Mohon tunggu...
Meinarti Saraswati
Meinarti Saraswati Mohon Tunggu... Lainnya - Akademisi

Mahasiswa Magister Keamanan Maritim Universitas Pertahanan RI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Sikap Indonesia Atas Ancaman Kedaulatan di Wilayah Laut Cina Selatan

28 April 2024   16:33 Diperbarui: 28 April 2024   16:33 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Babak baru Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan 

Agustus 2023 Republik Rakyat Tiongkok (RRT/Cina) kembali memanaskan suhu politik dunia dengan revisi peta maritim ten dash Line berupa garis putus-putus yang mendekati perairan Natuna utara, Indonesia. Jika mengacu pada Hukum internasional Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS (United Nations Convention on The Law of The Sea), klaim Cina ini tidak mendasar karena telah memasuki zona bebas internasional dan Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) negara lain yang telah disepakati secara international pada tahun 1982.

Indonesia telah menyatakan diri sebagai non-claimant states, atau negara tidak menuntut klaim atas Laut Cina Selatan dan menyatakan diri sebagai negara cinta damai. Namun kenyataan lapangan memaksa Indonesia tidak dapat berdiam diri karena intervensi Cina telah terjadi di wilayah ZEE Indonesia akibat dari klaim peta Cina tersebut. Seperti pengusiran nelayan lokal, pengambilan ikan oleh kapal Cina di wilayah yurisdiksi Indonesia serta permintaan Cina untuk menghentikan pengeboran migas pada tahun 2021 yang mendapat respon keras dan nota penolakan dari Indonesia.

Awal mulai klaim Cina ini didasarkan pada peta kejayaan Angkatan laut Cina saat berhasil menguasai eleven dash line (11 garis putus-putus) dalam perang melawan Jepang pada masa Perang Dunia II yang dipimpin Partai Kuomintang. Namun saat berdirinya Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, pemerintah komunis mengklaim sebagai pewaris wilayah maritime tersebut, yang mencakup wilayah sengketa Taiwan dan Vietnam. Hingga pada tahun 1950, pemerintah Cina merubah peta lokalnya menjadi Nine dash line (9 garis putus-putus) dengan klaim kepemilikan hampir 90% wilayah perairan di Laut Cina Selatan atau seluas 2 juta km2. 

Peta lokal ini tidak menjadi perdebatan selama beberapa decade, bahkan Cina ikut meratifikasi UNCLOS pada tahun 1996. Klaim ini kembali terdengar saat pemerintahan Cina berada di bawah Xi Jin Ping,  pada tahun 2009 mendaftarkan klaim laut tersebut ke PBB namun direspon penolakan  beberapa negara yang terdampak khususnya ASEAN yakni Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam yang mengacu pada ZEE UNCLOS 1982.

Arogansi Cina dalam menetapkan wilayah ini tidak lain karena pemerintahan negara komunis dibawah Xi Jin Ping itu sudah memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat kuat akan kemampuan militer dan ekonominya. Dunia memang harus mengakui bagaimana Xi Jin Ping sukses membawa perkembangan Cina dalam beragam kemajuan terutama ekonomi, teknologi dan militer sehingga kini Cina diakui sebagai salah satu negara adidaya yang bahkan membuat gusar Amerika Serikat dan sekutunya karena Cina "tidak tunduk" pada AS serta mengganggu hegemoni barat pada jalur perdagangan dunia.

Indonesia di Pusara Konflik Laut Cina Selatan (ten dash line) 

Perihal peta Cina menjadi 10 garis putus-putus di penghujung 2023, bertepatan dengan akhir kepemimpinan tahunan Indonesia sebagai ketua ASEAN, dimana selama kepemimpinannya secara aktif menawarkan solusi damai di wilayah Laut Cina Selatan. Bahkan sempat mendapatkan angin segar dari Cina dengan terselenggaranya pertemuaan ASEAN-Cina pada Maret 2023 sebagai pemenuhan Declaration of Conduct  yang  telah lama disepakati namun masih mangkrak dalam menelurkan Code of Conduct (CoC) atau kode Etik di Laut Cina Selatan.  Beberapa pertemuan lanjutan terus diupayakan Indonesia demi percepatan kesepakatan CoC yang mendapat respon baik dari semua negara ASEAN termasuk Cina.

Tercatat dalam forum global manapun, kebijakan diplomasi politik Indonesia cukup mendapat respon positif dan dianggap mampu menjaga hawa politik pada 'kondisi baik-baik saja' dengan tidak memihak pada salah satu kekuatan yang bersiteru. Indonesia mampu konsisten dengan politik bebas aktif dan non-blok serta berperan aktif dalam upaya perdamaian dalam prinsip non intervensi, kemerdekaan dan perdamaian regional. Termasuk dalam kepemimpinannya di ASEAN, melalui jalur diplomasi, Indonesia memposisikan diri sebagai delegator persahabatan bagi 3 pilar bidang ekonomi, politik dan keamanan sesuai tujuan ASEAN dalam piagam PBB "Mempromosikan perdamaian dan stabilitas regional melalui pematuhan penghormatan pada keadilan dan peraturan hukum yang brelaku pada hubungan antar negara di kawasan dan ketaatan pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam piagam PBB".

Konsistensi Indonesia untuk menempuh jalur diplomasi dalam menjaga stabilitas, perdamaian, dan keamanan di wilayah maritim Indonesia serta sekitarnya mencakup berbagai aspek, termasuk hubungan dengan negara tetangga, partisipasi dalam organisasi internasional, dan penegakan hukum di laut. Indonesia percaya ketidakmampuan negara membangun kerjasama diplomatik dapat meningkatkan risiko ketegangan di wilayah perairan bersama. Hal ini menjadi komitmen negara termasuk menanggapi konflik geopolitik Cina di Laut Cina Selatan. Dan hingga pada akhir masa kepemimpinan tahunan Indonesia di ASEAN pada Desember 2023, Indonesia tetap berkomitmen untuk berkontribusi aktif demi terciptanya kesepakatan diplomasi terbaik bagi semua pihak, selama para pihak yang bersengketa masih mau melanjutkan CoC. 

 Sikap Cina yang menerima wacana CoC namun disisi lain justru mendeklarasikan peta perluasan lokalnya menunjukkan bagaimana rapuhnya kepatuhan perjanjian batas negara jika berhadapan dengan negara yang menggangap dirinya telah memiliki kekuatan. Slogan stronger is the winner seakan memberikan privillege bagi negara adidaya untuk bebas bermanuver pada batas wilayah negara lain demi kepentingan nasionalnya karena negara lain tersebut dianggap lebih lemah dan tak mampu melawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun