Banyak anak perempuan yang bermimpi menjadi seorang putri untuk kecantikan dan keanggunannya. Aku adalah salah satunya. Tapi putri yang sebenarnya dipilih karena keturunannya.
Panggil saja aku Tia. Aku seorang anak perempuan biasa seperti anak perempuan pada umumnya. Jika kau tatap mataku kau akan melihat gadis penyayang. Jika kau melihat senyumku kau akan melihat tak ada yang aneh. Tapi jika kau naikkan kaosku, kau akan melihat memar-memarku. Apa yang kulakukan hingga mereka semarah itu?
Tak ada yang mendengarkan remaja. Semua orang berpikir kau harus bahagia karena kau muda. Mereka tak melihat apa yang kuperjuangkan setiap hari. Waktu itu usiaku 16 tahun. Hem, tahun terburuk dalam 16 tahun hidupku yang mengerikan.
Semua dimulai dari sebuah telepon. Ibuku menangis dan memohon, meminta lebih banyak waktu, seakan dia menghirup nafas terakhirnya. Dia memelukku seerat mungkin dan menangis. Air matanya menembus bajuku seperti peluru-peluru tentara perang. Dia bilang, kami diusir dari rumah kontrakan ini dan dia terus meminta maaf padaku. Sejak saat itu, aku menyadari bahwa kami tak punya rumah.
Di pagi hari saat pengusiran, ketukan keras di pintu, ehm lebih mirip gedoran pintu, membangunkanku. Mereka tiga orang lelaki berbadan besar telah menunggu untuk melaksanakan tugasnya. Aku menatap ke langit menunggu sesuatu terjadi. Ibuku tak punya keluarga untuk berpegangan dan tak ada uang yang masuk. Sejak saat itu, aku mengubur dalam-dalam mimpiku untuk menjadi seorang putri. Ya, buat apa bermimpi menjadi seorang putri jika aku tak punya rumah.
Saat pengusiran itu, aku menyaksikan ibuku dipukuli sampai hampir mati hanya karena kami tak mampu lagi membayar uang sewa. Aku menyaksikan ada darah dan air mata mengalir di wajahnya. Aku merasa tak berguna, takut dan marah dalam waktu yang sama saat itu. Setelah puas menyiksa ibuku, giliranku menjadi sasarannya. Sampai saat ini aku masih merasakan sabetan sabuknya di bagian punggungku.
Aku menangis di malam pertama dimana kami melewati waktu dijalanan, begitu pula ibuku. Setelah itu, kami habiskan beberapa tahun berikutnya dengan berpindah-pindah dari rumah majikan satu ke rumah majikan yang lainnya. Tiap hari aku cemas dan terus memikirkan kapan kami punya rumah.
ο♥ο
Aku berpikir, sampai kapan pun aku tak akan punya rumah jika terus begini. Aku memutuskan untuk pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Disana temanku menawari sebuah pekerjaan . Ya, sebuah pekerjaan di sebuah rumah karaoke keluarga. Aku terima tawarannya itu dan aku bekerja disitu di bagian kasir. Untuk sementara aku tinggal di kosan teman itu.
Aku menikmati pekerjaan baru sebagai seorang kasir di sebuah rumah karaoke keluarga. Untuk sementara aku merasa sedikit lega, karena aku bisa menyambung hidup dan setikdaknya aku bisa mentransfer uang untuk ibuku yang masih bekerja sebagai seorang pembantu. Ya, meski gajiku tak seberapa, namun aku senang menjalaninya. Hidup terus berlanjut.
Setelah beberapa bulan, aku merasa kurang dengan apa yang kuhasilkan dari menjadi seorang kasir di sebuah rumah karaoke keluarga tersebut. Aku berpikir lagi untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang lebih banyak daripada menjadi seorang kasir.