatu kegiatan dimana saya harus menghafal rumus-rumus, atau teori-teori yang sifatnya mutlak (baca: intinya mesti diapal mati).

Ok, saya akui mungkin pada awalnya -sampai sekarang pun- saya mengakui bahwa belajar dengan cara menghafal itu adalah sesuatu yang lebih mudah. Dengan teori dan rumus yang sudah saya hafalkan sebelumnya, saya bisa menjawab soal-soal essai yang diberikan dengan baik, bahkan dengan menyertakan teori-teori tersebut saya merasa jawaban saya itu bukanlah jawaban yang hanya asal jawab saja, melainkan terlihat seperti jawaban yang lebih waras mendekati kenyataan.

Jujur saya tidak banyak tahu tentang sistem pendidikan di Indonesia sekarang. Yang saya dengar bahwa pendidikan di Indonesia sekarang jauh lebih sulit untuk dimengerti orang awam seperti saya. Saya tahu saya bukanlah ahli pendidikan seperti mereka-mereka yang bekerja dibalik meja di Departemen Pendidikan. Umur saya juga baru beranjak ke angka 2 kemarin. Saya buta soal bagaimana pendidikan yang baik. Tapi satu hal yang saya tahu, saya pernah merasakan susahnya jadi pelajar.

Bagi saya menjadi pelajar merupakan pekerjaan yang jauh lebih mudah dibandingkan dengan pekerjaan diluar sana (baca: menjadi boss, direktur, karyawan, dsb.) Seorang pelajar hanya mempunyai kewajiban untuk belajar. Melelahkan memang, tapi saya mendapat ilmu. Sedangkan mereka yang diluar sana (baca: mereka yang bukan pelajar), walaupun mendapatkan uang tapi saya yakin beban mereka jauh lebih berat. Misalnya saja seorang direktur. Walaupun mendapat uang banyak tapi dia juga memiliki kewajiban yang besar, bukan hanya kepada anak istrinya, tapi juga kepada bawahannya dan keluarga mereka. Coba bandingkan dengan pelajar. Tugas kami hanya belajar, tanggung jawab kami pun juga hanya sebatas pada diri kami dan masa depan kami.

Belajar memang benar melelahkan, saya tahu itu. Tapi disini yang membuat saya benar-benar merasa lelah adalah pandangan mereka (baca: orang tua, guru, orang-orang sekitar kami) tentang arti belajar. Semua orang menganggap bahwa belajar itu dikatakan sukses ketika kami (pelajar) mendapatkan nilai 100 dan dikatakan gagal ketika kami (pelajar) mendapat nilai dibawah 60. Kami lelah kalau kalian terus-terusan menanamkan itu dalam pikiran kami. Kami juga manusia biasa (baca: yang masih dalam proses belajar) yang bisa gagal.

Saya pun pernah mendapatkan angka 4 atau bahkan 2 untuk ulangan saya. Tak jarang orang tua pun memarahi saya ketika ulangan saya HANYA mendapat 6. Mereka bilang saya tidak tekun belajar. Duh, kenapa mereka menyalahkan saya untuk nilai-nlai saya? Saya mendapat nilai jelek itu pun bukan berarti saya tidak belajar. Saya sudah belajar 3 hari 2 malam untuk mempersiapkan ulangan tersebut. Saya sudah bekerja keras untuk itu. Tapi kenapa mereka hanya melihat nilai saya dan bukan kerja keras saya?

Saya benci ulangan. Belajar karena ulangan benar-benar melelahkan. Tak dipungkiri semangat belajar pun terkadang berkurang karena saya terlalu gugup memikirkan hasil ulansgan saya. Saya lelah!

Satu hal yang ingin saya tanyakan. Apakah hasil ulangan bisa benar-benar merepresentasikan kemampuan kami? Bukankah nanti ketika kami turun kedalam lingkungan sosial (baca:bekerja) yang kami bawa bukan nilai tapi nilai dari kerja keras dan perjuangan yang telah kami latih selama kami bersekolah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun