Pandemi Covid-19 telah menggoyang struktur perekonomian dunia menuju krisis. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal III/2020 diangka minus 3 persen yang artinya Indonesia telah mengalami krisis. Data pemerintah juga menyebutkan kondisi ini telah mendorong peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia menjadi lebih dari 9 juta pasca pandemi.
Di tengah ketidakpastian global yang diakibatkan Pilpres AS dan kondisi perekonomian yang sulit diprediksi para investor lebih memilih mengambil langkah ambil untung dan wait and see, sehingga terjadi stagnansi arus investasi yang masuk. Dengan kondisi ini bahkan dapat dikatakan investasi cenderung menurun, karena arus modal keluar lebih banyak ketimbang yang masuk.
Sikap para investor tersebut bisa menjadi kekuatan sekaligus menjadi boomerang jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan penurunan tingkat Foreign Direct Investment (FDI) yang terjadi dihampir seluruh negara, maka persaingan antar negara dalam memperebutkan FDI akan semakin ketat. Bagi Indonesia, FDI sangat dibutuhkan khususnya untuk menunjang pemulihan ekonomi nasional pasca Pandemi Covid-19.
Kehadiran UU Cipta Kerja yang memiliki maksud mempermudah investasi masuk, sehingga pada gilirannya akan mampu menciptakan lapangan kerja yang luas. Namun, ada beberapa permasalahan yang menjadi tantangan besar di bidang hukum untuk investor asing maupun domestik.Â
Pertama, masalah produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibanding negara lain (misalnya Vietnam) dan peraturan ketenagakerjaan yang dari sudut pandang pengusaha kurang seimbang. Kedua, masalah tumpang tindih peraturan.Â
Ketiga, masalah perizinan yang super ruwet. Dua masalah terakhir selama ini menciptakan ketidakpastian hukum dan menjadi ladang subur korupsi (moral hazard).
Ketiga masalah tersebut disebabkan oleh problem struktural yang sudah mengakar sejak lama. Satu-satunya jalan memperbaikinya adalah melalui perubahan mendasar yang menyasar langsung pada akar masalah. Di titik inilah, UU Cipta Kerja yang disusun menggunakan metode Omnibus Law memainkan peran penting sebagai upaya perubahan regulasi secara struktural.
Upaya mengubah berbagai undang-undang dalam satu produk hukum (UU Ciptaker) ini adalah jurus pamungkas guna menghilangkan inkonsistensi berbagai undang-undang dan memuluskan sistim perizinan online nasional terpadu yang disebut online single submission (OSS). Setelah sebelumnya upaya integrasi perizinan dengan OSS melalui peraturan pemerintah tidak terlalu berhasil mengatasi tumpang tindih peraturan.
UU Cipta Kerja memperkenalkan kerangka berpikir baru dalam menentukan apakah izin diperlukan untuk suatu kegiatan usaha. Ini adalah perubahan yang sangat mendasar dan dapat menjadi pintu masuk menuju era modern sistem perizinan.Â
Selama ini sistem perizinan di Indonesia berjalan tanpa kerangka berpikir yang jelas. Izin dibuat berdasarkan asumsi bahwa semua kegiatan usaha, tanpa melihat jenis, bobot permasalahan dan dampak, wajib memperoleh izin pemerintah. Bahkan setiap langkah dalam rangka memperoleh izin, harus juga memiliki izin lain sebagai prasyarat.Â
Sistem yang seenaknya tersebut membuat pejabat pemerintah menjadi pengendali total atas setiap gerak dan langkah pengusaha. Metode perizinan seperti ini tidak berkembang sama sekali dengan sistem yang dibangun sejak orde baru, bahkan terdapat pandangan bahwa sistem tersebut bertujuan untuk membuka peluang korupsi oleh pemberi izin.