" Baik Uda "
" yasudah Uda pergi dulu ya , assalamualaikum " Sunarti mencium tangan ku
" waalaikumsalam , hati hati Uda "
Hari-hari terus berlalu seperti itu mulai sekarang, ada yang membangunkan ku di pagi hari, menyiapkan bajuku, menyiapkan sarapanku, lengkap sekali hidupku. Dan kehidupanku pun sebagai panglima divisi Siliwangi pun terus mengalir. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, hari kehari, Minggu ke Minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun rasanya cepat berlalu. Tanggal 17 Februari 1948 aku diangkat menjadi panglima besar dan kolonial Hidayat sebagri Wakil I KSAP. Mulai sekarang banyak sekali tanggung jawabku.
Saat ini tanggal 18 September 1948 terjadi pemberontakan partai komunis Indonesia ( PKI ) di Madiun. Dalam rangka menumpas pemberontakan PKI presiden Soekarno memerintahkan aku untuk membuat konsep operasi penumpasan. sebagai wakil panglima besar dan anggota dewan siasat militer aku dapat mengonsepkan dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI seperti yang diminta oleh bapak presiden Soekarno. Konsep ini pada pokoknya menyelamatkan pemerintahan menindak pemberontakan dengan menangkap tokoh-tokoh dan membubarkan organisasi pendukung atau simpatisannya. Konsep ini kemudian aku sampaikan kepada presiden Soekarno untuk dipertimbangkan, setelah mengkaji presiden Soekarno akhirnya menyetujui. Selanjutnya setelah mendapatkan persetujuan dari presiden Soekarno aku langsung melaporkan semua tindakan yang harus dilakukan kepada panglima besar jenderal Sudirman. Untuk mengatasi pemberontakan Madiun ini kemudian diadakan sidang dewan siasat militer.
Sebagai kepala staf koperasi, aku bertugas menyiapkan rencana-rencana operasi. Di samping itu dalam kedudukan ku sebagai panglima Siliwangi,aku memerintahkan brigade brigade untuk bergerak ke arah solo dan Semarang kemudian melakukan serangan ke Madiun dari arah barat.
Tidak berapa lama setelah Pemberontakan PKI di Madiun dapat ditumpas, kemudian Belanda melakukan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948 dan berhasil merebut ibukota Republik Indonesia Yogyakarta. Jauh sebelum Agresi Militer II Belanda ini, Presiden telah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 14 tertanggal 14 Mei 1948, tentang reorganisasi APRI. Pada tanggal 28 Oktober 1948, Komando Djawa dan Komando Sumatera dibentuk. Kolonel Abdul Haris Nasution ditetapkan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD). Markas Besar Komando Djawa itu membawahi 4 Divisi dan tiga Daerah Militer (Teritorium Militer). Setiap Panglima Divisi ditetapkan merangkap sebagai Gubernur Militer, kecuali Panglima Divisi IV /Siliwangi.
Ketika Yogyakarta diserbu oleh Belanda, Panglima Tentara Teritorium Djawa (PTTD) sedang mengadakan inspeksi ke Jawa Timur. Pada hari ini 19 Desember 1948 pagi Letnan Kolonel Kretarto, melaporkan kepada ku bahwa Belanda telah membombardir Wlingi, Kepanjen, Maospati, Tuban dan lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta. Setelah mendengar hal tersebut aku bersama seluruh staf ku mengambil keputusan untuk segera kembali ke Yogyakarta. Dengan terburu-buru, pagiini juga rombongan meninggalkan Jawa Timur dengan menggunakan kereta api luar biasa (KLB) menuju Yogyakarta. Dalam perjalanan aku aku mendapatkan laporan mengenai situasi terakhir Yogyakarta yang telah jatuh di tangan musuh.Â
Karena menurutku setiap keputusan penting harus dibicarakan bersama aku mendengarkan saran-saran dari para komandan setempat agar pttd membatalkan niatnya untuk kembali ke daerah yang sudah diduduki musuh dan supaya tetap memimpin gerilya di daerahnya. Akan tetapi hal lain terjadi, PTTD bersikeras meneruskan perjalanan. Akibatnya setelah perjalanan berhenti beberapa kali karena selalu dibayangi oleh pesawat-pesawat Belanda, pada pukul pukul 16. 00 rombongan tiba di stasiun srowot di daerah Prambanan.
Setelah aku mengetahui bahwa Maguwo telah dikuasai oleh musuh aku langsung memerintahkan kepada seluruh rombongan menuju arah utara ke lereng gunung merapi. Di sana, kita mulai perjalanan gerilya ke beberapa tempat lainnya. Selama aku menduduki jabatan sebagai panglima komando Djawa,aku menyusun hampir semua instruksi dan perintah kepada para komandan divisi brigade hanya saja untuk hal-hal yang khusus seperti logistik Aku dibantu oleh mayor Rudy Pirngadi, dan soal kesehatan dibantu oleh kolonel drg. Musthofa.
Aku memerintahkan para komandan untuk mempertahankan kemerdekaan mulai dari taktik tempur dengan cara gerilya, menghindari agitasi, perhubungan, non kooperasi, kekacauan, kabar bohong, kabar bohong, pembentukan pagar desa, dan kesehatan. Dengan instruksi-instruksinya itu tiap komandan di daerah mempunyai pegangan yang pasti untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda, sehingga kesatuan-kesatuan dibawahnya merasa tetap mempunyai pemimpin dan tidak berjuang sendiri.