[caption caption="Membandingkan yang bukan bandingannya "][/caption]Tahun 2015, Realisasi Penerimaan Pajak tidak tercapai. Dengan penerimaan sebesar Rp 1.061 Trilyun atau 81.99% dari  target  Rp 1.294 Trilyun. Dan  Realisasi penerimaan pajak Januari s.d. Februari 2016 mencapai Rp 122,4 Trilyun turun 5,4% dibanding dengan penerimaan tahun sebelumnya yaitu Rp 130,8 Trilyun.  Benar-benar tidak mudah. Kalau target penerimaan tidak dirubah, alamat-alamat bakal bunuh diri jilid dua. Kalau target ya realistis, 10% dari realisasi penerimaan tahun lalu lah. Kan pertumbuhan ekonomi sekitar 4,7%. Realistis kan?Â
Kalau kita hanya ngomong tehnis pajak caranya menghitung bagaimana, bayarnya, formulir buat mereka yang ahli pajak itu adalah hal yang jelas. Ada aturannya, ada caranya terus diimplementasikan, jreng, sudah selesai. Tapi kalau bicara pajak kemudian dikaitkan dengan sistem, organisasinya maka akan muncul masalah-masalah yang harus diselesaikan. Dibuat benang merahnya, kaitan antara satu dengan yang lainnya, jadinya mumet alias ruwet. Karena yang diomongkan dengan filosofinya itu suka ga nyambung, mleset dan akhirnya kebijakan yang dihasilkan tidak mampu membuat pondasi struktur pajak yang baik.
Pak Bambang, Menteri Keuangan ngomong kalau dibandingkan sistem perpajakan di Amerika, kita tidak melakukan apa-apa saja bisa ketahuan berapa gaji kita. Ini membuat kita tidak bisa main-main dengan perpajakan mereka. Misal, ada perorangan yang mendapatkan penghasilan tanpa dipotong pajak. Saat mereka tidak membayar pajak, mereka akan langsung di kirimi surat. Surat itu berisi perkataan seperti ini, "Menurut data kami, di akun bank Anda tidak ditemukan catatan pembayaran pajak. Tolong dijelaskan!". Dengan surat ini, orang lebih baik membayar pajak ketimbang harus menjelas kan dan malah bermasalah. Di Jepang juga begitu.
Pendapatan pajak di Indonesia sangat rendah, karena pemerintah sangat sulit melakukan akses di bank. Di ASEAN,  sebagian telah mencapai  tax ratio-nya sebesar 13-14 persen. Di negara maju, bisa sampai 15 persen. Dan tidak bias dibandingkan dengan tax ratio di  Eropa, mereka mematok pajak tertinggi di angka 75 persen. Sedangkan kita, tarif tertinggi baru 30 persen untuk individu, tidak akan terkejar.Â
Jika nilai tax ratio 11,8 persen, jelas ini masih di bawah potensi penerimaan pajak. Nah sekarang pertanyaannya, mengapa kita tidak bisa mencapai potensi ini? Masalahnya ada di administrasi pajak. Mengapa? Karena penerimaan pajak hanya akan berhasil kalau ada data dan informasi yang tersedia dan akurat. Â Memangnya kepatuhan berbanding lurus dengan penerimaan pajak, kayanya tidak mesti juga, walaupun bisa iya bisa tidak. E filling itu yang wajib PNS Dan Polri, dimana sebagian besar pajaknya nol, karena sudah dipotong oleh pemberi kerja. Mungkin perlu dilihat pembayaran pajak penghasilan orang pribadi terus ditambah pajak penghasilan karywan, kayanya lumayan juga tuh.
Pak Bambang Brojonegoro bicara bahwa telah memiliki data-data rekening 6.000 di suatu negara dan ada kabar bahwa 2.000 perusahaan asing tidak membayar pajak selama 10 tahun. Kalau ada datanya langsung kasih Ditjen Pajak pak, kirim ke Account representativenya (AR). Tuh AR itu haus data, kalau ada pasti langsung berbahagia lahir dan bathin tancap gas. Kalau perusahaan luar negeri yang katanya ngga bayar pajak, memang dia legal ngakalinya. Itu lho transfer pricing, yang kita ributkan tapi ga bisa kita tangkep. Data bank lagee nih. Kalau gemes sih, gemesin juga orang pajak lihat potensi besar tapi mereka Cuma bisa gigit jari.Â
[caption caption="data dari Buku OECD "]
[caption caption="Sumber Web Kemenkeu "]
Kalau Pak Jokowi mengusulkan perombakan di  Ditjen Pajak pada bulan Agustus 2015 untuk membentuk Badan penerimaan Negara, apakah perombakan itu sudah mewakili maunya Jokowi. Karena di rencana undang-undang yang mau dibahas di DPR katanya Ditjen Pajak bahwa dalam melaksanakan tugas, fungsi,dan wewenangnya lembaga masih dibawah koordinasi menteri keuangan, apa ya ngga sami mawon, alias podho wae. Apa ga ditanyakan lagi kenapa ga bisa pisah dari kemenkeu yang sudah digagas setiap mau pergantian kekuasaan dari jamannya Ibu Mega, Pak SBY pada waktu masa transisi. Ini persoalannya bukan apa-apa, tinggal  nawaitunya, niatnya, mau tidak mau, bukan bisa atau tidak bisa.
Pak Jokowi bicara penting meningkatkan koordinasi yang solid antara PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), Kepolisian, Kejaksaan, serta Ditjen (Direktorat Jenderal Pajak khususnya jika ada penggelapan pajak dan pencucian uang. Jangan sampai‎ ada lagi ego sektoral sehingga terjadi gesekan dan benturan dalam penegakan hokum, aparat penegak hukum pajak jangan malah ketakutan menjalankan tugasnya.
Harus melibatkan pula BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam pengawasan sektor-sektor yang rawan dalam tindak pidana pencucian uang, baik yang berkaitan dengan narkoba,illegal trading, transfer pricing, dan lainnya. Sepakat banget, setuju. Maunya begitu, tapi penggalian potensi itu ada di lapisan paling bawah, ada di AR dan fungsional pemeriksa, di lapisan pelaksana. Paham kan di sektornya masing-masing pelaksana penegak hukum juga repot sendiri-sendiri.
Kalau data Bea Cukai dan Pajak memang sudah ada koordinasi, lumayanlah data ekspor dan impor masih bisa kepotret, asal bukan illegal transaction aja. Perusahaan yang lewat sistem pencatatan seperti halnya bank juga lumayan, sudah bisa dilirak lirik, tapi yang belum bisa kan justru sector swasta, lagi-lagi data oh data.
Coba kita lihat pernyataannya Pak SBY, "Yang mengerti ekonomi kalau pajak  dikuras habis ekonomi justu tidak tumbuh. Yang penting yang wajib pajak jangan mangkir. Jangan digenjot habis-habisan apalagi saat kondisi ekonomi sedang sulit, maka perusahaan bisa bangkrut dan yang susah makin susah. Ekonomi sedang lesu, maka pajak harus pas. Saya mengerti, bahwa kita butuh membangun infrastruktur. Dermaga, jalan, saya juga setuju. Tapi kalau pengeluaran sebanyak-banyaknya dari mana? Ya dari pajak sebanyak-banyaknya. Padahal ekonomi sedang lesu.
Bayar pajak itu pakai aturan, bukan dikuras pak, kalau ditarik itu karena secara aturan memang harus ditarik, bukan tanpa dasar. Hitungannya pas, besaran pajak itu memang sudah kewajiban yang harus dibayarkan. Jadi bukan menarik pembayaran pajak yang tidak sesuai dengan aturannya. Lha tidak setiap ekonom mengerti pajak. Pajak dan ekonomi itu dekat pak, tapi kayanya beda deh.
Masalah di pajak itu sudah kompleks, karena selama ini tidak tersentuh. Tidak tersentuh bisa jadi karena memang tidak paham tentang teknis dan penyelesaian masalah pajak, atau tidak tersentuh karena memang tidak mau menyentuhnya, karena pajak dikategorikan barang panas. Membuat kebijakan tanpa memahami substansi danfilosofinya justru membawa pajak semakin tidak jelas. Â Politisi ga mau ngomong pajak, karena pajak ga populis dan bukan vote getter.Ga menarik gitu lhoh.Â
Tapi Maunya duitpajaknya untuk negara selalu ada, mengutamakan hasil tanpa melihat sebuah proses. Kalau pengusaha juga ga mau ngomong pajak, karena berlawanan dengan prinsip ekonomi karena ada pengeluaran yang tidak menguntungkan, giliran fasilitas jalan dan infrastruktur ga mendukung mereka boleh teriak. Kalau bicara pajak dan kebijakan politis tidak ketemu benang merahnya lha gimana, jalan sendiri-sendiri. Lahirlah kebijakan-kebijakan instan yang bukan mendukung penerimaan.
Membuat kebijakan dari politis untuk pajak memang tidak bagus jika sepotong-sepotong, mesti menyeluruh, overall gitu. Ya organisasinya, ya SDM-nya, ya dukungan politik, IT yang terintegrasi (bukan hanya titipan proyek saja), mesti dilihat satu-satu. Ibarat melihat gajah, kok kupingnya lesu, disangga pakai bambu. Kok buntutnya loyo.
Dipijiti buntutnya, padahal masalah utamanya gajahnya laper, hehehehe ga nyambung ya. Yo gapapa, maksa dikit. Melihat ke substansinya bukan aksesorisnya, memahaminya juga harus menyeluruh. Utuh, itu juga kalau ketemu. Pendidikan spesialis itu bagus sekali, jadilah tenaga ahli. tapi perlu juga mendidik untuk berpikir global, supaya bisa jadi pemimpin. Kadang-kadang aneh juga gapapa, maka jadilah out of the box.Â
Â
Selamat berjuang untuk Indonesiaku, merdeka!!!!
Â
Â
Â
Sumber berita :Â
http://www.beritasatu.com/nasional/356049-presiden-fokus-pemberantasan-pencucian-uang.html
http://news.detik.com/berita/3166632/sby-jangan-paksakan-bangun-infrastruktur-saat-ekonomi-sulit
http://www.satutiga.co/sby-pajak-dikuras-ekonomi-kian-bangkrut/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H