Dan Hujan kini turun lagi
 Dan sepi ini menuntun rindu
 Sembilu hati membelengguÂ
 Dan rasa ini terpaku waktuÂ
Â
 (Dan Hujan II - Gardika Gigih)
Kala itu, langit di Kota Bandung terlukis oleh awan-awan kelabu, diiringi dengan sambaran petir menggerumuh, dan terpadati oleh manusia-manusia berlalu-lalang.
Terlepas dari betapa gelapnya awan-awan itu, Aku tetap menarik langkah menuju ke rumah meski terburu-buru. Emosiku sudah cukup terkuras dengan kejadian-kejadian hari ini. Aku menggeram dan berjalan lebih cepat, berharap tatkala aku berhenti, telah ada kasur empuk dan nyaman menantiku.
Akan tetapi, nampaknya semua tidak selalu berjalan sesuai rencana. Tiga langkah setelah aku mengatakan itu,
Tes. Setitik air hujan menetes di atas kepalaku. Sial. Pikirku.
Tes. Tes. Tes.
Derai gerimis mulai terdengar, memaksa orang-orang mencari tempat untuk meneduh, tak terkecuali aku.
Aku terus berlari hingga tiba di sebuah gerai kecil di pinggir kota. Tidak ada siapa-siapa disitu selain seorang pria jangkung berkemeja putih. Aku hanya bisa menghela napas panjang seraya berusaha mengeringkan tubuhku yang basah kuyup dengan tisu. Awan kelabu dan hujan memang tidak pernah membawa apapun selain kekacauan. Pikirku.Â
Suasana diantara kami begitu hening, hanya dihiasi oleh suara rintikan hujan dan petir yang menggelegar.Â
Hujan di luar sana semakin beringas, kini disertai angin kencang yang menggerisik. Kusandarkan tubuhku di dinding, menatap kosong ke arah jalanan, memikirkan bagaimana caranya aku pulang, sebelum mendengar pria di sebelahku berbicara,
"Musim hujan adalah musim terbaik. Bukankah begitu?"