Mohon tunggu...
Mexy Baitanu
Mexy Baitanu Mohon Tunggu... -

always positif think and try to do the best every time

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kabar Rupiah di Entikong

14 April 2011   10:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:48 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia, sebuah Negara yang hebat. Bangga. Tentu itulah yang harus kita tanamkan sebagai warga yang tinggal dinegara ini. Mengapa tidak, bangsa kita adalah bangsa yang kaya. Kita punya bahasa sendiri untuk berkomonikasi, kita punya banyak budaya untuk saling melengkapi, kita punya pemerintahan sendiri untuk mengadu, kita punya banyak kekayaan alam untuk dikelola, kita punya banyak keindahan alam untuk dinikmati, kita punya mata uang sendiri untuk berbelanja, dan masih banyak hal lain yang patut dibanggakan.

Namun sayangnya, Bangsa kita sadar akan hal itu setelah ada yang direbut. Sedih memang ketika kita menyadari betapa berharganya apa yang kita miliki ketika itu sudah ditangan orang lain. Sebut saja Wayang, Batik dan lain sebagainya. Ketika mereka direbut, barulah Bangsa seakan manusia kebakaran jenggot. Berlari kesana kemari untuk mempertahankan nya

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 02 april 2011, saya menghadiri sebuah acara dikawasan Taman Ismail Marsuki – Jakarta. Dari acara yang bertajuk “Road Discussion Film Batas” tersebut, saya mendapatkan banyak hal informatif. Sejatinya, acara yang digelar atas kerja sama Keana Prodution dan Kompas tersebut adalah untuk mempromosikan film terbaru garapan sutradara Rudi Soedjarwo dan produser cantik Marcella Zaliantyyang diberi judul “Batas”. Rangakain acara menarik yang disuguhkan berhasil menarik perhatian para peserta. Selain diskusi bersama produser dan actor utama film batas, Arifin Putra, kegiatan hari itu juga diselingi dengan beberapa acara menarik seperti para penjelajah tangguh dari Ekspedisi Garis Depan Nusantara yang berbagi cerita mengenai perjalanan hampir 3 tahun lebih mengelilingi 92 pulau terdepan Nusantara untuk mengupas potensi daerah perbatasan Indonesia serta pemutaran film dokumenter mengenai realita kehidupan daerah perbatasan di Kalimantan.

Dari sharing bersama team Ekspedisi Garis Depan Nusantara dan pemutaran film Dokumenter serta diskusi tentang film Batas sendiri, banyak hal baru yang saya dapatkan dan ingin saya bagikan lewat tulisan ini. Salah satu nya adalah kehidupan masyarakat Entikong.

Entikong adalah sebuah desa kecil yang terletak di Kabupaten Sanggau,Kalimantan Barat, desa yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga kita Malaysia. Umumnya, masyarakat desa ini adalah masyarakat Dayak yang hidup dalam kesederhanaan, yang masih mempertahankan kebudayaan mereka. Namun karena terletak di pedalaman Kalimantan, untuk mencapai desa ini, pengunjung harus menempuh perjalana yang melelahkan. Rusaknya jalan penghubung dan minimnya transportasi penghubung, membuat waktu tempuh menjadi sangat panjang. Susahnya akses masuk kedaerah ini juga berdampak terhadap dunia pendidikan, kesehatan dan perekonomian warga setempat.

Karena susahnya mendapatkan barang kebutuhan buatan dalam Negeri, ditambah letaknya yang dekat dengan Malaysia, membuat masyarakat Entikong lebih banyak mendapatkan barang pemenuh kebutuhan dari negeri jiran tersebut, seperti beras, gula dan lain sebagainya, yang menarik dari hal ini, tentu saja untuk mendapatkan barang-barang tersebut, mereka harus membeli dengan menggunakan mata uang ringgit, bukan rupiah.

Namun, ironi memang melihat saudara setanah air kita yang harus menggunakan identitas orang lain untuk bertahan hidup. Menggunakan mata uang orang lain dinegara nya sendiri. Diluar, bangsa kita dengan semangatnya berkoar-koar tentang kekayaan budaya, bahasa dan adat sedangkan sebagian anak bangsa lebih fasih menghitung ringgit dibanding rupiah. Sebenarnya masalah rupiah hanyalah sebagian masalah kecil yang terjadi di desa ini, selain masalah pendidikan dan kesehatan.

Mungkin ini hanyalah masalah kecil, namun sesungguhnya ini akan menjadi masalah yang besar jika hal kecil seperti ini saja tidak mendapat perhatian. ini adalah masalah kepedulian dari kita. Kenyataan nya, mereka adalah bagian dari Indonesia. Mungkin bukan hanya entikong, mungkin saja ada banyak Entikong-Entikong lain yang tersembunyi dibalik aliran sungai, pegunungan dan jalan tikus ditengah hutan sana yang juga sedang menghadapi masalah-masalah serupa. Mereka bukan menuggu kapan kehidupan mereka masuk menembus jaringan media dan ribuan eksemplar Koran berupa wacana belaka namun mereka membutuhkan suara, dukungan serta bantuan.

Sekarang bukan saatnya kita mendikte satu terhadap yang lain, namun kepekaan serta kesadaranlah yang harus ditumbuhkan. Ada baiknya kita yang sudah mengetahui, tetap menyuarakan, agar yang tidak tau menjadi tau, dan yang tidak peduli menjadi lebih peduli. Dengan begitu merah putih, bahasa, budaya, mata uang dan kekayaan Bangsa lainnya, tetap menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan, bukan saja yang hidup dalam keberlimpahan sarana dan prasarana, namun juga bagi mereka yang jauh dibalik pandangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun