Judul: The God Of Small Things (Yang Maha Kecil)
Penulis: Arundhati Roy
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Dimensi: xxxii + 420, 13.5 x 18.5 cm, cetakan kelima Mei 2009
ISBN: 978 979 461 402 0
Berlatar belakang sebuah desa di india, novel ini mengangkat banyak isu seperti gender, seksualitas, SARA, sejarah dan budaya pengklasifikasian kelas/strata di India. Secara cerita, novel ini mengalir tanpa ada twist, sebab semuanya telah ditampilkan di awal. Namun, semakin membaca kelanjutannya, kita akan dibawa maju mundur. Yaa... novel ini memiliki alur maju mundur yang membuat pembacanya harus konsen agar tak kehilangan pegangan, sedang ada di fase manakah saat membacanya. Semua cerita dipusatkan pada kedatangan hingga kematian Sophie Mol, anak Paman Chackoo yang berasal dari London. Satu hari yang mengubah segalanya.
Melalui sudut pandang Rahel kecil dan Rahel dewasa, serta sudut pandang ketiga, novel ini memusatkan cerita pada sebuah keluarga terhormat di Ayemenem. Mamachi, nenek Rahel yang terbiasa disakiti oleh suaminya, Papachi. Chackoo, paman Rahel yang merupakan lulusan Oxford, menyuarakan kesetaraan namun meniduri para pekerja wanitanya. Baby Kochamma, bibi Rahel yang mengalami kandasnya cinta pertama sehingga mengubah agamanya. Ammu, ibunda Rahel yang jatuh cinta pada Velutha dari kasta rendahan, The Untochable. Serta Rahel dan Estha, saudara kembarnya yang pernah mengalami pelecehan seksual di gedung bioskop.
Menurut saya, novel ini begitu berat. Sarat akan banyaknya pengungkapan akan keadaan India di masa itu. Pantas saja, bila di negaranya sendiri, novel ini begitu dihujat dan dilarang terbit. Namun, sebuah karya yang bagus tetaplah bersinar. Novel debut pertama Arundhati Roy ini memenangkan sebuah penghargaan literasi bergengsi.
Secara isi, gaya bahasa, saya agak menemukan kesulitan dalam menangkap makna-makna kalimat atau frase yang dihidangkan. Mungkin, karena memang ada beberapa kata yang sulit dicari padanannya dalam bahasa kita, sehingga agak menghilangkan estetikanya.
Secara tampilan, selayaknya buku sastra lainnya. Novel tebal ini, kurang cantik dikemas. Font yang digunakan begitu rapat, penuh, dan membuat ngantuk. Entahlah, saya masih saja mengharapkan novel-novel sastra dikemas dengan gaya kekinian, yang membuat orang tertarik membacanya. Tidak seperti buku teks yang langsung menjemukan dan harus mengumpulkan niat lebih untuk membacanya... hahaha.
Secara keseluruhan, saya memberi 4,5 dari 5 bintang.
Meta morfillah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H