Mohon tunggu...
Meta Sekar Puji Astuti
Meta Sekar Puji Astuti Mohon Tunggu... -

Pengarang buku "Apakah Mereka Mata-Mata?" yaitu buku mengenai kisah orang-orang Jepang di Indonesia sebelum perang (sebelum 1942). Penulis di beberapa kolom koran dan website.\r\n\r\nPengamat sejarah dan budaya. Khususnya wilayah Jepang dan Asia Tenggara. Mencoba untuk belajar apa saja. Saat ini sedang bermukim di Tokyo, Jepang, untuk melanjutkan studi serta mendampingi suami yang sedang ditugaskan di KBRI Tokyo, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Levitasi aka Terbang Secara Imajinasi: Inspirasi dari Buku Flying Traveller

15 Mei 2014   07:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:30 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengenal levitasi dari seorang fotografer bernama mas Armin Hari. Suatu ketika dia tunjukkan ke saya blog Yowa Yowa Camera-nya Natsumi Hayashi. Tentu saja saya takjub karena ada foto orang terbang tanpa sayap dan tanpa editan. Meski saya terkesan, tidak terlalu saya perhatikan. Pada saat itu, saya belum tertarik dengan levitasi hanya sebatas, tahu ada teknik berfoto nampak terbang nampak alami.

Tapi pada tahun 2012 saya mulai iseng-iseng mulai melakukan foto levitasi dengan beberapa teman. Saya mendapatkan pelajaran sederhana teknik membuat levitasi yang sebenarnya ilmu ini diwariskan oleh Junanto Herdiawan, salah seorang penggiat levitasi yang gigih dan belakangan semakin teguh eksistensinya dengan diterbitkannya bukunya yang berjudul Flying Traveller.

Semenjak saya mengenal levitasi, saya mencoba melakukan teknik ini tanpa beban dan juga hanya untuk “menghore”-kan saja. Sampai detik ini, meski kita sempat tinggal satu kota,  Tokyo, beberapa saat, saya belum pernah diajar secara langsung oleh mas Iwan, panggilan akrab mas Junanto untuk pengambilan foto levitasi. Juga, kita belum pernah berpose tandem untuk levitasi. Yang ada, adalah foto-foto bareng pada saat peluncuran buku Shocking Japannya, karena pada saat itu saya ditunjuk untuk menjadi moderator di satu diskusi mengenai Kompasiana dengan dedengkot Kompasiana, mas Pepih Nugraha.

Tapi, jangan lupa, ada dua foto warisan penting levitasi dengan mas Iwan. Ada dua foto levitasi yang dijepret oleh mas Iwan. Pertama, foto yang diambil, sebenarnya tidak direncanakan. Pada saat upacara peringatan kemerdekaan Indonesia di Wisma Duta Tokyo 2012, saya hanya ikutan meloncat di belakang fotonya mas Iwan untuk mengambil gambar para paskibraka. Hasilnya, cukup menarik, karena kita bertiga seakan terbang bersama-sama. Kedua, pada acara Faestival Indonesia di Mid-Town, Roppongi tahun 2012. Pada saat itu, kami bertemu berpapasan di jalan. Kebetulan mas Iwan bawa kamera. Akhirnya, saya todong dia untuk menjepret saya versi levitiasi. Bagaimana hasilnya? Tentu saja memuaskan, dong. Namanya hasil jepretan pakar levitasi di Indonesia.

Ini kedua foto hasil karya mas Iwan itu saya pasangkan di sini.

14000892471434441245
14000892471434441245

Nah, baru-baru ini saya, kebetulan, baru saja melakukan perjalanan ke Eropa untuk mencoba melihat bagian lain dari bumi ini. Terus terang, pada saat akan berangkat saya berpikir untuk melakukan levitasi, setidaknya untuk pengingat perjalanan pertama dengan seluruh keluarga saya. Alangkah menariknya jika di setiap tempat saya punya foto levitasi. Jujur saja, ini inspirasi dan ide yang saya dapatkan dari buku mas Iwan. Meski saya belum baca, tapi kira-kira semangatnya sama. Foto levitasi adalah satu upaya untuk penanda. Untuk menanam memori lebih tajam dan untuk mengenang perjalanan hidup kita. Tidak ada salahnya dicoba, kan?

Berhubung dengan keluarga, jadi saya bisa mengkolaborasikan dengan anak saya. Kalau melakukan perjalanan sendiri, meski ada tong bro (minta tolong dong bro) tapi untuk menyuruh orang memfoto levitasi kadang susah kolaborasinya kan?

Nah, akhirnya saya berhasil mengabadikan foto-foto saya versi levitasi. Sangat lumayan, setidaknya tidak jelek. Hehe. Dan betul, dengan levitasi, saya menjadi penanda saya di mana saya meloncat dan dari setiap lokasi, saya berusaha untuk googling, ini daerah apa, khasnya apa dan bagaimana. Begitulah. Saya yakin ini bagian inspirasi penting dari Flying Travellernya mas Iwan.

Nah, mencuplik pernyataan yang ada di facebooknya mas Iwan yang dicuplik dari mas Dewandra Djelantik, seorang fotografer profesional dari Bali, yang mengatakan, “Selama narsis masih halal dan legal…,” maka saya juga mempersembahkan kenarsisan saya di laman ini.

Perpaduan keindahan pemandangan Eropa dan levitasi, adalah perpaduan yang dahsyat.

Levitasi di Bologna di depan museum Lamborghini, mobil berlambang banteng mengamuk dan pernah menjadi bahan pembicaraan karena menjadi salah satu koleksi seorang koruptor di Indonesia :). Dan jangan salah pula, ada salah satu anak mantan presiden yang juga pernah menanam sahamnya di perusahaan ini juga.

Kebetulan secara tidak sengaja menemukan sebuah pelangi di tengah perjalanan pulang di suatu daerah di kota Bologna. Kesempatan yang tidak disia-siakan untuk mengambil levitasi di sini.

Levitasi di Venezia! Satu daerah terindah dan teromantis di dunia. Pernah menjadi lokasi banyak film karena keeksotisannya. Satu film yang banyak menjadi pembicaraan, adalah film Casino Royal-ya 007. Setidaknya pernah ke sini sekali dalam seumur hidup, jika mampu dan ada kesempatan.

Kedua anak saya berpose levitasi di depan stadion San Siro di Milano. Stadion ini merupakan pusat kegiatan dua klub Sepak Bola terkenal dunia, AC Milan dan Inter Milan (yang pemiliknya adalah salah satu orang kaya Indonesia, Erick Tohir). Orang Jepang juga senang berkunjung ke sini karena banyak pemainnya menjadi pemain tamu di sini, seperti Honda dan Nagatomo.

Siapa yang tidak kenal dengan Eiffel? Ikon Kota Paris yang banyak dijadikan lokasi syuting film Indonesia. Salah satu yang terkenal tentu saja, Eiffel I'm in Love dan yang baru-baru saja dirilis adalah film 99 Cahaya di Eropa. Sebenarnya ada tiruannya di Tokyo, Tokyo Tower. Meski Tokyo Tower lebih modern dan sedikit lebih canggih, tapi pesona Eiffel dan pesona romantisme Paris, tidak akan terbantahkan.

Ok, kalimat penutup. Pertama, untuk mas Iwan, selamat atas diluncurkannya bukunya. Terima kasih untuk inspirasinya dan untuk anti mainstreamnya.

Kedua, kalau saya bisa levitasi masak Anda tidak bisa melakukannya?

Tokyo, 15 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun