Sisa 7 hari kerja lagi atau 11 hari kalender sampai dengan 31 Desember 2015, waktu yang singkat apabila dikaitkan dengan pencapaian target penerimaan pajak yang sudah mulai dilakukan sejak awal tahun 2015. Tetapi sisa waktu itu bisa dianggap masih cukup lama, apabila jajaran pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selalu bekerja keras untuk mencapai hasil maksimal. Di sisa waktu yang ada Plt. Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi, masih membutuhkan Rp 146 T untuk mencapai ambang batas minimal target penerimaan pajak yang telah disepakati.
Menteri Keuangan, Bambang PS Brojonegoro meminta target penerimaan pajak tahun ini terpenuhi minimal 85 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 atau sebesar Rp 1.294,26 triliun. Hal ini diungkapkan sebagai syarat jika ingin jabatan sementara yang diemban oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Ken Dwijugiasteadi, bisa naik status menjadi jabatan definitif. Bambang menyampaikan bahwa Ken Dwijugiasteadi harus bisa mengumpulkan setoran pajak pada Desember 2015 sebesar Rp 218 T. Instruksi, sekaligus syarat apabila Ken ingin ditetapkan sebagai Dirjen Pajak pada Tahun 2016.
Sementara Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, menyatakan bahwa dalam kurun waktu Desember 2015 DJP masih akan bisa bisa menarik setoran pajak lebih dari Rp 100 triliun. Mardiasmo menambahkan bahwa pada awal Tahun 2016 akan dilakukan seleksi terbuka oleh Kementerian Keuangan, seperti yang sebelumnya pernah dilakukan, untuk mencari Dirjen Pajak definitif. Proses seleksi terbuka dilakukan untuk mencari terbaik untuk memimpin DJP. Ken yang saat ini menggantikan posisi Dirjen Pajak sebelumnya, Sigit Priadi Pramudito, pun dipersilahkan mengikuti seleksi tersebut.
Dua pernyataan dari menteri dan wakilnya yang sangat kontradiktif, dimana satu pimpinan dan pimpinan lain membuat statement yang berbeda. Tajam diluar tumpul ke dalam, keras ke orang lain, lunak untuk diri sendiri. Plt. Dirjen Pajak diminta mengejar setoran pajak sebesar Rp 218 T untuk bulan Desember 2015, di sisi lain, Wakil Menteri Keuangan menyampaikan yakin akan mencapai setoran di atas 100 T. Sekilas memang sama maknanya, tetapi apabila dilihat dari aspek psikologis, maka beban Plt. Dirjen Pajak menjadi lebih berat karena hal tersebut merupakan sebuah instruksi yang tidak bisa ditawar lagi, sebuah keharusan.
Tanpa ada anomali, maka penerimaan pajak Bulan Desember 2015 dipastikan akan mencapai angka di atas Rp 100 T, mengingat realisasi penerimaan pajak pada Desember 2014 lalu mencapai Rp 125 T. Dan apa yang disampaikan oleh Mardiasmo kemungkinan besar akan terealisasi. Namun, untuk memenuhi target yang diberikan oleh Bambang jelas tidak mudah, walaupun bukan berarti tidak mungkin.
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyadari pemerintah tahun ini terlalu percaya diri soal target penerimaan pajak. Padahal realitas di lapangan sangat berkebalikan. "Kita tidak bisa seperti ini di 2015 lagi. Selalu bilang 'bisa, bisa, bisa' tapi tahu-tahu hasilnya lain (tidak bisa)”.
Memang secara realita, jika realisasi penerimaan pajak pada Desember tahun 2014 sebesar Rp 125 T maka kemungkinan yang bisa dicapai untuk Desember tahun 2015 berikutnya adalah di kisaran Rp 150 s.d. Rp 160 T. Jika ditambah dengan penerimaan dari revaluasi asset dan reinventing policy yang ditetapkan maka penerimaan mencapai angka Rp 200 T adalah sebuah angka pencapaian yang luar biasa.
Tetapi memang demikianlah halnya, bahwa sudut pandang politik dalam arti kekuasaan memang belum bisa memandang jernih situasi internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja DJP. Bahwa apabila bicara target dan capaian penerimaan pajak, artinya kita dihadapkan pada issue terkait pegawai DJP dan Wajib Pajak. Bicara pegawai adalah bicara kinerja, penghasilan, dan integritas. Sedang bicara Wajib Pajak sebagai pihak eksternal (pemangku kepentingan) adalah bicara kesadaran, kepedulian dan kemauan untuk membayar pajak.
Masalah tidak tercapainya target penerimaan pajak, dari tahun 2009 adalah masalah klasik dan lagu lama yang terus berulang. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang harus dibenahi. Hubungan antara pegawai pajak (fiskus) dan Wajib Pajak haruslah berupa mutual benefit yang senantiasa memberi ruang perbaikan. Yang diperlukan bukan hanya merevisi target, alias merubah angka, bahwa dengan merubah target penerimaan pajak akan menyelesaikan masalah.
Tetapi yang perlu dilakukan adalah penguatan Direktorat Jenderal Pajak itu sendiri dalam hal kapasitas dan kewenangan, mengingat kewenangan DJP sebagai institusi penting di Republik ini masih sangat terbatas. Lemahnya koordinasi data antar instansi, masih tertutupnya akses petugas pajak kepada rekening yang dimiliki oleh Wajib Pajak adalah contoh yang paling jelasterlihat. Dan hal tersebut merupakan permasalahan utama yang belum dapat terselesaikan.
Jika Darmin meragukan DJP saat berkata bisa, bisa, bisa tetapi hasilnya lain maka saya akan menceritakan kejadian lucu yang selalu terjadi dari tahun ke tahun. Setiap tahun, target dibuat oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), instansi yang berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan. Mungkin sudah seharusnya BKF menyampaikan secara lebih komprehensif dan terbuka kepada publik dasar perhitungan target penerimaan pajak. Dimana saat ini, anggapan masyarakat, bahwa DJP sendiri yang membuat target dan DJP juga yang harus mencapainya (end to end). Atas target penerimaan nasional tadi selanjutnya didistribusikan di tingkat Kantor Wilayah, dan akhirnya menjadi target masing-masing Kantor Pelayanan Pajak (KPP), top down istilahnya.