Saya sudah lama sadar kalau di rumah saya banyak cicak. Salah satu dari mereka bahkan pernah kedapatan lagi berenang di teko teh waktu saya pulang kantor. Karena ngeri, saya ketok-ketok teko itu supaya cicaknya keluar. Alhasil, bukan cicak yang keluar tapi tekonya pecah. Maap ya teko.
Lama-lama, karena saya sering dengar bisik-bisik cicak di dinding, saya jadi sadar kalau saya mirip cicak. Bukan tampangnya tapi kelakuannya. Misalnya aja, saya suka gosipin orang atau ikutan ngegosipin si anu tapi pas papasan sama si objek penderita, saya bungkam dan tersenyum manis, kesannya saya nggak pernah ngomongin dia.
Persis kaya cicak. Kalau saya sedang membunuh waktu dengan nonton tv (padahal mah emang hobi mantengin tv), di belakang saya, cicak sibuk berderit-derit, kejar-kejaran, dan mungkin ngomongin saya yang kerjaannya mantengin tv mulu. Tapi begitu saya balik badan, mereka langsung bubar. Sebagian sembunyi di balik koteka yang digantung di atas meja makan, sebagian diam di tempat, dan sebagian ngibrit ke belakang lukisan kuning. Intinya, semua langsung diam. Seolah-olah mereka sudah berpose seperti itu sejak beberapa detik yang lalu.
Kalau kata pemenang America’s Next Top Model season berapa gitu, “Ah....siapa sih yang gak pernah ngomongin orang.” Sementara kalau kata Madonna yang konon zaman sekolah dulu korban bullying, “Kamu pasti bakal punya lebih banyak waktu ketika berhenti ngomongin orang.” Iya juga. Dua-duanya sama-sama bener, tinggal saya aja milih mau yang mana. Mau tetep kaya cicak atau jadi kaya Madonna. Ah tapi Madonna katanya bau kelek. Tuh kan ngomongin orang lagi.
Selain kaya cicak, saya juga sering merasa selalu kedapatan tugas yang kecil-kecil. Kadang saya ngerasa, saya terlahir untuk melakukan hal-hal yang kecil saja. Sementara hal-hal besar, jatahnya orang lain.
Misalnya aja (ini yang kebeneran aja lagi keinget di otak), waktu datang ke acara talk show di sebuah radio, saya cuma kebagian peran sebagai pencatat nama penelpon yang masuk. Sementara yang lain, dapat waktu untuk bicara on-air. Ketika itu, saya agak menggerutu karena menurut saya, akan lebih efektif kalau saya tetap di kantor, menulis artikel. Hal cetek, seperti nulis nama penelpon mah siapa sih yang gak bisa.
Ada juga kejadian ini. Saya diminta datang ke acara kantor, sebagai tim penggembira, untuk menuh-menuhin kursi biar kesannya banyak yang hadir. Saya merasa super konyol duduk di sana, pura-pura mendengarkan talk show singkat soal interior. Saya sempet mikir, 27 tahun, punya pengalaman kerja, tapi kok ya sekali-kalinya ke mall cuma buat jadi audience pura-pura. Merasa kecil dan konyol.
Ketika otak saya berangsur waras, saya menyadari hal lain dari dua kejadian itu. Mencatat nama penelpon masuk atau duduk sebagai audience boongan memang hal kecil tetapi kenapa saya nggak coba menghargai hal kecil yang sudah saya lakukan. Kenapa harus membandingkan pekerjaan saya dengan orang yang bicara on-air atau dengan orang yang berbicara di depan audience tentang interior. Kenapa saya tidak menikmati pekerjaan kecil saya. Yang penting kan saya memenuhi tugas saya sebagai karyawan.
Kayak calo-calo penumpang di perapatan Sarinah. Awalnya saya mikir, ngapain sih mereka heboh nyebutin nama jurusan bus tiap ada bus yang lewat. Kan penumpang juga udah tahu. Lagian kenek bus juga malas kali ngasih duit kalau kerjaan si calo hanya gitu saja.
Satu hari, saya ketinggalan kacamata. Saya nggak bisa lihat nama-nama jurusan bus yang lewat. Untungnya, berkat mas-mas calo yang teriak-teriak pas bus Bekasi datang, saya jadi bisa lari ke bus itu dan dapat kursi. Kalau dia gak teriak sementara saya nggak pakai kacamata, kemungkinan bus itu cuma lewat di depan saya atau saya kalah cepet buat dapat tempat duduk. Makasih ya mas-mas calo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H