[caption caption="Memberikan yang terbaik tidak selalu harus mendapatkan yang terbaik "][/caption]
Â
Â
Penghasilan pegawai pajak pada tahun 2016 dipotong 20% dari tunjangan kinerja yang mereka terima setiap bulannya. Sebuah konsekuensi dari penerapan Perpres No 37 Tahun 2015  karena realisasi penerimaan hanya mencapai 81% dari target penerimaan pajak. Hal ini sepertinya luput dari perhatian publik, adem ayem, tidak ada bully, tidak ada media seperti layaknya saat ada kenaikan tunjangan kinerja. Padahal pegawai pajak hanya menerima 80% dari tunjangan kinerja. Maka harapan untuk mendapatkan  insentif atas pencapaian kinerja tertentu sesuai dengan pasal 36D UU KUP Tahun 2007 adalah mimpi, karena pasal itu akan lenyap pada revisi undang-undang yang akan dibahas pada tahun ini.
Pelajaran pertama yang bisa dipetik dari kejadian ini adalah pada saat diimplikasikan pemotongan penghasilan tidak menimbulkan kegaduhan dari pegawai pajak atas berkurangnya penghasilan mereka secara signifikan. Padahal dalam pekerjaan sehari-hari mereka berada dalam tekanan  dari wajib pajak yang masih belum paham dan sadar pajak, sedang dari atasan diharapkan untuk mencapai target penerimaan pajak. Kontradiktif, wajib pajak berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya, sedang atasan berharap mendapatkan penerimaan sebesar-besarnya. Salut, karena  mereka tidak gaduh, dan siap menerima konsekuensi. Dalam pekerjaan seperti ini maka wajar bahwa setiap pekerja lebih berharap mendapatkan motivasi dan penghargaan daripada sebuah pemotongan tunjangan kinerja. Â
Predikat A sebagai penilaian atas akuntabilitas kinerja Kementerian Keuangan yang meliputi sisi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan hasil program kerja dan juga hasil reformasi sumber daya manusia sesuai hasil survei persepsi korupsi atas Integritas Publik (Interaksi Suap dan Probabilitas Suap) di Kanwil Ditjen Pajak Propinsi bahwa probabilitas suap sebesar 17 %, masih dibawah Kementerian keuangan (24%) dan Kepolisian (44%) sepertinya perlu menjadi bagian dari tolak ukur keberhasilan sebuah kinerja. Perlunya melihat ukuran kinerja dari sisi pelayanan dan sisi penerimaan, dimana pelayanan adalah pekerjaan administratif dan  banyak menyita waktu. Meningkatkan kualitas pelayanan prima akan mengurangi porsi peningkatan penggalian potensi penerimaan pajak.
Reformasi mental yang sudah dilakukan oleh Ditjen Pajak saat ini mengalami tantangan yang sangat berat dalam situasi politik dan birokrasi yang masih transaksional. Semoga saja negeri ini  tidak ingin kehilangan nilai atas Ditjen Pajak yang sudah berrevolusi mental  jauh mendahului PNS-PNS lainnya.  Repot sekali situasi di republik ini, karena penguasa sebagian besar adalah pengusaha, sedang pengusaha menguasai birokrasi. Transaksional menjadi bagian sehari-hari. Lebih repot lagi ketika politisi sudah ikut campur tangan dalam ranah kebijakan birokrasi dan SDM, maka ini akan mengganggu jalannya revolusi reformasi di Ditjen Pajak.  Eksekutif dan legislatif perlu menjaga agar  Ditjen Pajak tetap bersih dan berwibawa seperti yang selama ini ada. Jika ada yang berteriak tentang kualitas pelayanan pajak, maka perlu ditanyakan apakah yang bersangkutan sudah datang ke Kantor Pajak.  Perlunya kesadaran bahwa penerimaan negara ini masih sangat-sangat tergantung kepada penerimaan pajak. Akan lebih baik jika kita tidak bisa membantu dan membangun jangan merusak, kalau tidak bisa memperbaiki jangan menghancurkan.
Pelajaran yang kedua adalah menjadikan momentum ini sebagai sebuah acuan untuk menjadikan Ditjen Pajak sebagai role model bagi instansi lain, dengan penerapan yang adil, equal treatment, perlakuan yang sama untuk sebuah kejadian yang sama. Setiap instansi termasuk BUMN dalam jajaran birokrasi  pasti mempunyai target pekerjaan yang harus dicapai. Demikian juga dengan Badan Layanan Umum dan mesin-mesin uang bagi republik ini, maka kegagalan dalam pencapaian target harus ada reward and punishment. Ada penghargaan atas keberhasilan dan ada hukuman atas kegagalan, adalah salah satu cambuk agar orang bekerja semakin baik. Dengan catatan target yang diberikan adalah sebuah target yang realistis bukan sesuatu yang melukis langit.
Sudah selayaknya sebuah keberhasilan akan dengan bangga diakui, demikian juga jika ada sebuah kegagalan. Sudah selayaknya pihak-pihak terkait yang menaungi Ditjen Pajak untuk bertanggung jawab atas ketidakberhasilan ini. Sampai saat ini Ditjen Pajak masih bernaung di bawah bendera Kementerian Keuangan. Bahkan dalam pelaksanaan penggalian potensi penerimaan pajak berada dalam dukungan Tim Optimalisasi Penerimaan Pajak (TOPP),  apakah tidak selayaknya pihak-pihak ini ikut bertanggung jawab dalam menerima konsekuensi pemotongan tunjangan kinerja.  TOPP ini adalah gabungan dari Kementerian keuangan dan Wakil Menteri Keuangan, Kepolisian, BKF (Lembaga pembuat target pajak), Kepala BPPK, Itjen, lengkap. Padahal di saat yang sama Pegawai Ditjen Pajak dipotong mereka malah sebagian besar mengalami peningkatan penghasilan  Tunjangan Kinerja. Mantap. Paradok dalam kehidupan bernegara
Tahun 2015 mungkin adalah tahun yang suram bagi PNS Pajak, tetapi bagi saya seharusnya ini adalah sebuah pencerahan, menjadi awal untuk menerapkan hal yang sama di tempat lain terutama di kalangan para pejabat Negara. Mungkin perlu diterapkan sistem progresif, dimana semakin besar penghasilan yang diterima pegawai yang bersangkutan, maka jika ada kegagalan, prosentase pemotongannya menjadi semakin besar. Hal in bisa diberlakukan sama dengan penerapan tarif pajak yang bersifat progresif. Jika ini bisa diterapkan secara menyeluruh maka diharapkan dapat menjadi menjadi dorongan dan motivasi yang memaksa untuk bekerja. Perlunya melakukan perubahan sebuah sistem agar fenomena kerja dan tidak kerja penghasilan yang diterima sama, maka akan tercipta kondisi asal bukan saya yang kerja, yang sulit buat elu, yang gampang buat gue. Yang banyak buat ente yang sedikit buat ane, kan gajinya same.Â
Kepada pegawai pajak dari lapisan bawah sampai lapisan atas, sudah saatnya merapatkan barisan untuk berkata sesuai dengan hati nurani, untuk menyampaikan aspirasi yang memang harus disampaikan. Jika saluran itu buntu maka mari kita buka bersama-sama, jika jalan itu tertutup mati kita bongkar bersama-sama. Lebih sulit menjadi pejuang daripada menjadi pecundang, dan jangan biarkan kita menjadi yang kedua.