Mohon tunggu...
Meta Sekar Puji Astuti
Meta Sekar Puji Astuti Mohon Tunggu... -

Pengarang buku "Apakah Mereka Mata-Mata?" yaitu buku mengenai kisah orang-orang Jepang di Indonesia sebelum perang (sebelum 1942). Penulis di beberapa kolom koran dan website.\r\n\r\nPengamat sejarah dan budaya. Khususnya wilayah Jepang dan Asia Tenggara. Mencoba untuk belajar apa saja. Saat ini sedang bermukim di Tokyo, Jepang, untuk melanjutkan studi serta mendampingi suami yang sedang ditugaskan di KBRI Tokyo, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Ketika Orang Jepang Jago Pidato dan Baca Puisi dalam Bahasa Indonesia di Nanzan University, Jepang

25 November 2014   07:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:55 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416884325916644713

[caption id="attachment_377976" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - mahasiswa Jepang. (shutterstock.com)"][/caption]

Kali ini ketiga kalinya, saya hadir dalam acara lomba pidato dan pembacaan puisi yang telah diselenggarakan oleh pihak Nanzan University di Nagoya. Sebenarnya, saya sudah berpartisipasi selama 4 kali dalam penyelenggaraan lomba pidato bahasa Indonesia ini. Untuk pertama kalinya, saya turut andil dalam penyuntingan naskah serta beberapa kali latihan dengan peserta lomba. Meski saya tidak hadir dalam lomba tersebut. Tentu saja, peserta yang saya sunting hasil karyanya mendapat juara satu dong, hehehe.

Tahun 2012 saya pertama kalinya diminta tolong untuk menjadi dewan juri lomba pidato ini. Saya kebetulan datang mewakili KBRI Tokyo untuk menjadi dewan juri. Pada saat itu, saya cukup terkejut dengan melihat penampilan para peserta. Waktu itu pertama kali dilakukan lomba puisi untuk pertama kalinya, kalau saya tidak salah ingat. Saya lupa persisnya berapa jumlah pesertanya. Tapi yang saya ingat persis, pemenang lomba pembacaan puisinya merupakan seseorang karyawan sebuah perusahaan yang mengaku tidak pintar berbahasa Indonesia.

Selain itu, saya juga ingat persis, pemenang kedua lomba pidato bahasa Jepangnya menceritakan kekagumannya pada Jokowi. Ya, Jokowi. Hehehe. Buat saya, ini hal yang sangat mengagetkan. Kenapa? Jarang sekali generasi muda Jepang yang suka membahas mengenai politik di depan umum. Lha kok tiba-tiba, Jokowi dibahas. Ini bukan hal yang umum. Peserta lainnya, umumnya membahas hal-hal perbedaan budaya Jepang-Indonesia atau pengalaman pribadinya atas keterkejutannya sebagai orang Jepang yang pertama kali ke Indonesia. Biasa saja, tapi kadang penceritaannya mendetil dan kadang tidak terduga oleh banyak orang Indonesia.

Tahun 2013, saya datang bukan sebagai dewan juri. Tapi saya datang sebagai pengamat. Tapi saya terkejut luar biasa karena kemampuan pesertanya menanjak cukup tajam. Pada tahun 2012, peserta pembacaan puisinya, terlihat terbata-bata dan juga masih belum bisa melakukan ekspresi yang pas. Pada tahun 2013, mereka mulai merekam dan mencatat kelemahan peserta tahun sebelumnya. Orang Jepang yang sangat pelit dan tidak berani melakukan ekspresinya, mulai bermain “cantik” dengan memainkan ekspresinya dengan jauh lebih baik. Rupanya selera dewan juri tidak begitu beda dengan tebakan buah manggis saya. Bukan apa-apa, peserta yang menonjol sangat cepat bisa diduga.

Pembacaan puisi, yang menurut saya cukup dramatis, mengantarkan mahasiswa Nanzan University memenangkan pembacaan puisinya. Hal ini tidak terduga pada tahun sebelumnya karena tahun 2012 banyak yang macet, sehingga banyak dibantu, dan hampir semuanya tanpa ekspresi. Tapi yang mengesankan bagi kedua pemenangnya, keduanya mendapatkan tiket Garuda pulang-pergi dari Jepang ke Indonesia. Lebih khusus lagi, mereka mendapatkan tiket tidak hanya sampai di pintu gerbang Indonesia saja, Denpasar atau Jakarta tapi bisa kali ini, mereka sampai ke Padang dan Makassar atas ide atase pendidikan dan kebudayaan KBRI Tokyo.

Pada tahun 2014, tahun ini, saya boleh berbangga hati karena diberi amanah untuk menjadi dewan juri kembali. Jumlah pesertanya sama dengan tahun sebelumnya, 10 peserta untuk lomba pidato dan 10 peserta untuk pembacaan puisi. Sayangnya, ada satu yang tidak datang karena sakit. Tapi untuk kali ini saya betul-betul menikmati lomba pidato bahasa Indonesia ini. Mengapa? Pertama, untuk kali pertamanya, lomba kali ini diikuti oleh empat orang siswa-siswi sebuah SMA internasional di wilayah Nagoya dan Kanto. Buat saya, hal ini merupakan kebanggaan tersendiri karena mereka, (harus) dan terpaksa, belajar bahasa Indonesia yang bukan bahasa ibunya, bahkan mungkin hanya bahasa minor yang mereka pelajari. Ini hal yang cukup mengejutkan, buat saya.

Baik, saya akan ceritakan bagaimana suasana dan persaingan lomba ini. Lomba ini, dimulai dengan lomba pembacaan puisi. Lomba pembacaan puisi ini dilakukan secara penghapalan, tanpa teks. Tapi kalau ternyata betul-betul lupa, seorang dosen memberikan petunjuk dan membacakan kelanjutan pusinya. Puisi-puisi yang dibacakan merupakan karya-karya klasik sastrawan besar Indonesia, termasuk Antara Karawang dan Bekasi karya Chairil Anwar atau juga Antara Tiga Kota-nya Emha Ainun Nadjib. Puisi yang perlu pemahaman yang cukup baik oleh pembacanya.

Hal yang paling menyenangkan dari bagian pembacaan puisi ini, hampir semua peserta memberikan ekspresi terbaiknya. Tidak malu-malu seperti orang Jepang pada umumnya dan bersedia untuk sedikit “berakting” untuk penjiwaannya. Satu hal lagi, peserta tidak perlu untuk memahami bahasa Indonesia, sepenuhnya. Hal yang penting dalam lomba ini adalah, kejernihan pengucapan, ekspresi serta hafalannya. Hampir 100% peserta saya beri nilai tinggi untuk penghafalannya.

Semuanya tidak ada kejadian macet yang cukup lama seperti tahun-tahun sebelumnya. Meski sejujurnya, untuk memahami puisi-puisi “berat” itu perlu kemampuan untuk menjiwai dan pemahaman latar belakangnya. Toh banyak yang meleset juga, kapan ekspresi untuk sedih, untuk semangat dan sebagainya. Bahkan ada yang membawa buah pisang untuk membantu ekspresi pistol-pistolan dari batang pisang. Hehehe. Tapi harus diakui, semangat mereka luar biasa.

Tapi ada hal yang sangat menarik untuk saya amati kali ini. Meskipun 100% merupakan peserta berkewarganegaraan Jepang, tapi ada nama-nama berbau asing yang tampil. Satu namanya bernuansa Italia (serta wajahnya tentu saja), satu lagi dua namanya bernuansa Asia Tenggara (dan juga mukanya) serta satu lagi dari namanya seperti bernuansa Spanyol meski bertampang Asia Tenggara. Meski dari awal saya tidak tahu mereka itu siapa-siapa saja, saya hanya menduga-duga, tapi saya punya keyakinan mereka merupakan warga Jepang berdarah campuran. Tahukah Anda, kalau tebakan dan feeling saya tepat sekali? Hehehe…

Nah, lomba ini menjadi sangat menarik karena saya tahu persis orang Jepang totok, apalagi yang tidak mengenal luar negeri, biasanya ekspresinya kalah dengan orang-orang Eropa atau Amerika, atau bahkan Asia Tenggara. Apalagi kalau itu orang Italia atau Filipina. Pasti sebagian besar dari Anda paham, apalagi kalau Anda menggemari film Godfather, orang-orang Itali itu adalah orang-orang yang ekspresif dan gemar bercakap-cakap. Orang Filipina? Yah, Anda juga tahu orang-orang daerah ini suka menyanyi dan dansa-dansi, kan? Banyak orang Filipina merupakan entertainer sejati, sekaligus bahasa Tagalognya juga memiliki banyak kemiripan dengan bahasa Indonesia. Lihat saja ada kata "sepato" untuk "sepatu", "ako" untuk "aku" juga ada kata "mahal" dan "salamat" yang artinya pun juga mirip.

Seperti dugaan saya, peserta yang namanya “berbau” asing itu memang menampilkan performa yang sedikit berbeda. Jujur saja, ekspresi mereka lebih lepas dan menjiwai dibandingkan peserta yang bertampang “Jepang banget”. Ini bukan SARA lho, ya. Tapi harus diakui, ekspresi nama-nama yang berbau “luar Jepang” lebih meyakinkan, lebih santai, ekspresi lebih pas serta pengucapan yang baik menjadi modal utama mereka. Lafal bahasa Italia atau bahasa Filipina memang mirip bahasa Indonesia, kan? Naaah….

Pada lomba pembacaan puisi, dua dari tiga bernama “asing”. Lebih hebatnya lagi, juara pertamanya adalah satu dari rombongan anak-anak SMA itu! Juara keduanya, juga satu dari peserta yang memiliki nama “asing”. Tampak jelas, si pemenang pertama seakan tidak pernah menyangka akan memenangkan lomba ini. Saya sih hanya menduga-duga saja, mereka pasti memiliki kemampuan bilingual, setidaknya bahasa Jepang dan bahasa, entah bahasa ibu salah satu orang tuanya asalnya. Tapi setidaknya tebakan saya saat penjurian tidak meleset, kan?

Beda di lomba pidato. Kali ini materi pidato bahasa Indonesia menurut saya hampir rata. Meskipun sederhana-sederhana, tapi baru kali ini hampir kesemua temanya bagus dan menarik. Tapi, kali ini mulai menampilkan topik-topik budaya lokal, pemahaman agama, atau bahkan jurang antara miskin dan kaya. Tapi baru kali ini rasanya, tema dan isi lomba pidatonya merata. Tidak ada yang begitu menonjol. Khas, olahan orang Jepang, temanya sederhana tapi menohok.

Bahkan ada yang menghubungkan tingkat kepuasan orang Indonesia dan Jepang dalam naik kereta api. Menurutnya, orang Jepang, terutama anak mudanya, lebih banyak tidak bersyukur karena kualitas kehidupan yang sudah sangat tinggi di Jepang. Bahkan, ia belajar dari ilmu Ki Ageng Suryo Mentaram, filsuf Jawa yang memiliki ilmu bahagia dengan, pasrah ing pandum. Coba, kita pikir, masihkah anak muda Jawa memiliki semangat untuk mengetahui ilmu bahagia khas Jawa? Rasanya sudah sangat jarang. Malahan, seorang anak muda Jepang, yang nampak mencintai bahasa dan budaya Indonesia, memberikan contoh filsafah Jawa ini kepada orang Jepang, dan juga menyentil saya, sebagai orang Jawa, untuk kembali belajar mengenai falsafah Jawa.

Selama tiga tahun terakhir ini saya belajar banyak dari lomba pidato bahasa Indonesia ini, baik yang diselenggarakan di Nanzan University, Nagoya atau Kanda Foreign Language University di Chiba. Baik dari tema-tema yang menjadi isi pidato maupun keberanian dan kecintaan orang-orang Jepang, khususnya kalangan muda, akan budaya dan bahasa Indonesia. Kemauan mereka untuk belajar bahasa Indonesia, seakan menjadi semacam peringatan, bahwa kita bangsa Indonesia, juga seharusnya bangga serta merawat kebanggaannya dengan menggunakan bahasa Indonesia, dengan baik dan benar. Semoga.

Tokyo 25 November 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun