Bersedekah itu menajamkan mata hati. Memperhalus rasa. Kita bersedekah karena kemanusiaan kita menangkap ada “kekurangan” di sekitar kita. Rasa batin terhalus kita terpanggil karena ada manusia yang perlu “dikuatkan” oleh kita.
Bersedekah itu bukan urusan untuk menjadi kaya. Bukan.
Mengapa para ustadz itu lebih membahas dasar fiqih tentang pahala sedekah yang bisa membuat kaya? Bagaikan lagu yang terus diulang-ulang. Iming-iming balasan sedekah yang membuat kaya itu diputar terus menerus di tv, buku-buku, sosial media. Padahal para ustadz itu, dan juga para motivator itu, mempunyai jalur istimewa. Dapat berbicara di hadapan khalayak ramai, mempunyai followers berjuta-juta, kok ya yang disampaikan Cuma sebatas level itu.
Akhirnya orang miskin hanya jadi sarana agar si pemberi sedekah biar bisa lebih kaya. Anak yatim Cuma jadi minyak pelumas agar doa jadi lebih makbul.
Orang miskin dipelihara biar tetap miskin, anak yatim diundang sesekali kalau kita ulang tahun, diminta doanya agar rejeki kita tambah besar tahun depan. Setelah selesai, di taruh kembali di panti-panti asuhan, dibiarkan di simpang lampu merah. Mereka jadi asset agar dengan sedekah kita, kita bisa jadi lebih kaya.
Mengeluarkan sedekah itu dilandasi untuk menguatkan yang lemah. Membangun dunia yang lebih baik. Menghilangkan kemiskinan. Bukan untuk menjadi kaya sendiri.
Ouput kepribadian seperti apa yang akan kita panen jika pola pikir bersedekah kita bagaikan orang yang berjual-beli? Bersedekah sejuta lalu mengharap dibalas 700 kali lipat.
Akhirnya sedekah malah membuat kita serakah. Harusnya sedekah membuat kita lebih pemurah. Seperti salah satu namaNya yang indah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H