"Mereka yang menemuiku dan akhirnya menemukan sumur abadi adalah orang yang berada dalam kepasrahan, kebeningan hati, dan dalam ketenangan jiwa. Karena demikianlah seharusnya hidup, tidak bergejolak, tidak grusa grusu, senantiasa mengalir bagaikan tenangnya air danau, bergemericik menyejukkan, menenangkan."
"Janganlah  terperdaya oleh keinginan,  terpenjara oleh nafsunya. Hidup adalah panggilan jiwa untuk selalu kembali kepadaNya, menyiapkan jalan, merintis, dan menerabas semua yang menghalangi perjalanan ini. Keinginan dan nafsu jiak tidak dikendalikan akan menjadi rintangan untuk menemukan jalanNya."
"Masih banyak yang masih harus dikerjakan untuk mewujudkan keinginanmu, menjadikan negeri ini negeri cahaya. Jika Gusti Allah memberikan restunya maka semuanya akan terjadi."
"Anakku, cahaya kehidupan. Menjadikan negeri cahaya berarti menjadikan dirimu cahaya kehidupan, hingga sinarnya akan menyinari bumi, menyinari negeri, membawa kedamaian, dan mengembalikan semuanya pada tatanan yang sebenarnya."
"Setiap manusia adalah cahaya. Menjadi penjaga adalah sebuah karunia. Seorang penjaga nusantara akan diberikan anugrah kemampuan Notonegoro. Notonegoro adalah sebuah gelar, gelar yang diberikan kepada seseorang karena kemampuannya dalam menata negara, melihat secara utuh jagad lahir dan batin, dan mengetahui simpul-simpul antara keduanya. Jika gelar notonegoro sudah diberikan kepada seseorang di nusantara ini, maka harapan akan datangnya perubahan dan kemakmuran akan menjadi kenyataan".
"Apakah notonegoro ini yang akan menjadi pemimpin, eyang?"
"Belum tentu, tetapi notonegoro akan mengambil bagian baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses bernegara. Bathinnya sangat kuat. Pemikirannya tajam. Selalu mampu memberikan jalan keluar dan menemukan cara untuk menyelesaikan semua masalah negeri dengan baik. Tuntas, aman tanpa masalah".
"Kira-kira kapan, eyang?"
"Kita tunggu saja, bukankah semua sudah dimulai. Tidak akan lama lagi. Bersiaplah, kukuhkanlah hatimu untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Dan satu lagi, anakku, semakin pasrah kepada Yang Kuasa, maka kamu akan semakin kuat. Aku pergi dulu".
Eyang Banten meninggalkan paseban agung. Langkahnya biasa saja, tetapi dengan ilmu Sayepi Angin, dalam satu kedipan mata eyang banten telah  hilang dalam kegelapan malam.
Aku masih merenungi apa yang disampaikan Eyang Banten denganku tentang Notonegoro. Selama ini orang-orang terpaku pada singkatan nama para pemimpin negeri ini, ternyata yang saya terima berbeda makna. Entah mana yang lebih pas, aku tidak mengerti. Kebenaran di jagad bathin tidak ada yang mutlak, boleh berbeda persepsi, dan tidak ada kebenaran atau kesalahan. Yang dibutuhkan adalah toleransi terhadap perbedaan dengan saling menghargai dan tidak menghakimi, karena kebenaran yang sesungguhNya hanyalah milikNya.