Mohon tunggu...
Meykke Santoso
Meykke Santoso Mohon Tunggu... Freelancer - online English teacher

A woman who is crazy about writing and travelling. Love beach, nature, and sky! Blogger : meykkesantoso.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Seklumit Kisah Tentang Layang Layang

7 Mei 2013   06:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:59 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tarik tarik....”, ucap seorang anak laki laki seakan memberi komando ke anak laki laki lainnya yang sedang menarik ulur benang berujung layang layang, melayang layang, berkelok kelok lincah di langit.

“Saiki sendal! Disendal cepet!!”, seorangnya lagi seakan tidak mau kalah. Dia bilang tarik saja secara tiba tiba.

“Yah, pedooot...mau kurang kuat sing nyendal ok yo dadi kalah...”, Dan pada akhirnya bercelotehlah lagi anak laki laki lain mencerca kekalahan si anak yang terlihat sedikit kecewa. Layang layangnya tersangkut layang layang yang lain dan putus.

Seperti biasa saya sehabis memberi les bahasa Inggris tambahan, jalan sekitar 100 meter dari gapura tempat dimana saya turun dari angkot. Siang sampai sore hari, anak anak di sekitar daerah suka bermain layang layang. Saya tengok ke atas, 3 sampai 4 layang layang saling beradu di udara.

Pemandangan itu langsung melemparkan ingatan saya ke sekitar 9-10 tahun yang lalu. Sewaktu saya masih duduk  di bangku berseragam merah putih.

Kalau anak perempuan seusia itu lagi suka sukanya mainan barbie. Barbienya dimandiin, dikasih lipstik, digendong gendong, terus dikasih baju renda renda warna pink. Atau, mainan boneka serupa teddy bear, atau yang gede gede, juga warna pink. Kalau yang cowok ya dulu musimnya main tamia gitu sama beli lintasannya sekalian nanti saling diadu yang paing cepat punya siapa. Atau mainan kasti, sepak bola, daaaaaaaan layang layangan.

Kalau saya? Layang layangan. Bersama dengan teman teman saya cewek dan juga cowok, kita beli layang layang, lalu dirangkai dengan benang sambil nyanyi,

Kuambil buluh sebatang Kupotong sama panjang Kuraut dan kutimbang dengan benang Kujadikan layang-layang [ *from http://www.index-of-mp3s.com/lyric/lagu-anak-indonesia/layang-layang.html ] Bermain berlari Bermain layang-layang Berlari kubawa ke tanah lapang Hatiku riang dan senang

Ada yang polos, ada yang gambarnya ultraman. Macam macam. Serempak kita menuju ke tanah lapang persis di sebelah Mesjid Isdiman berhadapan dengan bukit dengan lengkungan serupa lembah kecil berupa sawah sawah berterasering sedemikian rupa tepat diantaranya. Lapangan yang sekarang sudah beralih bentuk dan fungsi menjadi Ambarawa Rest Area. Kalau kalian sering melintasi jalan Ambarawa-Jogja pastilah tahu tempat itu. Di sana dulu saya menyebarkan serpihan kenangan, bermain layang layang.

Saya tarik ulur tu benang layang layang. Teman saya dengan semangat memegangkan layang layang untuk saya. Itu khan sebelum terbang harus ada yang memegangkan layang layang dengan jarak beberapa meter dari si pemegang kaleng susu dengan banyak lilitan benang. Di ujung sana, teman saya akan berteriak beradu keras dengan deru kendaraan yang hilir mudik melintasi jalan persis di samping lapangan.

“Ke, siaaaaaaaaaaap???”

Saya berkonsentrasi penuh. Tangan kiri memegang kaleng susu bendera, dan tangan kanan memegang pangkal benang siap untuk meluncurkan layang layang ke udara.

“Siaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaap!!!”, teriak saya tak kalah keras..

Dan langsung dia mengangkat tinggi tinggi layang layang saya, dia hadapkan sedemikian rupa ke angin pembawa layang layang, dan....

Layang layang saya terombang ambing sebentar, lalu saat akan naik ke atas, layang layang saya oleng.

“Wah, keadaan kritis!!” pikir saya..

Saya tarik lalu ulur...tarik lagi..lalu ulur...keringat saya sebiji jagung menetes melintasi dahi, pelipis, pelupuk mata, pipi, berhamburan. Saya fokus sefokus fokusnya.

“Anak laki laki aja bisa saya juga harus bisaaaahhh!!” saya mencoba memotivasi diri saya sendiri.

“Ayo!! Ayo!! Ayooo!!” temen cewek saya yang lain bertugas sebagai cheerleader dadakan. Sebentar lagi mereka akan membentuk piramid dan nge-roll di udara.

Saya tarik dan ulur sampai  titik darah penghabisan.

Layang layang mulai stabil, lalu saya mulai lengah..

Layang layang saya njebur sawah. Katam. Saya beli lagi.

Lain hari saya berganti tugas. Saya karena selama beberapa kali percobaan selalu gagal dan menyebabkan uang saku saya yang menjadi di ambang kehancuran, saya akhirnya berganti haluan menjadi pemegang layang layang sambil belajar tehnik menerbangkan  benda berbentuk 2 segitiga saling berbagi sisi dasar itu.

“Ke, kurang adoooohh”, temen saya memekik, kurang jauh katanya.

Saya tergopoh gopoh mundur beberapa langkah.

“Semene??”, saya bertanya apakah jaraknya sudah cukup atau belum.

“Iyo. Sing duwuuuur!!!”, serta merta dengan sepenuh tenaga saya ‘njinjit’ dan menaikkan layang layang dengan lengan saya yang kurus kayak korek api tanpa pentul.

“Saiki!!”, saya melepas  layang layang itu pergi, biar saja dia terbang bebas, terbang tinggi tak terperi. Gapai semua cita citamu.

Bermain layang layang sambil merasakan semilir angin berhembus. Memandang batang padi saling berayun seirama deru angin. Saling menertawakan tiap kali layang layang temen saya jatuh di sawah dan tidak bisa diselamatkan, atau terkadang ‘temangsang’ di pohon dan tidak berani memanjat. Coba dulu saya udah punya kamera ya...

Temen saya waktu itu masih kecil kecil. Masih polos, masih belum terkontaminasi bobroknya dunia.  Masa dimana tiap harinya Cuma kepikiran dua perkara.

“Besok ada PR apa?”

Dan

“Sepulang sekolah mau mainan apa??”

Dulu kita mainan bukan mainan indoor yang membuat anak anak menjadi autis seperti jaman sekarang. Mainan kita jaman dulu bisa membantu kita bersosialisasi dan menikmati masa kecil bersama teman teman.

Saya mainan ‘betengan’ dengan misi utama merebut benteng pertahanan lawan dengan menyelip dan bersembunyi, juga melepaskan tawanan yang dipenjara kubu lawan. Sistemnya pun sampai sekarang saya masih ingat. Nanti kapan kapan saya jelasin.

Lalu, ada strengan atau lompat tali dengan berbagai variasi. Ada juga lompat kilas memakai lengan. Lalu, ada sundamanda dengan 2 variasi juga, yaitu sundamanda bentuk salib dan sundamanda payung. Itu lho yang pake ‘gacuk’ terbuat dari serpihan  genting bata sambil lompat lompat melewati kotakan bersusun digambar di atas tanah dengan kapur tulis ambil sekolahan. Ada juga bekelan. Dulu saya paling suka setinan, itu lho pake setin dengan ‘gacuk’nya biasanya setin warna putih susu satunya seratus perak. Ada juga kasti dengan piranti milik Erwin, salah satu teman SD saya. Kalau bosen, bisa juga main tong mok. Bermodalkan lagi lagi kaleng susu bendera dengan batu. Batu dilempar dari kaleng susu sebagai garis startnya dan pada akhirnya yang kalah harus mencari orang orang yang bsersembunyi, sejenis hide-and-seek. Kalau itu juga sudah bosan bisa main...ah, saya lupa namanya. Ada papan gitu yang berbentuk segiempat dengan keempat ujungnya dilubangi. Lalu, ada seperti lingkaran lingkaran pipih. Sistem kerjanya sama dengan kalau kita main billiard, tetapi nggak pake stick, pake jari dengan sistem ‘menyentlik’. Duh, bahasa Indonesianya menyentlik apa ya aduh. Yang kalau, wajahnya dicoreng pakai kapus ambil dari sekolahan atau bedak tabur Mars yang putih. Terakhir ada juga mainan Teletubbies. Ini gagasan Erwin. Kita akan menjadi Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Poo. Lalu joget joget membentuk lingkaran dengan berkacak pinggang dan bergoyang goyang meniru Teletubbis yang pada akhirnya saling berpelukan sama lihat video dari matahari apa ya? Duh, ingatanku...

Bandingkan dengan sekarang???

“Anj*ng!! Duh, aku kalah, matiiiii!!” sambil memencet mencet keyboard komputer di warnet dengan binal.

“Assssss***, aku yo iyooo!! Logo* tenan kiiiiii!!!!” umpat anak yang lain dengan tatapan penuh ambisi.

“Diajar we saiki diajarrrrrr!!!! Waseeeeeeem!!! Bali ning markas bali ning markas!!!”

Dulu teman saya yang cowok nggak pernah sumpah serampah. Saat lompat tali lalu kalah, kita saling menertawakan, bahagia sekali. Kita juga main masak masakan, bisa masak nasi goreng lalu makan sepiring untuk bersama. Asem?? As*? Kucing? Sapi? Kadal? Tak pernah meluncur dari mulut kita.

Dan sungguh, saya rindu serindu rindunya dengan masa dulu. Saat game center online belum ada, saat mainan traditional masih bertahta. Bermain sama saja menjalin kebersamaan. Dan sekarang bermain sama saja menyendiri dan menepi dari dunia luar.

Well, everything changes, but sometimes, those kind of changes ended up with damage. Dan ini setara dengan kerusakan generasi.

Sangat disayangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun