Kudongakkan kepalaku, menyaksikan rinai hujan yang berjatuhan di depan mataku. Bayang-bayang akan apa yang terjadi tatkala hujan mulai menyesaki pikiranku.
❄️🌧️🌧️❄️
Menjadi seorang pelukis terkemuka merupakan impianku semenjak duduk di bangku kelas empat SD. Rasanya, ada kepuasan tersendiri tatkala mengetahui karya-karya kita yang terpajang elok di dinding, dapat membuat banyak pasang mata terpukau, terbantu, dan termotivasi. Dan itu adalah alasan utamaku senantiasa menggapai mimpiku.
Namun, sayangnya, orang tuaku tidak pernah merestui impianku. Mereka selalu bilang, jurusan seni rupa tidak berguna dan tidak menjamin apa-apa di masa depan.
Tak peduli seberapa keras dan banyak aku mencoba meyakinkan mereka, orang tuaku tidak pernah sekali pun goyah. Meski demikian, aku tak pernah bosan-bosannya mencari jalan dan berusaha untuk itu.
Aku tidak bisa menyerah begitu saja. Tidak setelah aku sampai di pertengahan jalanku. Aku harus tetap berjalan, walau pun itu akan memakan waktu lama. Semua ini akan ada ganjarannya. Sebentar lagi, aku akan mampu menggapai mimpiku.
Sebagaimana malam ini, aku lagi-lagi berhadapan dengan orang tuaku, lagi-lagi dengan topik yang sama, dan lagi-lagi terkalahkan oleh jawaban yang serupa.
"Tapi, Pak, Bu..."
"Sudah, nduk. Percaya sama Bapak Ibu. Ini yang terbaik buat kamu, ya?" tukas Bapak sembari menepuk pundakku, seakan mencoba menenangkanku.
Merasa tak sanggup lagi beradu lidah, aku pun akhirnya mengalah, tersenyum paksa dan meninggalkan ruang tamu selekasnya. Lagi-lagi aku gagal. Pikirku.
Brak!
Ku tutup pintu kamarku dengan keras sebelum menidurkan tubuhku di kasur. Aku hanya bisa memandangi langit-langit kamarku dengan hampa. Perasaanku kini bbegituamburadul. Dadaku seperti teraduk-aduk, nafasku semakin memberat, dan tenggorokanku terasa kering.
Ini bahkan bukan pertama kalinya aku gagal meyakinkan orang tuaku. Namun apa yang kurasakan tetap saja sama, bukannya semakin terbiasa, terlebih-lebih semakin buruk. Sial.
Ku coba pejamkan mataku perlahan, berharap itu akan menenangkanku, sebelum aku mendengar,
Tes.
Malam itu, selepas aku gagal meyakinkan orangtuaku untuk kesekian kalinya, tiba-tiba hujan turun dengan begitu lebatnya.
Dan, entah kenapa, dengan itu, semua emosiku yang terpendam selama ini meledak begitu saja. Aku mulai terisak, membiarkan air mataku mengalir deras, seiring dengan suara percikan hujan yang berjatuhan.
Aku merasa putus asa. Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan hidupku, dan rasanya semuanya nampak gulita dan buyar.
Dari sana lah, aku bertemu dengan Arlen Putra Dirgantara. Yakni pacarku. Bagiku, bertemu dengan Arlen ibarat menemukan sebuah obor di tengah suatu ceruk yang gelap.
Aku bertemu dengan Arlen sewaktu kelas dua SMA. Dan kami sudah berpacaran kurang lebih selama dua tahun.
Waktu itu, Arlen adalah satu-satunya cahaya yang dapat menunjukan jalan bagiku. Arlen adalah satu-satunya orang yang senantiasa mendukungku dan impianku.
Dalam dua tahun terakhir ini, kami saling mendukung dan menghibur satu sama lain.
Arlen selalu ada untukku. Begitu juga sebaliknya. Arlen selalu menyemangati dan mendorongku menggapai impianku. Arlen, Arlen, dan Arlen. Rasanya duniaku terpenuhi oleh sosok Arlen.
Akan tetapi, manakala kamu terlampau mempercayai dan hanya bergantung pada semarak terang obor itu, sewaktu obor itu hilang, kamu tidak hanya kehilangan satu-satunya cahaya petunjukmu, namun juga dirimu sendiri.
Dan itulah yang terjadi hari ini.
"Lin. Aku ingin putus denganmu." tegas Arlen. Aku membulatkan mataku terkejut, "Jangan bercanda, Len."
"Aku serius. Aku tidak bisa melihat masa depanku bersamamu." balasnya.
"Karena, selama ini, aku tidak pernah mendukungmu dan impianmu."
❄🌧️🌧️❄️
Dyer!
Gemuruh petir itu menyadarkanku tiba-tiba dari lamunanku. Tubuhku sontak tersentak, dan aku nyaris terjatuh. Sial, sudah berapa lama aku melamun? Pikirku.
Aku memindai keadaan sekitarku, semuanya masih terlihat sama. Rinai hujan masih mengguyur Bandung dengan begitu derasnya, tubuhku masih basah kuyup, dan– Ah, aku hampir saja lupa akan keberadaan pria di sebelahku.
"Hey, kamu termenung cukup lama." ujar pria itu.
"Duh, maaf. Aku jadi teringat kenangan-kenangan masa laluku setelah mendengar ucapanmu."
"Maaf telah membuatmu mengingat hal-hal yang tidak ingin kamu ingat. Aku tak bermaksud membuatmu sedih." celetuknya.
"Tidak perlu meminta maaf. Toh, kita juga perlu melihat kembali masa lalu kita. Kalau terus-terusan memikirkan masa depan, malah jadi semakin tertekan." balasku.
Pria itu hanya terkekeh, "Yah, kurasa kau benar."