Kami ini bayi-bayi yang beribukan tiang, yang menetek pada puting lampu berwarna merah.
Belum cukup bagi kami jika hanya ada pandangan sinis dan juga jijik, rasa curiga dan sumpah serapah, kami ini pesakitan yang dituduh perusak dari panorama  kota nan eksotik.
Kalau saja pelangi itu bisa bercerita, ia akan menertawakan kami. Hidup di emperan jalan dengan kawalan tiang-tiang lampu merah yang masih menyala, teman kami adalah asap knalpot, debu jalanan, sengatan mentari dan guyuran hujan.
Kami yang hanya indah dalam larik sebaris puisi yang telah lama mampus. Sementara nurani sudah lapar dan telah lama mati di tengah sunyi, dibalut kesombongan kota yang mengetuk batok kepala kami yang telah penuh dengan sampah dari pandangan curiga para penikmat dunia.
Bahkan batu-batu yang keras dan bisu
menggereng marah merasa ternodai oleh dosa yang tak kami pilih. Menggeliatkan derita pada guratan dan sayatan nasib yang tertulis tak seindah pelangi yang sedang menertawai.
Kalaupun mereka peduli pada kami anak-anak yang diasuh debu jalanan di bawah hawa kota yang garang, mungkin dari mereka hanya sebait doa yang menggema di sudut sunyi kota bertabur ambisi. Kami hanya bisa bersimpuh, bukan berdoa......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H