Begini ceritanya gambar ini diambil, terbungkus, dan bertahan selamanya tanpa waktu. Kamu pasti tidak tahu kapan aku mengambil gambar ini. Wajar saja karena kamu tidak pernah melihatku menenteng kamera dan handphoneku pun tidak berkamera. Tidak perlu berdebat ya sayang tapi ini murni hasil jepretanku.
Selembar gambar ini kuambil dari setumpuk foto kita yang tidak pernah kamu sadari kapan semua itu diambil. Bukan gambar terbaik tetapi tetap indah. Gambar yang aku bawa ini tidak muncul tiba-tiba. Ada waktu yang membawanya.
Sudah malam hari itu tetapi perjalanan kita masih berpuluh-puluh kilometer. Aku membayangkan perjalananmu yang dua kali lebih meletihkan karena harus mengantar aku ke Jakarta dan balik ke Bekasi. Pantatku ikut pegal karena membayangkan jalanan yang kita lewati ini harus kamu lalui lagi sejam lebih kemudian saat menuju Bekasi. Supaya lebih dramatis, aku ingatkan kamu bahwa sekitar lima jam sebelumnya kita habis melewati macet Cipularang diatas bus.
Sambil mengemudi, kamu berkali-kali memutar badan, mengingatkan agar aku menutup rapat badanku dengan jaket barumu itu. Aku memotretmu di sela-sela itu. Membekukan senyumanmu yang tidak pernah lepas, sayu matamu, dan helm hitam itu. Kamu tidak lihat kapan aku mengambil gambarmu kan? Aku menjepretnya diam-diam, lewat lensa kecil di ujung bola mata ini. Lalu mencetak dan membingkainya sendiri dengan caraku. Aku satukan dengan foto-fotomu terdahulu dan merekatkannya di dalam ingatan. Untuk soal ini waktu rela mengalah dan membiarkan gambar-gambar itu melenggang tanpanya sehingga tidak pernah berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H