Untuk itu, manusia akan selalu berpikir, dengan berpikir akan muncul pertanyaan, dan dengan bertanya maka akan ditemukan jawaban yang mana jawaban tersebut adalah suatu kebenaran. Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyataan teori. Adapun moto teori ini adalah "truth is fidelity to objective reality" (kebenaran setia/tunduk pada realitas objektif). Implikasi dari teori ini ialah hakikat pencarian kebenaran ilmiah, bermuara kepada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencari relasi yang senantiasa konsisten. Teori koherensi/konsistensi. Teori ini berpendapat bahwa suatu kebenaran adalah apabila ada koherensi dari arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan antara dua atau lebih logika. Kebenaran terjadi jika ada kesesuaian antara pernyataan saat ini dan pernyataan terdahulu. Sumber kebenaran menurut teori ini adalah logika (manusia) yang secara inheren memiliki koherensi.
    Kemudian, untuk yang bersifat berubah, memilih, ikhtiar, bersifat realisme. Materialism lahirlah hukum alam yang bersifat korespondensialism. Korespondensi adalah relasi yang terjadi antara proposisi dan fakta jika proposisinya benar. korespondensialism yang bersifat persepsi, sintetik, a poster priori yang  percaya seperti level anak-anak, yang di dapat berdasarkan pengetahuan, bersifat emperialism yang dikemukan oleh tokoh imperialism yaitu David Hume, imperialism dapat berubah karena kontradiksi, oleh karena berubah ada novelty yaitu perubahan. Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman. Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.Persepsi adalah hasil respons inderawi terhadap fenomena alam.Oleh karena ada pertentangan/ debat tentang paham perubahan dan paham tetap pada masa itu ada terjadi perbedaan pendapat dari tokoh aliran tetap dengan tokoh aliran berubah yakni Deraktitos. Setelah terjadinya perdebatan pendapat, maka pada tahun 1671 ada tokoh filsafat yang memahami dan menjelaskan bahwa ilmu harus berdasarkan a priori dan sintetik. Pada peristiwa itulah mulai munculnya zaman modern ketika adanya pertempuran David Hume dengan R. Descrates.
    Pada tahun 1857 muncul tokoh Aguste Compte yang mengemukakan pendapat yang berbeda. Compte menyatakan bahwa agama tidak dapat membangun manusia. Salah satu sumbangsihnya terhadap sosiologi menyangkut hukum perkembangan budaya masyarakat, yang terbagi menjadi tiga zaman, yaitu: Zaman Teologis adalah zaman dimana orang memiliki kepercayaan magis, mereka percaya pada roh, jimat dan agama, dunia bergerak dalam akhirat, untuk menyembah leluhur. , dunia di mana orang mati menguasai orang hidup. Zaman metafisika adalah zaman masyarakat ketika pemikiran manusia masih dibatasi oleh konsep-konsep filosofis yang abstrak dan universal. Era positivis adalah masa ketika semua penjelasan fenomena sosial dan alam dibuat dalam kaitannya dengan deskripsi ilmiah (hukum ilmiah).
Menurut Auguste Comte, sosiologi adalah disiplin  ilmu yang mempelajari manusia. Sebagai manusia, kita memiliki naluri untuk selalu hidup bersama orang lain. Ide-ide Comte dalam sosiologi dikenal sebagai hukum tiga tahap pemikiran manusia. Tahapan yang disebutkan oleh Auguste Comte adalah tahap teologis, tahap metafisika dan tahap positivis. Kata sosiologi berasal dari bahasa latin socius yang berarti teman atau sahabat. Sedangkan logos berarti ilmu. Menafsirkan dua kata ini, sosiologi adalah ilmu tentang teman.
Secara umum, sosiologi adalah studi tentang interaksi dalam masyarakat. Â Ilmu ini dikenal pada abad ke-19 dan terpisah dari filsafat. Sosiologi mempelajari hubungan antara manusia dan kehidupan. Selain itu, sosiologi mempelajari kelas, masyarakat, ikatan adat, adat istiadat, kepercayaan, perilaku dan budaya.
 Compte menjelaskan Tingkat kehidupan manusia dari yang paling rendah yaitu :Agama/Spiritualism > Metafisik > Metode Positif > Positism. Comte berpendapat bahwa jawaban atas perkembangan sosial harus dicari pada ciri-ciri yang membedakan manusia dengan binatang, yaitu perkembangan kecerdasan. Comte mengemukakan tiga tingkat kecerdasan manusia, yaitu teori perkembangan atau yang biasa disebut hukum tiga fase atau tahap, yaitu: Fase teologis. Fase ini dimulai sebelum tahun 1300 dan mencirikan dunia. Pada tahap ini, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini diyakini dikendalikan oleh dewa, roh atau kekuatan gaib dewa. Pemikiran ini menjadi dasar mutlak untuk menjelaskan semua fenomena di sekitar manusia sedemikian rupa sehingga terkesan absurd. Dalam tahap teologis ini, masyarakat memiliki tiga keyakinan. Yang pertama adalah fetisisme (segalanya) dan dinamisme bahwa alam semesta ini memiliki jiwa. Kemudian animisme, yang mempercayai dunia sebagai tempat tinggal makhluk halus atau makhluk halus. Yang kedua adalah politeisme (pilihan), sedikit lebih maju dari kepercayaan sebelumnya. Politeisme mengklasifikasikan segala sesuatu dan fenomena alam berdasarkan kesamaan di antara mereka. Jadi, politeisme menyederhanakan keragaman alam semesta. Contoh kemusyrikan, sebelumnya setiap sawah memiliki dewa yang berbeda di desa yang berbeda. Politeisme menganggap bahwa setiap sawah di mana ia berada memiliki dewa yang sama, orang Jawa mengatakan bahwa dewa padi adalah Dewi Sri. Terakhir, monoisme adalah kepercayaan bahwa hanya ada satu Tuhan. Dalam fase teologis, berikut ini dapat kita berikan contoh auman guntur yang dibuat oleh para raksasa dalam peperangan.
Pada tahap yang kedua yaitu Fase Metafisik. Fase ini terjadi antara tahun 1300 dan 1800. Pada saat itu, orang mengalami perubahan cara berpikir. Pada tahap ini muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain Tuhan yaitu alam. Segala sesuatu yang terjadi di bumi adalah hukum alam yang tidak dapat diubah. Misalnya pejabat pemerintah adalah orang terpelajar yang mengetahui  ilmu pengetahuan, namun tetap percaya akan hal gaib dan percaya pada kekuatan dukun.
Pada tahap ini, Fase Positivisme semua fenomena atau fenomena alam yang terjadi dapat dipelajari, diuji, dan dibuktikan secara empiris atau secara ilmiah. Tahap ini membuat  sains berkembang dan segalanya menjadi lebih rasional, menciptakan dunia yang lebih baik, karena orang cenderung berhenti mencari penyebab absolut (Tuhan atau alam) dan lebih fokus mempelajari dunia sosial dan fisik, mencoba menemukan hukum yang mengaturnya. Misalnya, tanaman padi berbuah bukan karena kehendak dewi Sri, melainkan karena perawatan dan pemupukan yang baik.
Seiring dengan perkembangan teknologi pada zaman modern, teknologi menghasilkan kesejahteraan dan kemunafikan. Ada pemahaman kontemporer yang menyatakan Tingkat kehidupan manusia di mulai dari level yang terendah yaitu :
Archaic > Tribal > Tradisional > Feudal > Modern > Pos Modern > Power/ Now.
Masih belum tuntas mencermati binatang apakah Positivisme itu, di luar kesadaran komunitas spiritual, dia telah menjelma menjadi sang Power Now atau Post Modern atau Post Post Modern yang menguasai segala aspek dan sendi kehidupan komtemporer dengan 4 ujung tombak: Kapitalisme, Pragmatisme, Utiltarianisme dan Hedonisme. Dibanding Positivisme awal, maka Power Now menampilkan sosok struktur dunia yang lebih lengkap, lebih canggih, dan lebih mampu merangkum semua persoalan dunia, seperti tampak pada diagram berikut: