Mohon tunggu...
Meutia Kirana
Meutia Kirana Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar Menengah ke Atas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dan Hujan

22 November 2020   00:14 Diperbarui: 23 November 2020   00:59 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Dan Hujan kini turun lagi
 Dan sepi ini menuntun rindu
 Sembilu hati membelenggu 
 Dan rasa ini terpaku waktu 
 
 (Dan Hujan II - Gardika Gigih)

Kala itu, langit di Kota Bandung terlukis oleh awan-awan kelabu, diiringi dengan sambaran petir menggerumuh, dan terpadati oleh manusia-manusia berlalu-lalang.

Terlepas dari betapa gelapnya awan-awan itu, Aku tetap menarik langkah menuju ke rumah meski terburu-buru. Emosiku sudah cukup terkuras dengan kejadian-kejadian hari ini. Aku menggeram dan berjalan lebih cepat, berharap tatkala aku berhenti, telah ada kasur empuk dan nyaman menantiku.

Akan tetapi, nampaknya semua tidak selalu berjalan sesuai rencana. Tiga langkah setelah aku mengatakan itu,

Tes. Setitik air hujan menetes di atas kepalaku. Sial. Pikirku.

Tes. Tes. Tes.

Derai gerimis mulai terdengar, memaksa orang-orang mencari tempat untuk meneduh, tak terkecuali aku.

Aku terus berlari hingga tiba di sebuah gerai kecil di pinggir kota. Tidak ada siapa-siapa disitu selain  seorang pria jangkung berkemeja putih. Aku hanya bisa menghela napas panjang seraya berusaha mengeringkan tubuhku yang basah kuyup dengan tisu. Awan kelabu dan hujan memang tidak pernah membawa apapun selain kekacauan. Pikirku. 

Suasana diantara kami begitu hening, hanya dihiasi oleh suara rintikan hujan dan petir yang menggelegar. 

Hujan di luar sana semakin beringas, kini disertai angin kencang yang menggerisik. Kusandarkan tubuhku di dinding, menatap kosong ke arah jalanan, memikirkan bagaimana caranya aku pulang, sebelum mendengar pria di sebelahku berbicara,

"Musim hujan adalah musim terbaik. Bukankah begitu?"

Orang aneh. Pikirku. Terluput dari pikiranku, aku tetap menjawab pria itu, beranggapan bahwa itu akan membantuku menghabiskan waktu di sini.

"Sama sekali tidak. Kapanpun hujan datang, ia tidak pernah membawa sesuatu selain kekacauan." celetukku sedikit kesal.

Pria di sebelahku terkekeh, "Tidak selalu kok." , Ia mengulurkan tangannya ke arah hujan, "Hujan adalah berkah. Hujan menyuburkan tumbuhan, memadamkan api, bahkan satu tahun kemarau pun, bisa sejuk kembali hanya dengan diguyur satu hari hujan." ujarnya sembari tersenyum.

"Lalu... bagaimana dengan bencana alam? Kamu tahu banyak bencana akibat hujan, kan?" tanyaku.

"Semua itu adalah amarah hujan kepada manusia. Sebagaimana amarah orang akan melonjak manakala kamu tidak bisa menjaga perasaan mereka. Hujan akan marah apabila kita, manusia tidak bisa menjaga bumi." balasnya.

"Sepertinya, kamu tahu banyak tentang hujan."

"Namun sepertinya, itu tidak cukup kuat untuk mengubah pikiranmu." sahutnya.

Aku tersenyum kecil mendengarnya. "Entahlah. Nampaknya, rasa benciku terhadap hujan tak pernah luntur."

"Mungkin, kamu tidak benar-benar membenci hujan." ujar pria itu.

"Mungkin, kamu hanya benci akan apa yang datang bersamaan dengan hujan." Pria itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan berbicara, "Seperti, kenangan-kenangan yang ada kala hujan tiba."

Aku hanya bisa terdiam merenungi jawaban pria itu. Tak ada kata-kata yang sanggup aku lontarkan untuk membalasnya. Kenangan, katanya?

Kudongakkan kepalaku, menyaksikan rinai hujan yang berjatuhan di depan mataku. Bayang-bayang akan apa yang terjadi tatkala hujan mulai menyesaki pikiranku.

❄️🌧️🌧️❄️

 Menjadi seorang pelukis terkemuka merupakan impianku semenjak duduk di bangku kelas empat SD. Rasanya, ada kepuasan tersendiri tatkala mengetahui karya-karya kita yang terpajang elok di dinding, dapat membuat banyak pasang mata terpukau, terbantu, dan termotivasi. Dan itu adalah alasan utamaku senantiasa menggapai mimpiku.

 Namun, sayangnya, orang tuaku tidak pernah merestui impianku. Mereka selalu bilang, jurusan seni rupa tidak berguna dan tidak menjamin apa-apa di masa depan. 

Tak peduli seberapa keras dan banyak aku mencoba meyakinkan mereka, orang tuaku tidak pernah sekali pun goyah. Meski demikian, aku tak pernah bosan-bosannya mencari jalan dan berusaha untuk itu. 

Aku tidak bisa menyerah begitu saja. Tidak setelah aku sampai di pertengahan jalanku. Aku harus tetap berjalan, walau pun itu akan memakan waktu lama. Semua ini akan ada ganjarannya. Sebentar lagi, aku akan mampu menggapai mimpiku.

Sebagaimana malam ini, aku lagi-lagi berhadapan dengan orang tuaku, lagi-lagi dengan topik yang sama, dan lagi-lagi terkalahkan oleh jawaban yang serupa.

 "Tapi, Pak, Bu..."

 "Sudah, nduk. Percaya sama Bapak Ibu. Ini yang terbaik buat kamu, ya?" tukas Bapak sembari menepuk pundakku, seakan mencoba menenangkanku.

Merasa tak sanggup lagi beradu lidah, aku pun akhirnya mengalah, tersenyum paksa dan meninggalkan ruang tamu selekasnya. Lagi-lagi aku gagal. Pikirku.

Brak!

Ku tutup pintu kamarku dengan keras sebelum menidurkan tubuhku di kasur. Aku hanya bisa memandangi langit-langit kamarku dengan hampa. Perasaanku kini bbegituamburadul. Dadaku seperti teraduk-aduk, nafasku semakin memberat, dan tenggorokanku terasa kering.

Ini bahkan bukan pertama kalinya aku gagal meyakinkan orang tuaku. Namun apa yang kurasakan tetap saja sama, bukannya semakin terbiasa, terlebih-lebih semakin buruk. Sial.

Ku coba pejamkan mataku perlahan, berharap itu akan menenangkanku, sebelum aku mendengar,

Tes.

Malam itu, selepas aku gagal meyakinkan orangtuaku untuk kesekian kalinya, tiba-tiba hujan turun dengan begitu lebatnya. 

Dan, entah kenapa, dengan itu, semua emosiku yang terpendam selama ini meledak begitu saja. Aku mulai terisak, membiarkan air mataku mengalir deras, seiring dengan suara percikan hujan yang berjatuhan. 

Aku merasa putus asa. Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan hidupku, dan rasanya semuanya nampak gulita dan buyar.


Dari sana lah, aku bertemu dengan Arlen Putra Dirgantara. Yakni pacarku. Bagiku, bertemu dengan Arlen ibarat menemukan sebuah obor di tengah suatu ceruk yang gelap. 

Aku bertemu dengan Arlen sewaktu kelas dua SMA. Dan kami sudah berpacaran kurang lebih selama dua tahun. 

Waktu itu, Arlen adalah satu-satunya cahaya yang dapat menunjukan jalan bagiku. Arlen adalah satu-satunya orang yang senantiasa mendukungku dan impianku.

Dalam dua tahun terakhir ini, kami saling mendukung dan menghibur satu sama lain.

Arlen selalu ada untukku. Begitu juga sebaliknya. Arlen selalu menyemangati dan mendorongku menggapai impianku. Arlen, Arlen, dan Arlen. Rasanya duniaku terpenuhi oleh sosok Arlen. 

Akan tetapi, manakala kamu terlampau mempercayai dan hanya bergantung pada semarak terang obor itu, sewaktu obor itu hilang, kamu tidak hanya kehilangan satu-satunya cahaya petunjukmu, namun juga dirimu sendiri.

 Dan itulah yang terjadi hari ini.

 "Lin. Aku ingin putus denganmu." tegas Arlen. Aku membulatkan mataku terkejut, "Jangan bercanda, Len."

 "Aku serius. Aku tidak bisa melihat masa depanku bersamamu." balasnya.


 "Karena, selama ini, aku tidak pernah mendukungmu dan impianmu."


❄🌧️🌧️❄️

Dyer!

Gemuruh petir itu menyadarkanku tiba-tiba dari lamunanku. Tubuhku sontak tersentak, dan aku nyaris terjatuh. Sial, sudah berapa lama aku melamun? Pikirku.

Aku memindai keadaan sekitarku, semuanya masih terlihat sama. Rinai hujan masih mengguyur Bandung dengan begitu derasnya, tubuhku masih basah kuyup, dan– Ahaku hampir saja lupa akan keberadaan pria di sebelahku.

"Hey, kamu termenung cukup lama." ujar pria itu. 

"Duh, maaf. Aku jadi teringat kenangan-kenangan masa laluku setelah mendengar ucapanmu."

"Maaf telah membuatmu mengingat hal-hal yang tidak ingin kamu ingat. Aku tak bermaksud membuatmu sedih." celetuknya.

"Tidak perlu meminta maaf. Toh, kita juga perlu melihat kembali masa lalu kita. Kalau terus-terusan memikirkan masa depan, malah jadi semakin tertekan." balasku.

Pria itu hanya terkekeh, "Yah, kurasa kau benar."

"Tapi kalau kamu terus-terusan melihat ke arah belakang, ketika kamu menoleh, kamu mungkin bisa tertabrak." lanjutnya.

"Memang segalanya harus seimbang, ya..." ucapku yang hanya dibalas oleh anggukan pria itu.

"Tapi... apa yang kamu katakan tadi soal hujan, memang benar, kok."

"Hujan memang selalu mengingatkanku akan masa-masa terburuk dalam hidupku."

"Boleh aku bertanya kenapa?" tanyanya.

"Sejak kecil, aku selalu ingin menjadi pelukis. Akan tetapi, kedua orang tuaku dan pacarku tidak mendukungku. Mereka sama-sama bilang menjadi pelukis itu tidak berguna dan tidak akan sukses. Dan, tebak apa yang terjadi setelah itu? turunlah hujan." Aku tertawa kecil, mengingat kembali kejadian itu.

"Rasanya setelah hal buruk terjadi kepadaku, hujan akan turun. Dan itu membuatku semakin membenci hujan. Kedengarannya konyol, tapi yah, itu lah yang kurasakan."

"Mungkin mereka benar. Aku memang sebaiknya menyerah saja."

"Ah, maaf, aku tidak bermaksud sambat kepadamu."

"Tak apa, terimakasih sudah bercerita. Itu pasti terasa berat untukmu." celetuknya. 

"Aku mungkin bukan orang yang tepat yang dapat memberikanmu nasihat yang membantu, tapi..."

"Laksana hujan yang pasti dan selalu datang meskipun dibenci banyak orang, Janganlah kamu berhenti hanya karena beberapa orang tidak menyukai dan mendukungmu. Raihlah mimpimu."

"Semua awan kelabu ini akan pergi. Begitu pula semua kegetiranmu. Setelah semua ini berakhir, kamu pasti akan kembali melihat kembali birunya langit lagi. Jadi, bertahanlah sebentar lagi." Pria itu tersenyum sembari menatapku. Aku hanya bisa menatapnya kembali. Tertegun akan kalimatnya.

"Aku yakin suatu hari nanti, kamu bisa membuka pameran senimu sendiri." lanjut pria itu.

"Terimakasih..."

"Guntur. Guntur Rening." tukasnya. Ah, bahkan namanya pun nersinggungan dengan hujan. Pikirku.

Guntur mengulurkan tangannya, yang dengan senang hati ku terima. Aku menjabat tangannya sebelum menjawab, "Linda. Kalinda Dipta Anadi."

"Terimakasih Guntur. Kata-katamu akan selalu kuingat." 

Perlahan-lahan, setelah itu, hujan pun akhirnya berhenti. Membersitkan kembali cahaya matahari dan menampakkan biru langitnya lagi. Guntur beranjak dari tempatnya dan memberikan senyum tulus kepadaku, "Semoga berhasil mengejar mimpimu, Kalinda." sebelum akhirnya pergi meninggalkanku sendiri, masih diam termangu di depan gerai itu.

Kupalingkan pandanganku dari Guntur ke arah jalanan yang ada di depanku, kemudian bergegas pulang menuju ke rumahku. Aku tersenyum kecil selagi berpikir kepada diriku sendiri, 

Mungkin, hujan tidaklah seburuk itu.

❄🌧️🌧️❄️

Singkat cerita, semenjak pertemuanku dengan Guntur yang sekejap itu, sedikit demi sedikit, rasanya semua berubah menjadi lebih baik.

Setahun setelah kejadian itu, aku yang kelewat nekat mengikuti ujian beasiswa di salah satu sekolah seni rupa terfavorit, diterima di sana dengan beasiswa penuh sampai aku lulus. 

Pada awalnya, tentu saja, kedua orang tuaku menolak mentah-mentah keinginanku. Namun setelah melihat perjuanganku, mereka pun akhirnya luluh perlahan mulai mendukungku. 

Aku masih ingat kata-kata mereka melalui telepon, "Kamu tahu konsekuensinya, nduk. Bapak Ibu harap kamu benar-benar serius dengan mimpimu itu."

"Iya Pak, Bu. Linda janji bakal banggain Bapak Ibu."

Kini, disinilah aku, Kalinda Dipta Adini, delapan tahun silam, akhirnya bisa menggelar pameran seniku sendiri yang pertama, dengan judul "Kala Hujan". 

Ini adalah pameran pertamaku, namun ada begitu banyak orang antusias yang datang. Termasuk kedua orang tuaku. Aku tersenyum puas kala mendengar kata bangga keluar dari mulut mereka. 

Aku tersenyum kecil sembari memandangi pemandangan di depan mataku, menyaksikan puluhan orang nampak menikmati pameranku. Aku menyusuri karya demi karyaku,sebelum akhirnya berhenti di depan salah satu karya favoritku. 

Sebuah potret seorang pria berkemeja putih, tersenyum lebar, menikmati hujan meskipun begitu deras. Lukisan ini kuberi nama, "Rening".

Aku senang dan bangga terhadap diriku dan kehidupanku sekarang. Aku bisa menggapai mimpiku, membahagiakan orang tuaku dan diriku sendiri. Meskipun, sejujurnya, jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku berharap aku bisa bertemu kembali dengannya kembali dan mengatakan kepadanya,

"Aku berhasil!"

Rasanya, aku terlalu asyik dengan memandangi lukisanku, hingga tidak menyadari telah ada seorang pria di sampingku yang nampak begitu familiar. Pria itu berdeham sebelum mulai berbicara,

"Musim Hujan adalah musim yang terbaik. Bukankah begitu?"

Suara ini? Aku membulatkan mataku terkejut sebelum menoleh ke arah pria di sebelahku.

"Guntur?"

Tamat.

[ Catatan Penulis ] Cerpen ini ditulis untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia saya di sekolah. Oleh karena itu, saya minta maaf apabila hasilnya belum memuaskan. Saya masih amatir dalam hal ini, dan masih harus belajar lebih banyak lagi mengenai cerpen.

Meski demikian, saya harap ada banyak pesan moral yang bisa diambil dari cerpen singkat ini. Terimakasih kepada semua pembaca yang telah meluangkan waktu untuk membaca cerpen ini. Salam. ❄️🌧️🌧️❄️

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun