Mohon tunggu...
meti anggraeni
meti anggraeni Mohon Tunggu... profesional -

biarkan saya terjebak dalam surga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Untukmu Ibu) Broken Gift

23 Desember 2013   20:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

no peserta: 378

Asslalamu’alaikum Bunda…

Saat menulis surat ini hatiku diselimuti rindu yang menderu. Rindu akan belaian kasih sayangmu. Saat menulis surat ini aku berharap agar engkau menyimpulkan senyum termanismu. Karena mimpiku hanya satu, mengukir senyum di bibir yang mulai keriput dimakan waktu. Aku harap aku tak terlambat.

Kedengarannya aneh memang. Tiba-tiba aku menulis surat untukmu. Kayak orang pacaran saja surat-suratan.

Ngomong-ngomong soal surat menyurat, ingatkah engkau saat pertama kali kutulis sepucuk surat untukmu? Waktu itu aku masih duduk dibangku SMP. Aku bingung bagaimana mengutarakan keinginanku untuk membeli buku. Ahirnya kuputuskan untuk menuliskannya.

Aku malu bunda. Aku selalu saja meminta. Kapan dunia ini berputar. Bunda juga pasti bertanya-tanya. Kapan giliranku memenuhi harapanmu?

Sedang apa bunda di rumah? Anakmu ini sedang berjuang di negeri orang. Minggu ini aku harus melewati ujian yang melelahkan.

Bagaimana kabar Ayah? Kudengar ia sedang sakit. Bunda pasti kewalahan mengurus Ayah sekaligus ade-ade sendirian. Rasanya aku ingin segera pulang dan membantumu di rumah. Tapi mimpiku belum jua menjadi nyata. Aku juga harus berjuang untuk memeluk dan menciummu di muka dunia.

Bunda, masih ingatkah engkau kapan terahir kali mencium dan memelukku? Anakmu yang durhaka ini melupakan momen yang terindah itu. Ingatkan aku bunda. Ingatkan aku akan hangat pelukmu.

Bunda, saat aku tinggal di asrama, aku seringkali melihat teman-teman yang dijenguk oleh ibunda mereka. Melihat mereka dicium dan dipeluk begitu mesra air mata ini bermuara di sudut mata. Aku hanya bisa memandangai kemesraan mereka dari balik bingkai kaca.

“Eka!”

“Mama!”

Mereka saling berpelukan. Wanita yang dipanggil mama itu mencium mesra anak semata wayangnya. Air mata rindu yang  sudah membeku leleh seketika. Rintik hujan menjadi saksi cinta suci bunda dan buah hatinya.

Air mataku pun berkamuflase di balik tirai hujan. Lagi-lagi aku hanya bisa mengamati. Kapan giliranku? Aku ingin sekali memelukmu Bunda.

Bunda. Maafkan ketololan anakmu ini. Aku pikir bunda tak menyayangiku hanya karena tak pernah bilang I love you. Aku bahkan bertanya-tanya apakah aku ini anakmu yang sesungguhnya? Mengapa tak pernah kau dekap tubuh mungil ini?

Usia kini mengajariku mengenai makna cinta sesungguhnya. Bahwa cinta bukan sekedar untaian kata. Bahwa cinta bukan hanya pelukan atau ciuman mesra.

Cintamu adalah cahaya. Cahaya kasih ilahi yang sukar dimengerti.

Masih ingatkah engkau saat bibir mungilku menangis tersedu hanya karena ingin dibelikan es kadu? Kau biarkan air mataku habis. Malah kau cubit pahaku hingga berwarna kelabu. Tangisanku pun semakin menderu.

Maafkan aku bunda. Lagi-lagi aku pikir bahwa engkau Bunda terkejam di dunia.

Sekarang aku tersadar bahwa cinta itu seperti angin. Aku tak bisa mendekapnya tapi bisa merasakan hadirnya.

Air mata adalah lambang kekuatan. Ternyata tangisan baik untuk kesehatan. Bahkan dapat meningkatkan kecerdasan. Pemerintah Jepang pun mengadakan perlombaan menangis untuk memproklamasikan teori ini.

Terimakasih bunda untuk cinta tulusmu.

Terimakasih buda untuk membiarkanku menangis. Kini aku bisa duduk dibangku kuliahan. Mungkin jika engkau memanjakanku aku tak kan melangkah sejauh ini. Aku tak akan pernah meraih prestasi.

“Bunda, kapan hari ulang tahunku? Mengapa tak pernah dirayakan?”

Pagi-pagi bibir mungilku sudah meluncurkan busur panah tepat menuju hati Bunda.

“Bunda tak ingat Nak. Bunda terlalu sibuk menyiapkan sarapan untukmu. Belajar saja yang rajin. Merayakan ulang tahun hanya pemborosan!”

Air mataku jatuh di atas kotak makan yang telah kau siapkan. Aku melihat perubahan air muka Bunda. Busur yang aku layangkan pasti menyisakan perih di hatimu.

Bunda, saat itu aku ingin engkau mengusap air mataku dan mengecup keningku. Tetapi, kau malah berlalu dari pandanganku yang mulai nanar.

‘Bagaimana bisa seorang ibu lupa kapan melahirkan anaknya? Apa jangan-jangan aku bukan anak kandungnya?’

Hati kecilku membisikkan pendapat piciknya. Tanpa memikirkan setiap kata yang diucap Bunda.

Selama ini anakmu yang tak tau diri hanya bisa menuntut ini dan itu. Kasih sayang yang tak terbilang terselimuti kabut kekufuran. Ya, kekufuran telah membutakan mataku hingga aku sulit mengucapkan terima kasih.

Bunda, sebenarnya di momen hari ibu ini aku ingin memberikan kado kecil untukmu. Tetapi, ternyata kadonya rusak. Seperti biasa aku hanya menjanjikanmu mimpi. Aku bermimpi hari ini memenangkan lomba menulis. Ternyata aku kalah bunda. Aku gagal.

Berikut ini adalah goresan pena yang aku ikutkan lomba. Semoga bisa sedikit menghibur mata lelahmu.

Undefined Creature

Mama masih setia di sudut penuh asap. Menemani berkilo-kilo beras di atas perapian. Jemari kokohnya mengaduk nasi yang sedang ia tanak. Asap semakin ganas menyerang wajahnya. Senyuman manis tersimpul rapih saat aku meghampiri wanita yang paling kusayagi itu.

“Makan dulu ma.”

Ku bawakan semangkuk sup ayam kesukaan mama. Perlahan ku bantu ia memasukan setiap suap nasi. Biasanya mama selalu marah jika aku mengganggu pekerjaanya. Kali ini tak akan ku biarkan ia sendiri melawan api.

Ping!

Sebuah pesan singkat mendarat di ponsel mungilku.

“Mana revisi cerpenmu? Besok harus sudah diposting.”

Ianya menghentikan jemariku mengukir mimpi. Sudah dua jam aku duduk di hadapan tungku yang tak berapi. Mencari inspirasi. Mengobati rindu di hati. Setumpuk tugas tak kunjung usai. Mulai dari cerpen, opini, hingga esai. Kemana ide-ide yang biasa bersemayam di kepala? Apakah ia hilang bersama mama?

“Satu jam lagi selesai.”

Ku paksa jemariku berlari lebih kencang di atas keyboard. Mengukir impian bersama mama. Ya, kemesraan bersama mama hanyalah ilusi belaka. Imaginasi yang kerap menghiasi karyaku.

Jangankan suap-suapan. Bahkan aku tak pernah tau indah rupanya. Ibu, aku rindu padamu. Belaian dan kecupan. Pernahkah engkau daratkan dipipi ini?

Berat badanku seperti bertambah puluhan kilo. Tak kuasa aku mengangkat tubuh mungil ini dari petilasan mama. Sudut gelap penuh asap. Di sini biasanya ia duduk. Setidaknya hanya itu yang aku tau tentang mama. Seorang pahlawan yang gugur saat buah hati yang ia nanti terlahir ke bumi.

Wajah antusias selalu kusuguhkan pada Bule Siti saat ia bercerita tentang mama. Janda anak satu ini adalah bunda yang mengasuhku dengan penuh cinta. Bersama Farhan aku ia besarkan tanpa dibedakan.

“Ibumu itu sorang pekerja keras nduk. Dahulu, setelah ayahmu meninggal ia bangun bisnnis katering ini dengan keringatnya. Dapur itu adalah saksi bisu kerja keras ibumu. Ia sebarkan brosur sendiri. Memasak sendiri. Sampai mengantarkan pesanan juga sendiri. Lihat itu!”

Jarinya menunjuk ke arah motor butut keluaran 1994.

“Itu warisan dari ayahmu. Motor itu juga yang membawa ayahmu dalam dekapan Tuhan. Ibumu seperti tau waktunya tidak banyak. Ia bekerja begitu keras untuk masa depanmu.”

Hanya bisa mengunci bibir dengan senyuman saat mendengar ribuan cerita tentang bunda. Tak pernah bosan mendengar episode kehidupan yang telah dilalui bunda. Entah mengobat rindu atau apa? Tapi rasanya hati ini semakin tersayat. Tak jarang air mata ini menembus pertahanan yang dibangun pasukan senyuman ketegaran.

Bunda, di mana pun engkau kini. Aku selalu merindukan kemesraan bersamamu, kecupanmu, belaianmu. Bunda, aku tak kuasa menghapus air mata. Bisakah kau ulurkan tanganmu.

Bunda, aku tau mungkin sekarang hidupmu lebih bahagia. Berada di tempat yang aku tak pernah bisa menjangkaunya. Engkau mungkin sekarang sedang bermesraan dengan Tuhan.

Bunda, apa kabar ayah di sana? Sudahkah kau sampaikan salamku untuknya?

Maafkan aku Bunda.

Untuk kesekian kalinya kata maaf aku ukir di atas kertas putih ini. Maaf untuk mimpi-mimpi yang begitu sukar menjadi nyata. Maafkan.  Hanya mimpi dan angan yang tak pasti yang bisa kupersembahkan padamu.

Bunda, satu semester lagi saat aku wisuda akan kubawa kau keatas panggung dengan prestasiku. Akan kupeluk dan ciumi pipimu yang mulai dimakan usia. Akan kutunjukkan pada dunia, kau ibu yang paling luar biasa. Agar semua iri padaku mempunyai ibu sehebat dirimu.

Bunda, rasanya mimpi itu terlalu sulit ku gapai. Tapi, aku yakin dengan kekuatan cintamu aku akan dapat menggapainya. Karena di tangan Allah tidak ada yang tidak mungkin itu yang selalu kau ajarkan padaku. Dan rido Allah adalah ridomu. Ridoi aku Bunda agar bisa menjadi seniman yang handal melukiskan senyuman. Senyuman yang menghiasi bibirmu.

Bunda, sungguh aku lelah melihat kesedihan yang kau pancarkan. Aku masih ingat saat wajahmu berhias pilu.

“Makannya jangan buru-buru nyekolahin anak, keburu kadaluarsa kan jadinya.”

Kata-kata itu pasti menusuk nuranimu. Air mataku pun tak terbendung bunda. Bukan karena ejekan yang mereka lontarkan. Tapi karena mereka melontarkannya padamu bukan padaku. Saat itu juga hatiku berbisik.

‘Akan ku beli mulut-mulut mereka yang telah menghinamu.’

Aku masih ingat saat kau menceritakan kisah itu. Seorang ibu yang juga memiliki buah hati. Seorang ibu yang pastinya juga punya hati. Tetapi ia begitu tega melontarkan kata-kata itu.

Semua karena ketidakberdayaanku. Sedandainya saat itu aku bisa mendapat pekerjaan yang layak seperti anaknya, mungkin tak pernah terlontar kata-kata yang lebih tajam dari silet itu.

Bunda, jika dulu kutuliskan surat untuk sebuah buku. Kali ini kurangkai kata untuk sebuah impian. Kususun huruf demi huruf untuk memuarakan rindu yang terus mengalir di sela nadi.

Bunda, aku merindukanmu. Aku tak sabar ingin pulang dan mencicipi masakanmu. Rasanya aku sudah tidak tahan hidup susah di perantauan. Aku ingin pulang Bunda. Doakan aku agar mimpiku segera menjadi nyata. Agar aku segera memeluk dan menciummu di hadapan seluruh dunia.

Bunda, untaian kata yang kutulis ini apakah membuatmu tersenyum atau malah bersedih? Jika jawabannya yang kedua, maka mungkin sebaiknya tak kuteruskan saja. Cukup sampai di sini. Biarkan dia tersimpan dalam sanubariku. Biarkan semilir angin dan sinar mentari yang menyampaikan salam rinduku padamu. Rindu yang menyisakan air mata. Air mata yang kebingungan mencari muaranya.

Bunda, sampai jumpa semester depan saat aku menjadi kebanggaan.

Salam cinta dari sang pemimpi

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community http://www.kompasiana.com/androgini dan silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun