Tax Amnesty atau Program Pengampunan Pajak sedang berlangsung, periode pertama akan berakhir pada akhir September 2016. Gegap gempita dan animo masyarakat terhadap program ini masih sangat ramai, semua berebut bicara baik yang setuju dan yang tidak setuju. Kita bisa melihat tayangan ILC di sebuah stasiun TV yang dimoderatori oleh Karni Ilyas merupakan potret pemahaman masyarakat elit tentang pajak. Pembicara atau nara sumber yang dihadirkan pada acara ILC sangat beragam latar belakangnya, mulai dari Direktorat Jenderal Pajak, Pengacara terkenal Hotman Paris Hutapea, Ferdinan relawan Jokowi, Yustinus Prastowo, Fuad Bawazier mantan Dirjen Pajak, Darussalam konsultan Pajak, dari Muhhamadiyah. Tambahan komentator adalah Anwar Nasution sebagai mantan Gubernur BI dengan hubungan komunikasi melalui telepon.
Pembicara yang sudah dipilih dengan kriteria tertentu, bukan masyarakat Wajib Pajak yang benar-benar awam saja masih blenthong-blenthong pemahaman tentang pengetahuan dasar pajak. Maka bisa dibayangkan bagaimana masyarakat umum sangat-sangat bingung dengan pajak. Pasti masih sangat rancu antara Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai, membedakan pajak daerah dan pajak pusat, antara pajak dan retribusi. Sosialisasi yang sebelumnya hanya menjadi tugas DItjen Pajak sendirian, pajak berjalan sendiri, jatuh bangun dengan tugas dan tanggungjawabnya. Baik saja salah, apalagi jatuh.
Pajak masih menjadi sumber utama pendanaan APBN, ironisnya pajak adalah kambing hitam yang paling pas jika ada kegagalan dalam program-program pembangunan. Bukan hanya institusinya tetapi akhirnya melebar kepada petugas pajaknya, mengarah kepada personalnya. Lagi-lagi Pajak adalah sasaran empuk tumpahan kesalahan dan kemarahan. Dan memang tidak salah, jika melihat kondisi saat ini, memang pajak layak untuk dimarahi jika melihat sisi pajak dari pencapaian hitam di atas putih. Potensi dan pencapaian sangat tinggi deviasinya. Dari 60 juta orang berpotensi menjadi wajib pajak hanya 30 juta orang menjadi Wajib Pajak, dari 17 juta orang wajib menyampaikan SPT hanya 10 juta yang menyampaikan SPT, belum lagi dari 10 juta itu hanya 1 juta yang melakukan pembayaran pajak. Maka secara hitam di atas putih memang Pajak layak untuk dimarahi, gagal terus, gagal terus.
Bahkan Sri Mulyani menyatakan bahwa petugas pajak harus disabet agar bisa bergerak cepat, dan Presiden memantau langsung pelaksanaan Tax Amnesty, semua berjalan dengan kecepatan maksimal walaupun hasilnya belum maksimal. Berbagai program sudah dijalankan, mulai dari Sunset Policy, Reinventing Policy, Revaluasi Asset, sampai Tax Amnesty, tetapi hasilnya masih belum memenuhi harapan. Jika Pak Anwar Nasution dalam komentarnya menyatakan pegawai pajak masih korup, maka bisa dipastikan beliau adalah orang yang tidak pernah berhubungan secara langsung dengan petugas pajak. Modernisasi dan reformasi perpajakan masih terus berjalan, secara SDM mereka layak untuk diacungi jempol, punishment berjalan konsisten secara menyeluruh, membuat petugas pajak berpikir keras untuk melanggarnya. Padatnya tugas rutin dan tambahan tugas TA yang juga sama padatnya tidak membuat standard pelayanan Wajib Pajak boleh menurun. Keluhan klasik yang masih dihadapi Wajib Pajak adalah antri dan administrasi tehnis pengisian formulir perpajakan yang masih belum dipahami adalah hal yang sangat biasa terjadi di Pajak.
Menurut saya, gagal sekali dalam sebuah pekerjaan adalah hal yang wajar. Jika gagal berkali-kali seharusnya pertanyaannya diganti menjadi mengapa dan bukan kenapa lagi? Jika jawabannya sudah ketemu karena dianggap administrasi perpajakannya buruk dan itu sudah diketemukan dari beberapa waktu yang lalu sampai sekarang belum bisa terselesaikan dengan baik, maka pertanyaan kenapa harus diulang lagi. Mundur terus, dengan pertanyaan yang sama, kenapa dan mengapa? Bukan judgement lagi. Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang bisa bertanya mengapa dan kenapa dan bukan kok ga bisa? Terlalu sempit dan sangat tidak bijaksana jika hanya melihat hitam dan putih. Karena pemimpin yang tidak bisa melihat ke belakang cenderung arogan dan kudate, kurang update.
Pembangunan rumah membutuhkan pilar yang sangat besar dan kuat untuk menopang atapnya, demikian juga dengan tenaga kerjanya membutuhkan orang yang banyak untuk bisa saling bahu membahu melakukan pembangunannya. Pembangunan rumah membutuhkan material dasar berupa tiang(alat), membutuhkan SDM, dan tentu saja dana. Semua menuju pada sebuah pelaksanaan pembangunan rumah sesuai dengan “design” dasar yang akan diwujudkan menjadi rumah. Jika saya analogikan pembangunan rumah dengan sistem pajak saat ini akan menjadi seperti ini, orang pajak disuruh membangun rumah, tetapi tidak dikasih pilar besarnya, akhirnya mereka harus mengumpulkan ranting-ranting seadanya untuk dijadikan pilar rumah. Waktu mereka habis untuk mengumpulkan dan menyambung ranting-ranting yang ada untuk diikat dan dijadikan pilar dan tiang-tiang rumah.
Jika melihat tenaga kerjanya sudah sangat banyak tetapi seperti tidak ada hasilnya, karena hal-hal kecil semua harus dikerjakan dengan porsi yang sama pentingnya, pelayanan dan penggalian potensi, dua hal kontradiktif yang harus dilakukan bersamaan, bagaikan ular berkepala dua. Serigala berbulu domba. Kesalahan berikutnya adalah jika terjadi kegagalan yang disalahkan adalah mandor dan tenaga kerjanya, mereka melupakan bahwa pembangunan rumah itu ada donaturnya ada designernya, ada perencanaannya. Maka kembali lagi bahwa institusi pajak saat ini tidak sendirian, ada Kementerian Keuangan yang membawahinya, ada BKF yang membuat target penerimaan pajak, ada KPPN yang melakukan system MPN G2 terkait dengan aplikasi pembayaran pajak. Bahwa negara ini dibangun bersama-sama bukan hanya dari pajak, dalam gerak langkah yang seirama. Keberhasilan realisasi penerimaan pajak adalah kesesuaian antara perencanaan, sistem, SDM, tehnologi dan pelaksanaannya di lapangan.
Jika melihat fakta di lapangan, antrian yang selalu membludak, sistem yang kadangkala down, maka pertanyaannya adalah apakah Ditjen pajak boleh menambah pegawai seperti yang diinginkan? Jawabannya ada pada Menpan dan Kemenkeu. Jika SDM sudah ditambah, tetapi pekerjaannya masih mencari ranting untuk dijadikan pilar, maka berapa besar tingkat efektifitasnya untuk membangun rumah besar dan kuat.
Jika melihat petugas pajak di lapangan, mereka yang harus mengumpulkan ranting-ranting untuk dijadikan pilar, memasang badan, seperti yang terjadi pada Parada, kemudian menambah jam kerja sampai jam 7 malam pada tahun lalu tanpa uang lembur, demikian juga pada tahun ini, masuk Hari Sabtu dan Minggu untuk Tax Amnesty, disertai dengan pemotongan penghasilan sebesar 20% dari tunjangannya, maka apa lagi yang mau dilakukan oleh petugas pajak untuk bisa membangun rumah besar yang diharapkan dari designer.
Harapan mempersempit gap antara data makro dan realisasi penerimaan pajak tidak akan pernah menjadi seperti yang diharapkan jika sistemnya masih seperti ini, dari kaca mata saya ini seperti dagelan, komedi. Tax Ratio menjadi seperti Negara tetangga juga masih jauh dari harapan. Menganalisa angka-angka yang tersaji hanyalah salah satu alat dari membuat perencanaan. Tetapi eksekusi di lapangan membutuhkan sistem dan birokrasi yang lebih efektif dengan dukungan kebijakan senjata yang ampuh dari elit politik.