Perlahan, aku merajut keping-keping kebahagiaan yang berserakan selama perjalanan hidupku. Mengumpulkannya keping demi keping, melihat ke belakang perjalanan hidupku, dan mengumpulkan kembali satu demi satu perasaan sayang, perasaan sendu dan haru yang pernah singgah di dalam diriku. Tanpa kusadari wajahku merona. Usiaku sudah menuju hampir setengah abad. Wajahku mulai kusam, tergerus oleh perasaan sedih dan sengsara yang akhir-akhir ini kurasakan.Â
Tidak ada lagi gurat-gurat keceriaan terlukis di sana, bahkan mungkin tidak tersisa lagi lekuk-lekuk manis yang menjadi cermin karakterku yang demikian kuat. Ceria, mandiri dan bersahaja. Sepertinya, daya tarik itu telah meninggalkanku selama 5 tahun belakangan ini. Aku tersenyum, iya setelah aku berpisah dengan seseorang yang memaksaku belajar banyak hal dalam kehidupan ini.Â
Perpisahan itu membuatku kecewa, dan tanpa kusadari aku merajut keping-keping kesedihan di dalam hidupku. Merajut keping-keping kesengsaraan yang telah mengikis habis kebahagiaanku yang sesungguhnya masih ada.
Dulu aku tidak pernah percaya dengan diriku sendiri, bahwa aku memang sangat tidak cantik, bahkan bisa dikatakan jelek. Tetapi tanpa aku sadari, beberapa nama sempat singgah di dalam kehidupanku. Menemani dan menggandeng tanganku, sehingga aku tidak pernah benar-benar sendiri dalam melewati waktu hidupku dengan anak-anakku. Aku mensyukuri satu bagian ini, senyuman hangat hadir di wajahku lagi.
 Berpisah dengan suamiku, pada waktu itu meninggalkan luka yang sangat dalam. Membutuhkan waktu lama untuk menyemai kembali kekuatanku. Dua orang lelaki bujang kujadikan pelarian atas luka batin cinta yang menggores hatiku. Dan dua orang ini mengakhiri hubungan denganku, karena mereka tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar sayang dengan mereka, hanya sebuah tempat untuk bertahan agar aku bisa melupakan kekelaman hatiku yang tidak pernah berhasil mereka redakan.Â
Waktu terus berjalan, teman demi teman, pekerjaan demi pekerjaan datang silih berganti. Lagi-lagi aku bersyukur, bahwa cepat dalam belajar membuat aku sangat mudah menyesuaikan ragam pekerjaan demi pekerjaan yang datang dan pergi tanpa pernah aku harus mengejarnya. Rejeki datang mengalir, seiring dengan kebutuhan sekolah anak-anakku. Ajaib, membesarkan mereka berdua seorang diri, sekalipun aku tidak pernah merasa kekurangan. Kadangkala memang sangat ngepas, tetapi sekalipun aku belum pernah kekurangan. Hibah demi hibah, subsidi demi subsidi, mengalir seiring berjalannya waktu.Â
Dulu aku sangat percaya dengan kata-kata, bahwa kehidupan itu harus direncanakan, harus dipikirkan, harus dihitung dan harus dipersiapkan dengan sangat matang. Dan dulu, pemikiran seperti ini membuat aku menjadi orang yang sangat perfectionis, detil, rewel, cerewet, emosian, tidak ada toleransi, judes dan tentu saja galak. Tetapi perjalanan kehidupan, merubah semuanya.
Aku dikenalkan dengan dunia spiritual oleh suamiku saat kami baru mulai awal-awal pacaran. Berawal dari niatku untuk menemani suami belajar batin, sebagai jawaban atas rasa ingin mengenal  hal-hal baru yang ada dalam kehidupan sekitarku. Aku selalu diajak kemanapun dia pergi. Bahkan aku dengan sukarela melakukan apa yang harus dia lakukan sebagai bagian dari pembelajaran spiritual. Hanya sekedar ingin bersamanya, hanya sekedar ingin belajar, tetapi aku tetap melakukan dengan totalitas yang sama.Â
Dunia spiritual ini telah merubahku menjadi orang yang sangat berbeda. Dari aku yang sangat berperfectionis tanpa toleransi, menjadikan aku sebagai orang yang sangat bisa menerima kekurangan dan kelemahan penuh dengan pengertian. Dari egois dan mau benar sendiri, akhirnya menyadari sepenuhnya bahwa aku adalah manusia tempatnya kurang dan salah. Tidak ada yang lebih berarti dalam hidup kita, ketika kita bisa membahagiakan orang lain di atas kebahagiaan kita sendiri.Â
Dua sudut pandang ini telah benar-benar merubahku menjadi orang yang berbeda, walaupun aku masih tampak seperti emosian dan tidak sabar. Hanya tampak, karena emosianku sebenarnya muncul dari seangat yang berapi-api, muncul dari keinginanku untuk melakukan sesuatu dengan cepat, dan segera berganti dengan yang lain. Iya, aku masih sangat jauh dari sabar, walaupun aku adalah orang yang sangat mengerti.Â
 Proses kehidupan yang aku lewati memang silih berganti, nama-nama orang yang ada di dekatku juga silih berganti. Pekerjaan dan kegiatan yang kulakukan juga beragam dengan segala tingkat kesulitannya. Tetapi ada satu hal yang tidak pernah aku gantikan dalam hidupku, Tuhan. Satu hal ini,  aku selalu menempatkan di hatiku, walaupun  kadang-kadang aku menyakitinya dengan melakukan banyak hal yang pasti membuatNya kecewa, tetapi aku sadar sepenuhnya, bahwa Tuhan selalu ada di hatiku, walaupun sikap dan tingkah lakuku seringkali mengkhianati kehadiranNya di hidupku.Â