Resah mendung di awal bulan september ini, kembali datang mengetuk pintu ingatan yang memintas dari kegetiran masa lalu tentang celoteh dari masa ke masa yang tergurat di suatu tempat bernama es pe be u.
Hampir sepanjang ingatan, pengumuman pahit itu selalu saja menjadi momok, terus melekat dan tak mungkin diusir waktu, meski telah cukup lama harus bersabar mengurai sisa-sisa harapan, tetapi selalu saja ada hembusan angin yang membawa kembali butiran-butiran debu dan terkumpul menjadi selimut kekhawatiran.
Janji demi janji seperti hanya pemanis bibir, kehilangan tuahnya untuk menghapus guratan kelam tentang rakyat jelata yang hanya jadi tumbal dari janji-janji para pembual yang haus akan kekuasaan.
Resah mendung di awal bulan september ini, kembali datang membawa luka yang perih itu, memaksa rakyat untuk berusaha membungkus sabar dalam selimut kepasrahan, memaksa wajah-wajah pedih untuk tersenyum, meski takkan pernah ada tempat bagi mereka untuk sekedar bertanya dimana keadilan.
Mereka bunyikan terompet perang melawan harga-harga yang menantang dibakar oleh be be em yang mereka patok di dinding-dinding yang hampir tak terbeli. Â Rakyat merangkul kepedihannya dengan lemas dan mereka mendekap bisunya yang ngilu dengan kecewa
Hanya itu yang mampu mereka lakukan untuk sedikit meredam masa-masa pahit ini
Memaksakan mata-mata mereka memancarkan satu binar harapan untuk sekedar mengusir putus asa agar tak meracuni jiwa
Harga-harga itupun perlahan menanjak pada musim-musim yang penuh gelisah
Rakyatpun tak henti-hentinya dirundung kekhawatiran yang menggigil
Memaksa untuk mendekap bayangan keresahan, dari harga telorpun yang kini sudah hampir tak terbeli