Di antara keping-keping perjalanan yang masih tersisa di tapak sepatu ini, aku berharap telah menangguk semua isyarat dari bisikan debu, yang seperti sengaja memasrahkan dirinya untuk terpijak.
Aku yang dulu pongah, berlalu begitu saja dari badai yang kudengar hanya seperti bunyi gemeretak ranting patah yang kupijak dengan mata terpejam, persetan dengan tatapan matanya yang melotot.
Waktu itu bukit-bukit cadas pun tunduk di hadapanku, menyanyikan lagu-lagu dusta di antara tangisan menghiba padang ilalang yang kerontang oleh hembusan nafasku yang membakar tanpa pilih kasih...
Begitu banyak kejadian dalam perjalanan, biru dan merah, putih dan kelabu saling menindih, berebut menepuk dada sambil berkata akulah sang penguasa takdir.
Namun pada akhirnya hanya debu-debu yang tersisa di atas kepingan kecil tak berwujud, yang kusam dimakan lupa, lalu datang tergopoh-gopoh mengejar lonceng terakhir yang akan segera berbunyi.
Ternyata dunia tak sesederhana bisikan daun-daun yang rantingnya kupatahkan hanya dengan sekali pijakan, yang membuatku lupa membawa bekal di ujung perjalananku.
Kini, lonceng terakhirku telah berdentang, namun isyarat yang ingin kutangguk
Telah membuatku lelah...
Telah membuatku menyerah...
Dan telah membuatku tersesat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H