For me...
It's hard to say "I'm not okay", though I know it's okay not to be okay, sometimes.
I prefer to say "I'm fine" and then smile.
Case closed!
Bukan berarti saya sering menipu dengan senyuman palsu. Tapi, kehidupan yang membentuk saya menjadi pribadi seperti itu. Dalam keluarga saya, seperti ada perjanjian tak tertulis "tak boleh sakit", "tak boleh mengeluh". Maka, setiap kali kami sakit, kami hanya diam dan memendamnya dalam-dalam. Penyakit itu baru akan diketahui ketika sudah lumayan tinggi derajat kegawatannya, ketika kami sudah tak sanggup lagi menahannya sendiri. Biasanya terbukti dari tangisan tiba-tiba atau pingsan di tengah jalan. Bahkan, saat sakit seperti itu pun, kami tetap dituntut beraktivitas seperti biasa. Menunaikan kewajiban yang harus ditunaikan. Seperti mencuci baju, menyapu, mengepel, dan lainnya. Kedua orang tua kami meneladankannya, meski mereka bukan militer. Sebab, sesakit apa pun hidup tetap berjalan, ada beberapa kewajiban yang tetap harus ditunaikan sampai titik darah penghabisan, disebabkan memang itu tanggung jawab kita. Tak mudah menyuruh kami istirahat hanya karena sakit. Sebab berjuang tak sebercanda itu. Amanah tak semudah itu untuk diserahkan.
Mungkin terdengar seperti kejam. Tapi, menurut kami... Hal itu adalah pembeda kami dengan keluarga lainnya. Integritas kami tercermin dalam perilaku tersebut. Keinginan untuk melemah saat sakit seringkali begitu dahsyat menggoda iman. Terlebih bila ada amanah yang begitu sulit ditunaikan, dan dengan alasan sakit, bisa saja kita seenaknya mendelegasikannya. Tapi, kembali... Berjuang tidak sebercanda itu. Sampai kapan kita akan terus berlari dengan beragam excuse? Maka sakit, bukanlah excuse untuk beribadah (bekerja pun termasuk ibadah). Titik darah penghabisan adalah saat di mana kami benar-benar tak sanggup lagi mengasah gergaji kami (hukum ketujuh 7 habit by steven covey).
Sebab kami tahu perlakuan keluarga kami tetap tidak akan memanjakan hanya karena alasan sakit, maka kami berjuang sekuat tenaga agar tak sakit. Kalau pun memang waktunya sakit, maka kami menikmatinya sehari, menangis sebentar, ke dokter, mematuhi anjuran dokter, teratur meminum obat, mensugesti diri agar cepat pulih, lalu sembuh. Tidak sekali pun, kami diizinkan mengeluh. Bagi saya pribadi, saya belum pernah dan sepertinya tidak akan mau menggunakan emot ijo (tanda orang saki) di bbm, untuk mengupdate status. Emot itu seakan-akan emot terlarang bagi saya. Lebih ringan menceritakan apa yang saya rasakan melalui tulisan. Seperti saat ini...
Ingin sekali saya katakan pada kalian yang menyayangi saya--hingga mengomel karena nasihat untuk beristirahat kalian tak saya gubris--bahwa saya peduli pada nasihat kalian. Saya begitu terharu, tapi tidak semudah itu meluluskannya. Lagi-lagi perihal amanah dan nilai integritas yang tertanam pada diri saya sejak kecil. Maka, maklumilah... Kekeraskepalaan saya.
Because, it's so hard for me to say "I'm not okay"
Meta morfillah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H