Mohon tunggu...
Metias Kurnia Dita
Metias Kurnia Dita Mohon Tunggu... -

Saya ada untuk memberi kemanfaatan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Wisata Literasi yang Menyedihkan

25 Maret 2015   11:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:04 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427263620504489797

[caption id="attachment_405232" align="aligncenter" width="512" caption="Ilustrasi/Muda.Kompasiana.com"][/caption]

Bagi sebagian orang, berkunjung ke toko buku adalah hiburan tersendiri. Mereka luangkan waktu untuk menghampiri rak demi rak buku kemudian membaca dengan khusyuk sinopsis buku-buku yang dianggap menarik. Jika sudah memantapkan hati untuk memilih judul tertentu, dirogohlah kocek dan menuju kasir sehingga sahlah buku tersebut menjadi miliknya.

Para pecinta buku ini sebagian memang menganggarkan pemasukannya untuk dibelanjakan buku setiap bulannya. Jika ada pemasukan berlebih, orang-orang semacam ini cenderung memilih membeli buku alih-alih membeli baju baru. Sebaliknya, jika penghasilan mereka sedang pas-pasan, mereka rela menekan pengeluaran lainnya demi membeli buku.

Mereka juga mempunyai alokasi waktu khusus untuk mengunjungi toko buku. Jika dalam sebulan saja mereka tidak mengunjungi toko buku, rasa-rasanya ada yang kurang dalam hidup mereka. Bagi para pecinta buku yang sudah berkeluarga, mereka biasanya menyempatkan waktu memboyong serta anak-anak mereka untuk “berwisata” ke toko buku. Dari sinilah kebiasaan membaca buku orang tua tertular kepada anak-anak mereka.

Sayangnya, di negeri kita orang-orang semacam itu belum banyak. Tradisi literasi kita masih sangat rendah. Jangankan di daerah pelosok, di kota-kota besar saja tradisi literasi masih cukup menyedihkan.

Beberapa waktu lalu saya sempat mengunjungi sentra buku-buku lama di Pasar Senen. Tujuan saya adalah ingin membeli roman-roman Indonesia karya sastrawan angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Di toko buku modern semacam Gramedia dan Gunung Agung, roman-roman tersebut sudah tidak dijual. Maka, saya putuskan untuk mencarinya di Pasar Senen.

Dulu, jika kita mau mencari buku-buku lama, kita bisa mengunjungi sentra buku Kwitang. Namun, setelah tempat ini mengalami penertiban, sebagian besar penjual buku direlokasi ke Pasar Senen, lalu sisanya ke Blok M Square dan sebagian kecil lainnya masih menetap di Kwitang.

Saat memasuki area Terminal Senen, saya yang waktu itu datang bersama seorang teman saya, tiba-tiba ditanya oleh seorang bapak, “Mau cari buku ya dek?”. Ini mungkin karena tampang kami yang masih terlihat seperti mahasiswa. Si Bapak memberi petunjuk kepada kami dan kami pun mengikutinya.

Kami berjalan di sela-sela bus besar hingga menjumpai lapak-lapak buku yang kondisinya cukup memprihatinkan. Letaknya pas di belakang terminal sehingga kualitas udara di sana bisa dibilang sangat buruk. Sesekali terhembus asap hitam pekat dari knalpot bus. Tepat di gang masuk menuju lapak-lapak itu, jalanannya becek dan sangat licin. Bau anyir menguar entah dari mana sumbernya. Baru masuk saja, kami sudah mulai bergidik. Sedih sekali rasanya, buku, yang notabene adalah sumber ilmu pengetahuan, dijajakan di tempat semacam itu.

Tak disangka, ternyata pengunjung lapak-lapak buku tersebut cukup banyak. Setelah berkeliling ke beberapa lapak, kemudian menanyakan harga buku dan menawarnya, kami baru tahu bahwa harga buku di sini sangat murah. Bisa jadi, ini yang membuat orang rela berkunjung ke tempat yang memprihatinkan seperti itu. Selain karena harga yang murah, kelengkapan koleksi buku di sini juga menjadi sebab orang tetap mau berburu buku di sini. Bahkan, saat kita bertanya tentang judul buku tertentu dan kebetulan si penjual buku tersebut sedang tidak memiliki stoknya, mereka berjanji akan mencarikannya. Seperti teman saya yang bertanya tentang salah satu buku tua impor, pada salah seorang penjual. Karena sedang tidak memiliki stoknya, si penjual itu berjanji akan menghubungi teman saya jika buku tersebut sudah didapatkannya.

Setelah membeli beberapa buku, kami keluar area lapak-lapak buku ini dengan perasaan yang bercabang-cabang. Kami merasa puas mendapatkan buku yang kami cari tapi kami juga merasa miris melihat kondisi tempat yang menjual sumber ilmu itu. Tidak bisakah pemerintah memberikan tempat yang sedikit lebih layak untuk buku? Pikiran saya kemudian melayang ke pusat-pusat perbelanjaan yang bediri megah dan menempati area-area premier di ibu kota. Saya membayangkan andai saja ada sentra buku dengan bangunan semacam pusat-pusat perbelanjaan itu. Tentu sentra buku semacam itu akan menjadi tujuan wisata alternatif bagi masyarakat.

Jika sentra buku dibuat sedemikian bagus, bukankah harga sewa kiosnya akan berbanding lurus dengan kondisi gedung? Tidakkah ini justru akan memberatkan para penjual buku yang umumnya bermodal pas-pasan? Di sinilah diharapkan peran pemerintah ada. Karena ilmu adalah investasi masa depan, maka buku sebagai sumber ilmu sudah selayaknya menjadi salah satu fokus perhatian pemerintah. Salah satunya adalah dengan membangun sentra-sentra penjualan buku dengan harga sewa kios yang ramah bagi para penjual buku kelas menegah ke bawah.

Selain itu, sudah seharusnya pemerintah memberikan subsidi untuk buku. Tidak harus semua buku diberi subsidi, sebagian pun tidak masalah. Subsidi difokuskan pada buku-buku yang benar-benar berkualiatas dan bermafaat untuk pembangunan manusia Indonesia. Untuk mengurusi persubsidian buku ini, dibentuk sebuah komite khusus, taruhlah namanya “Komite Nasional Subsidi Buku” misalnya. Tugas pokok komite ini adalah meneliti buku-buku mana saja yang layak dan berhak mendapatkan subsidi.

Dengan adanya subsidi ini, setidaknya ada dua manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, karena harga buku yang murah, daya beli masyarakat terhadap buku bisa meningkat. Ini berarti minat baca masyarakat juga perlahan bisa meningkat. Kedua, dengan adanya subsidi bagi buku-buku yang berkualitas, diharapkan kedepannya akan semakin banyak hadir buku-buku yang berkualitas. Para penulis buku secara tak langsung akan terdorong untuk menelurkan karya-karya yang berkualitas.

Alangkah indahnya jika semua itu terwujud. Namun, tentu ini tergantung oleh aktor utama yaitu pemerintah. Kita lihat saja apakah pemerintah serius meningkatkan budaya literasi masyarakat kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun