Berdasarkan data terakhir yaitu laporan triwulan perekonomian Indonesia, Juli 2012, disebutkan bahwa prospek perekonomian dunia dalam jangka pendek yang paling mungkin terjadi menunjukkan masih rapuhnya prospek perekonomian untuk negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh resiko potensi krisis yang berasal dari negara lain. Proyeksi pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia (gambar 4.1) pada tahun 2012 sebesar 3,3%, angka tersebut masih relatif lemah disebabkan karena peningkatan ketidakpastian Eurozone yang menjadi faktor pendukung penyebab penurunan pertumbuhan global dari pemotongan anggaran dan perlambatan pertumbuhan kredit di negara maju, sehingga terjadi keterbatasan kapasitas di beberapa ekonomi negara berkembang. Oleh sebab itu, terus meningkatkan persiapan menghadapi krisis merupakan prioritas kebijakan bagi negara seperti Indonesia dengan cara terus mendorong reformasi dan investasi yang mendukung pertumbuhan jangka menengah di tengah perekonomian dunia yang tampaknya akan melemah. Kondisi ini memungkinkan untuk mempertimbangkan UKM menjadi katup aman nasional dalam menghadapi krisis mengingat entitas dan posisi strategis yang dimiliki oleh usaha menengah. Proyeksi dasar (baseline) dengan berlanjutnya gejolak pada pasar keuangan internasional, lemahnya pertumbuhan dunia, dan penurunan harga komoditas, memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan terus didukung oleh investasi dan konsumsi dalam negeri. Akan tetapi, ditunjukkan oleh gambar 4.2 bahwa pertumbuhan ini diperkirakan akan sedikit melemah selama beberapa tahun berjalan, sejalan dengan indikator bulanan dan terutama bagi indikator investasi, mencerminkan ketidakpastian dalam ekonomi dunia. Pada gambar 4.3 ditunjukkan angka pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan kembali meningkat pada tahun 2013 seiring dengan meningkatnya stabilitas internasional, bergerak menjadi 6,4% dari 6,0% di tahun 2012.
Terjadinya kebekuan parah di pasar keuangan internasional berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan mitra perdagangan, penurunan komoditas dunia, dan turunnya tingkat kepercayaan investor sehingga menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional di angka 4,7% di tahun 2013. Dalam skenario dimana krisis yang disertai penurunan perekonomian global yang lebih parah dan panjang yang berdampak pada ekonomi negara berkembang, maka pertumbuhan di Indonesia dapat turun ke angka 3,8%, dengan dampak perlambatan yang lebih dirasakan pada kegiatan dalam negeri karena adanya penurunan harga komoditas yang akan mengurangi pendapatan dan investasi. Proyeksi ini ditunjukkan dengan gambar 4.4.
Fasilitas perdagangan dalam dan luar negeri juga merupakan kebutuhan penting bagi Indonesia untuk mendukung kekuatan pasar domestiknya dan memanfaatkan semakin pentingnya wilayah Asia Timur di dalam permintaan dunia. Jika fasilitas ini disertai dengan investasi pendukung dalam keahlian dan infrastruktur, maka akses pada jaringan perdagangan dan investasi internasional juga dapat membantu mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing industri dalam negeri. Terbukti bahwa perusahaan manufaktur yang disertai keterpaduan internasional yang lebih besar memiliki kinerja yang lebih baik. Contohnya yaitu industri yang terletak pada propinsi yang sama mencatatkan bahwa perusahaan manufaktur yang merupakan eksportir atau menggunakan bahan impor secara rata-rata tingkat produktivitasnya 19% lebih tinggi dari pabrik yang tidak terpadu secara internasional, sementara pabrik yang dimiliki oleh asing memiliki tingkat produktivitas 38% lebih tinggi dari perusahaan dalam negeri yang level bisnisnya setara. Pengeluaran kebijakan baru-baru ini telah menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang arah pengambilan kebijakan dalam perdagangan dan investasi. Kebijakan tersebut termasuk peraturan divestasi yang baru dan persyaratan pemrosesan pada sektor pertambangan. Walaupun tujuan dari kebijakan-kebijakan tersebut dapat berasal dari upaya untuk mendorong produktivitas, menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan domestik, implementasinya seringkali berubah. Hal ini memperlihatkan adanya kesulitan koordinasi dan komunikasi serta ketidakpastian efektivitas dalam pencapaian tujuan-tujuan tersebut dan resiko konsekuensi negatif jangka panjang. Terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut justru dapat melemahkan tingkat kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi domestik. Namun di sisi lain, pemerintah Indonesia telah mempersiapkan protokol manajemen krisis (crisis management protocol) dan mengatur pembiayaan kontingensi bagi pemerintah jika terjadi pengetatan kondisi pasar. Kebijakan pemerintah ini hendaknya didukung pekerjaan lebih lanjut oleh masyarakat agar negara Indonesia sadar tanpa harus terjadi kemungkinan terburuk yaitu saat protokol manajemen krisis diaktifkan/diberlakukan. Persiapan rencana kebijakan fiskal serta anggaran belanja untuk mendukung ekonomi dan melindungi masyarakat miskin harus dimulai sekarang sehingga masalah kemiskinan tidak semakin betambah dan menjadi beban baru ketika krisis terjadi. Hal ini menuntut adanya budaya kesadaran dari masyarakat Indonesia sehingga tidak selalu bergantung pada pemerintah (sistem up-down) tetapi merujuk pada sistem bottom-up-down yang menuntut kemandirian masyarakat dengan memetakan masyarakat dari segi kapabilitas sehingga mampu dijadikan sebagai penggerak kehidupan masyarakat luas. Kejelasan dan konsistensi kebijakan juga dapat meningkatkan kepercayaan investor dan langkah-langkah kebijakan dalam perdagangan dan investasi yang membatasi impor barang-barang tertentu serta mengendalikan resiko dikeluarkannya peraturan-peraturan baru yang tidak seragam tentang reformasi. by: Nurilia Fitri Prabawati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Money Selengkapnya