Mohon tunggu...
Meta Sekar Puji Astuti
Meta Sekar Puji Astuti Mohon Tunggu... -

Pengarang buku "Apakah Mereka Mata-Mata?" yaitu buku mengenai kisah orang-orang Jepang di Indonesia sebelum perang (sebelum 1942). Penulis di beberapa kolom koran dan website.\r\n\r\nPengamat sejarah dan budaya. Khususnya wilayah Jepang dan Asia Tenggara. Mencoba untuk belajar apa saja. Saat ini sedang bermukim di Tokyo, Jepang, untuk melanjutkan studi serta mendampingi suami yang sedang ditugaskan di KBRI Tokyo, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Monyet, Sarumawashi, dan Jokowi

7 Januari 2014   08:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Monyet lu!” “Dasar munyuk!”

Sering mendengar cacian atau umpatan semacam ini? Saya yakin, jawabannya iya. Mungkin, monyet dianggap sebagai makhluk pengganggu dan usil dengan tampang bego yang sebenarnya polos atau naif. Ini adalah kenyataan, sebagian masyarakat Indonesia memang memandang rendah makhluk Tuhan yang bernama monyet itu. Sejak kapan ungkapan itu digunakan, tapi status “rendah” monyet itu mudah sekali ditemukan dalam masyarakat kita.

Masyarakat Indonesia tidak hanya “mem-bully” monyet melalui kata-kata saja, sebagian masyarakat kita memperlakukan monyet tidak semestinya. Memburu dan memperjualbelikan di pasaran gelap. Bahkan mengeksploitasi mereka demi sesuap nasi. Mungkin saja dasar pikiran mereka, “Toh mereka cuma binatang,“ atau bisa juga, “Toh mereka hanya monyet.” Tentu hal ini menjadi miris karena ini mencerminkan rendahnya tingkat pendidikan. Tidak hanya itu, hal ini juga berkaitan dengan tingkat kemiskinan masyarakat kita. Bahkan ada istilah unik yang dilontarkan Jokowi sang gubernur Jakarta ketika menengok sebagian monyet yang dirazia Satpol PP DKI Jakarta, sebagian masyarakat kita ini “tidak berperikemonyetan”.

Lain padang lain belalang. Berbeda dengan di Jepang, monyet di Jepang boleh lebih berbangga diri. Monyet dianggap sahabat manusia. Di Nagano, di jigokudani ada sebuah onsen alias pemandian air panas yang dimanfaatkan oleh Japanese macaca alias, monyet asli Jepang. Tidak ada umpatan “khusus” dengan kata-kata monyet. Bahkan, monyet juga memiliki status yang lebih tinggi. Dari sisi sejarah dan budaya monyet dengan terhormat masuk dalam mitologi Jepang. Ya, monyet merupakan satu makhluk kepercayaan dewa-dewi. Mirip dengan cerita Hanoman di legenda Hindu atau Sun Bo Kong di Cina. Monyet dipercayai merupakan makhluk pembawa pesan dari dewa-dewi di surga.

[caption id="attachment_288750" align="aligncenter" width="450" caption="Sumber: http://www.jigokudani-yaenkoen.co.jp/japanese/img/_W9P1465.jpg"][/caption] Sejak abad ke-6 para penganut budaya Taoisme Koshin agama Shinto-Buddha sekte Tendai telah melakukan pemujaan untuk para monyet. Monyet hadir dalam elemen pengajaran agama Buddha dalam bentuk ikon, legenda dan seni yang banyak ditemukan di kuil Hiei di gunung Hiei di daerah timur laut Kyoto. Para sejarawan dan peneliti juga pesan moral “Tiga Monyet Bijak” alias Mizaru, Iwazaru dan Kikazaru berawal dari sini. Karya seni pahat yang sangat dikenal Mizaru, Iwazaru dan Kikazaru ini ada di Kuil Toshogu, Nikko. Pesan moral yang disampaikan oleh tiga monyet bijak itu adalah jangan melihat hal buruk, jangan mengucapkan kata buruk dan juga jangan mendengarkan kata yang buruk, karena akan mengganggu moral dan kelakuan kita. [caption id="attachment_288753" align="aligncenter" width="300" caption="Kikazaru, Iwazaru dan Mizaru (koleksi pribadi)"]

13890572661460728833
13890572661460728833
[/caption]

Jika di abad ke-6 monyet dilambangkan sebagai pelindung manusia dan tinggal di Nirwana. Di Abad pertengahan, monyet di Jepang kemudian menjadi sahabat manusia. Di abad ke-12 pertunjukan topeng monyet kolaborasi antara manusia dan monyet, alias sarumawashi (saru= monyet, mawashi=pelatih) mulai dipertontonkan. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah lukisan gulung yang dibuat pada masa itu yang diberi judul, “Sanjuniban Shokunin Itaawase Emaki.” Lukisan ini menunjukkan 30 profesi pria di masa itu. Sarumawashi adalah salah satu dalam profesi itu. Ide awal dari pertunjukan sarumawashi adalah pertunjukan khusus untuk merayakan tahun baru. Tujuannya adalah melindungi dan menyucikan para samurai dan pemuka masyarakat desa. Monyet yang dianggap lambang pelindung hasil panen dan makanan untuk warga desa. Jadi, pertunjukan ini merupakan harapan untuk mempertahankan pangan warga desa. Selain itu juga menghibur warga dengan mempertunjukkan parodi-parodi kehidupan manusia sehari-hari.

[caption id="attachment_288764" align="aligncenter" width="300" caption="The Macaque Sumber dari buku Connection: Cooperation and Conflict between Humans and Macaques. Koleksi Perpustaakn Tenri University"]

13890589121029295985
13890589121029295985
[/caption]

Pertunjukkan sarumawashi masih dipertahankan hingga saat ini. Pertunjukan ini dilakukan pada saat tahun baru atau di tempat-tempat wisata untuk menghibur para wisatawan. Salah satu panggung sarumawashi ada di wilayah Kawaguchi-ko. Salah satu danau di wilayah Prefektur Yamanashi yang memiliki pemandangan indah berlatar belakang gunung Fuji.

[caption id="" align="aligncenter" width="496" caption="Koleksi Smithsonian Institute. Sumber: http://www.asia.si.edu/collections/zoomObject.cfm?ObjectId=47729"]

[/caption]

Jokowi sendiri telah mencanangkan tahun 2014 untuk dijadikan tahun bebas topeng monyet (liar) di Jakarta. Pertunjukan topeng monyet dilakukan selayaknya dilakukan di tempat yang baik dengan pelatihan yang “berperikemonyetan” dan monyet-monyet dapat hidup dengan lebih baik. Kali ini saya sangat merekomendasikan Jokowi bisa hadir di Jepang untuk studi banding mengenai urusan “permonyetan”.

Nah, ini ada hal lain tentang Jokowi. Tahun 2013 yang lalu dikabarkan Jokowi akan bertandang ke Jepang. Pertama kali, menurut kabar Jokowi diundang oleh pihak Gaimusho (Kemlu Jepang). Konon ada beberapa agenda yang akan diberikan kepada Jokowi. Salah satunya meninjau sistem transportasi di Tokyo. Selain beberapa agenda yang lainnya. Ini bisik-bisik dari seorang staf Kemlu Jepang, boleh dipercaya boleh tidak, konon pemerintah Jepang mengamati pergerakan calon presiden Indonesia dan Jokowi dianggap capres potensial Indonesia, lho. Bahkan beberapa media Jepang pun tidak sungkan-sungkan mengamati fenomena Jokowi ini. Salah satunya Asahi Shinbun salah satu surat kabar terbesar di Jepang.

Kedua kalinya, konon presiden SBY mengajak beliau datang ke Tokyo bersamaan kedatangannya memperingati acara ASEAN-Jepang Desember lalu, entah untuk agenda apa, tapi kemungkinan mengenai pembicaraan transportasi lagi. Tapi, nampaknya Jokowi menolak datang kedua acara ini. Konon, beliau memberikan alasan yang klasik dan sederhana, "Jakarta akan memasuki musim hujan."Gara-gara musim hujan Jokowi batal mampir ke Tokyo.

Nah, kali ini, dengan semangat “berperikemonyetan” saya sarankan pak Jokowi untuk datang ke Jepang. Pertama, untuk mengunjungi pertunjukan dan pelatihan sarumawashi. Kedua untuk mengunjungi kuil Toshogu di Nikko untuk menikmati pusaka dunia kuil Toshogu di Nikko yang juga menampilkan ornamen si “Tiga Monyet Bijak” si Mizaru, Iwazaru dan Kikazaru. Selain, tentu saja, untuk mempelajari bagaimana mempertahankan bangunan dan pusaka budaya bagi masyarakat Jakarta.

Saran saya untuk masyarakat Indonesia? Mari kita pelajari hikmah filosofi Mizaru, Iwazaru dan Kikazaru saja.

Mari belajar bijak dari sang Monyet Bijak!

Tokyo, 7 Januari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun