Belum habis ingatan kita tentang berita siksaan yang dialami seorang anak oleh kekasih ibunya, kita dihadapkan lagi dengan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh murid taman kanak-kanak di sebuah sekolah Internasional di Jakarta.Begitu maraknya peristiwa kriminal yang menimpa anak. Sehingga sepertinya dunia ini dipenuhi oleh berbagai peristiwamenyeramkan yang mengintai kita.
Situasi tersebut pastinya akan menjadikan para orang tua lebih ekstra hati-hati dalam menjaga keselamatan putra-putrinya. Termasuk saya, yang hanya mengijinkan anak untuk pergi sekolah diantar jemput, walau dia merengek ingin berangkat sendiri naik sepeda.
Kadang ada perasaan bersalah saat anak dilarang ini dan itu, tapi di sisi lain ada pula rasa khawatir akan terjadi hal-hal yang menimpa anak. Dalam sebuah obrolan dengan seorang teman, dia bercerita kalau putrinya merengek meminta dibuatkan akun facebook, padahal usianya baru 9 tahun. Pada mulanya sang ibu tidak mau membuatkan akun tersebut, akan tetapi karena teman-teman anaknya memiliki akun di sosial media, maka sang anak pun dibuatkan akun tersebut.Pembuatan akun dilakukan dengan perjanjian, bahwa anak hanya boleh mengakses sosial media bersama ibunya dan hanya boleh berkenalan dengan teman sekolah dan keluarga. Begitu pula dengan anak saya yang merengek ingin pergi sekolah sendiri, akhirnya saya beri ijin, dengan catatan setelah sekolah usai harus langsung pulang dan kalau ada acara lain, maka harus memberi tahu dulu.
Mungkin saya salah satu dari sekian banyak orang tua yang seringkali dihinggapi rasa khawatir tadi. Anak pulang terlambat, anak tidak membalas sms, adalah kondisi-kondisi yang membuat perasaan orang tua terutama ibu menjadi senat-senut. Jelas sangan tidak mungkin kita mengikat anak-anak untuk tidak ke luar rumah, tapi lagi-lagi berita-berita kriminal tadi membuat hati terkadang jadi galau.
Protektif atau permisif
Saat masa saya kecil dulu, saya dikenakan jam pulang, yaitu jam maksimal saya harus berada di rumah. Saat SD, saya harus ada di rumah maksimal pukul 13.00. Saat SMP, karena saya aktif di Pramuka, maka jam pulang saya diperpanjang hingga pukul 14.00. Saat SMA, jam pulang saya makin panjang yaitu jam 17.00. dan saat di Perguruan Tinggi, jam pulang adalah pukul 19.00 karena waktu kuliah hingga pukul 18.00.
Bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah jam pulang masih ditetapkan? Mungkin saya termasuk orang tua yang semi konservatif, dimana saya masih menetapkan jam pulang. Setiap anak saya tetapkan harus ada di rumah maksimal satu jam setelah jam dia pulang sekolah. Andaikata ada rencana untuk ke rumah teman baik bermain maupun mengerjakan tugas, maka anak harus pulang dulu ke rumah dan selanjutnya dia bisa pergi ke luar dengan waktu yang telah disepakati. Itu pun maksimal pukul 16.00, dan anak harus menyampaikan akan bermain ke rumah siapa dan alamatnya dimana. Lagi-lagi bukan terlalu mengekang, akan tetapi untuk berjaga-jaga. Sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka orang tua dapat melakukan pengecekan.
Jalin komunikasi berkualitas
Dalam banyak artikel parrenting, disampaikan bahwa komunikasi antara orang tua dan anak adalah hal yang penting. Di sela-sela kesibukan sehari-hari, baik sebagai seorang pekerja, ibu rumah tangga, warga masyarakat dan segudang kegiatan lainnya, peran orang tua tidaklah dapat digantikan. Membangun komunikasi yang rutin dan intensif menjadi penting, sehingga anak selalu bercerita mengenai hal-hal yang dialaminya saat di sekolah maupun di rumah.
Saya ingat, saat kecil, orang tua selalu menanyakan kabar saya di sekolah hari itu. Apa yang dipelajari di sekolah, apakah ada peristiwa penting di sekolah atau selama perjalanan atau saat bermain bersama teman di rumah. Apakah ada hal-hal yang tidak menyenangkan atau hal yang menyenangkan. Bagi anak-anak yang masih berusia TK maupun SD umumnya masih mau untuk menceritakan peristiwa yang dialami di sekolah atau saat bermain. Sehingga orang tua dapat mengetahui hal-hal yang terjadi dengan anak.
Bagi remaja, tentu berbeda strateginya. Dongeng menjelang tidur bukanlah hal yang menarik lagi. Sehingga, strategi me time bisa menjadi alternatif yang digunakan. Berhubung gadis kecil saya sudah beranjak remaja, saya terkadang mengajak jalan-jalan putri saya berdua saja. Sekedar membeli buku, makanan atau hanya mengobrol. Itu saja tidak cukup, karena perbendaharaan obrolan pun juga perlu diperkaya, sehingga anak merasa orang tuanya cukup “gaul” dan masih asik untuk dijadikan teman.
Nasehat tanpa menggurui
Setelah semua disepakati, tak mungkin pula orang tua memantau setiap detik dan menit. Saat anak dikekang, maka dia tidak akan berkembang. Tapi saat dilepas tanpa pedoman, maka anak tak akan punya arah. Walau bagaimanapun, anak harus mengetahui mana yang benar dan yang salah, mana yang aman dan berbahaya. Bagi saya, pedoman masihlah menjadi hal yang penting, karena jangan sampai karena ketidaktahuan, anak mengalami hal yang tidak menyenangkan.
Memang saat ini kita tak selamanya bisa berkata tidak, sehingga perlu beberapa strategi untuk menjelaskan pada anak mengenai hal-hal yang boleh dan yang tidak. Dialog adalah cara yang paling memungkinkan digunakan. Sehingga anak memperoleh nasehat tanpa merasa digurui.
Saat semua sudah dijalankan, maka doa dan berserah adalah hal yang dapat dilakukan. Semoga kekerasan pada anak tidak semakin marak, dan anak-anak kita selalu diberi kesehatan serta lindungan Yang Maha Kuasa dimanapun mereka berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H