Mohon tunggu...
Metha Madonna
Metha Madonna Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan peneliti kajian jurnalistik, komunikasi massa dan penyuluhan pembangunan, Fikom Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Life is Beautiful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beda 'Kasta' Netizen Anarkis dengan Citizen Journalist

5 Desember 2022   10:52 Diperbarui: 5 Desember 2022   11:25 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fenomena praktik jurnalisme warga (citizen journalism)  di media sosial maupun media massa siber,  kian tak terbendung bahkan  telah jadi bagian tak terpisahkan dengan dunia pers modern.  Sudah banyak karya jurnalis warga yang dikomodifikasi atau malah ditayangkan apa adanya oleh media mainstream (cetak, radio dan TV)  untuk mengisi ruang redaksinya. Sebagai contoh karya mahasiswi sebuah kampus  yang  merekam kecelakaan truk tronton di depan sebuah SD di Bekasi, banyak dimanfaatkan stasiun TV swasta.

Kontribusi jurnalis warga sangat diakui eksistensi dan karya-karyanya, media dan publik pun diuntungkan atas ketersediaan informasi.  Sebagaimana diakui praktisi jurnalistik senior sekaligus  pengusaha media H.Ilham Bintang bahwa jurnalisme warga merupakan bentuk keterlibatan masyarakat dalam pembangunan pers.

"Sebetulnya UU Pers tahun 2004 sudah mengatur  soal jurnalis warga yaitu  dibukanya ruang bagi masyarakat untuk  mengembangkan pers nasional,  jelas pelopor jurnalistik infotaintment itu pada acara diskusi online bertema reaktualisasi UU Pers dan status jurnalis warga belum lama ini.

Persoalannya, potensi jurnalis warga tersebut masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena hasil karyanya belum  diolah sesuai standar karya jurnalistik. Begitu juga gaya penulisan  untuk media siber atau produk versi audio viusal kurang memperhatikan fokus atau obyek yang hendak dipublikasikan.  Fokus atau sudut pengambilan gambar yang tidak  tertuju pada obyek peristiwa atau sosok, narasi yang tidak relevan alias 'nggak nyambung' dengan ilustrasi merupakan hal teknis yang membuat karya para citizen journalism tidak dapat dimanfaatkan oleh media mainstream.

Kendala teknis pada karya memang tidak terlalu mengganggu apabila produk jurnalistik tersebut sekadar konsumsi publik melalui media sosial.  Tentu saja karya jurnalis warga akan tetap bernilai (value) apalagi berkaitan interested, nearness atau trending topics.  Barangkali hanya soal  kurang nyaman dinikmati saja oleh masyarakat. Apalagi telah cukup banyak aplikasi editing video, ilustrasi audio sekaligus dukungan  perangkat  gadget yang semakin canggih  dan berkualitas untuk proses  reportase.

Namun persoalan  teknis bukan yang utama, ada yang lebih penting yaitu  terdapat kesulitan bagi redaksi media mainstream juga publik untuk membedakan  sebuah  informasi di media sosial itu adalah karya jurnalistik atau informasi sampah.  Apabila praktisi media saja kesulitan  menyortir artikel  antara karya citizen journalist atau netizen  anarkis,  maka bagaimana dengan publik yang sebagian besar belum memiliki literasi siber.

Tidak dapat dipungkiri era digitalisasi membuat lebih dari 210 juta pengguna internet (Data APJII 2022) memperoleh informasi dari media sosial.  Sayangnya sebagian informasi yang  bertebaran di kalangan netizen adalah  kabar bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech) atau narsisme.  Kacaunya, informasi  sampah tersebut kadang dimanipulasi supaya berkesan sebagai informasi yang valid sehingga membingungkan publik.

Pastinya  sulit dan perlu waktu panjang untuk mengedukasi netizen (warga internet) yang besar jumlahnya dengan disparitas sosial dan intelektual yang tajam.  Solusi paling realistis  dan berpeluang berhasil yaitu  menyasar para pelaku jurnalisme warga  di komunitas maupun independen untuk diedukasi mengenai adab berkomunikasi serta Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Pemahaman mengenai adab berkomunikasi dan KEJ yang akan membedakan  kapasitas citizen journalist sebagai penyampai informasi dengan netizen sebagai penyebar sekaligus pengguna media sosial yang kadang tidak memperhatikan aspek klarifikasi dan konfirmasi.  Pada intinya seorang jurnalis warga dituntut  mampu membekali dirinya dengan  pengetahuan dasar jurnalistik,  penguasaan bidang atau topik yang dihadapi serta keluasan wawasan mengenai situasi terkini, sehingga semakin membedakannya dengan netizen.

Berdasarkan pengamatan pada sejumlah jurnalis freelance di  portal berita yang membuka  akses  partisipasi publik dalam pemberitaan,  kebanyakan memiliki latar pendidikan menengah dan tinggi  serta wawasan cukup memadai  soal publikasi.

Hindari Jurnalisme Provokasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun