Mohon tunggu...
John Kanath
John Kanath Mohon Tunggu... -

sangat cinta Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Papua Merdeka?

26 Mei 2014   15:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:06 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14010689311153963924

Sebuah pertanyaan yang tak perlu berpikir terlalu dalam untuk menjawab. Karena jawabannya adalah tidak perlu. Mengapa demikian? isu ini bisa dipelajari dari beberapa faktor. Pertama adalah alasan-alasan yang menyebabkan masyarakat Papua ingin merdeka dan kedua adalah alasan-alasan yang mendukung Papua untuk tetap menjadi bagian dari NKRI.

Berikut ini adalah beberapa analisis faktor-faktor masyarakat Papua ingin merdeka

Pertama, pemahamanlatar belakang sejarah yang keliru. Bergabungnya Papua ke dalam bingkai NKRI dianggap oleh sebagian masyrakat Papua sebagai proses yang ilegal. Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dianggap tidak merepresentasikan aspirasi seluruh rakyat Papua karena dilaksanakan dengan sistem perwakilan, bukan one man one vote. Hasil Pepera juga dianggap telah dimanipulasi oleh pemerintah Republik Indonesia.

Kedua, perbedaan secara fisik. Sebagian besar masyarakat Papua mempunyai ciri fisik yang “berbeda” dari suku-suku di Indonesia lainnya. Hitam kulit dan keriting rambut, adalah hal yang menjadikan mereka merasa berbeda dan merasa bukan bagian dari rakyat  Indonesia. Penampilan fisik orang Papua mirip dengan suku-suku di Afrika ketimbang suku-suku di Indonesia yang berkulit sawo matang dan berambut lurus.

Ketiga, rasa kecemburuan sosial. Wilayah geografis yang luas dan lautan yang kaya menjadi polar magnet yang sangat kuat bagi masyarakat di belahan Indonesia lainnya untuk datang ke Papua. Dengan bermodal keahlian dalam bidang pertanian, perikanan dan perdagangan serta tekad kuat untuk mengubah nasib, orang-orang dari suku Jawa, Sumatera, Batak, Sulawesi dan lainnya mengadu nasib ke Papua. Fenomena ini terjadi sejak kembalinya Papua ke NKRI tahun 1963. Hasilnya sudah bisa ditebak, mereka sukses menaikkan taraf perekonomiaan dan derajat hidup. Seperti kondisi di sebagian besar negara manapun, masyarakat pribumi selalu kalah bersaing dengan pendatang. Kondisi ini menyebabkan kecemburuan yang tinggi bagi masyarakat asli Papua karena mereka kalah bersaing dengan pendatang. Orang Papua merasa tersisih dan merasa bukan lagi sebagai pemilik tanah leluhurnya. Pendatang dianggap sebagai penjajah yang akan menguasai Papua.

Keempat, kekecewaan terhadap pemerintah. Masyarakat Papua menganggap bahwa pemerintah telah gagal membangun Papua, baik dari segi kesejahteraan, pendidikan, kesehatan dan apek kehidupan lainnya. Pembangunan di atas tanah Papua dianggap tidak sebanding dengan kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Papua.

Sementara itu, dibalik faktor keinginan Papua merdeka, berikut ini adalah alasan Papua tetap menjadi bagian dari NKRI.

Pertama, sejarah sudah membuktikan bahwa pelaksanaan Pepera sudah benar dan tanpa rekayasa. Faktanya adalah pada saat itu sangat tidak dimungkinkan untuk dilaksanakan sistem pemungutan suara one man one vote karena masih rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman rakyat Papua dan juga faktor geografis yang sangat menghambat. Pelaksanaan Pepera pun dimonitor secara langsung oleh delegasi badan dunia PBB dan sudah disahkan dengan resolusi PBB nomor 2505, pada tanggal 19 November 1969, serta diakui oleh negara-negara anggota PBB. Jadi, pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan Pepera sebaiknya belajar kembali tentang sejarah yang benar dan dari sumber-sumber yang benar pula.

Kedua, perbedaan secara fisik bukanlah merupakan suatu alasan pembenaran untuk suatu kaum untuk tidak mau bergabung dengan kelompok lain. Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan bahwa bangsa ini sangat menghargai keanekaragaman. Dan justru menjadikan keanekaragaman sebagai sebuah kekuatan. Kita bisa mengambil contoh negara Amerika Serikat. Seorang Barrack Hussein Obama yang notabene berkulit hitam dan keturunan Afrika sangat gigih memperjuangkan kesejahteraan rakyat Amerika dengan jabatannya sebagai presiden. Warga Amerika yang berkulit hitam pun tidak pernah mempermasalahkan ciri fisiknya yang berbeda dari kebanyakan warga Amerika lainnya.

Ketiga, kesuksesan pendatang dalam menaikkan taraf kesejahteraan hidup merupakan buah dari kerja keras dan jiwa pantang menyerah. Tidak ada kesuksesan tanpa jerih payah dan peluh keringat, pun dengan masyarakat pendatang. Seharusnya kita orang asli Papua mau belajar dari kerja keras masyarakat pendatang sehingga kesuksesan pun senantiasa datang. Kita tidak perlu iri dan memusuhi pendatang. Sebaliknya, perlu didekati dan “dicuri” ilmunya. Anggapan bahwa yang punya hak di tanah Papua hanyalah orang asli Papua adalah anggapan yang perlu dibuang jauh-jauh. Tanah Papua adalah tanah pemberian Tuhan dan semua orang Indonesia berhak hidup di atas tanah Papua. Dikotomi asli dan pendatang dalam konteks “siapa yang lebih berhak” adalah isu menyesatkan dan non populis.

Keempat, kita tidak boleh munafik dan tutup mata terhadap kinerja pemerintah dalam membangun Papua. Program Otonomi Khusus (Otsus) memberikan kesempatan yang sangat luas bagi putra-putri terbaik Papua untuk membangun Papua. Pun begitu dengan program Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), sebuah lembaga yang dibentuk untuk mendukung koordinasi, memfasilitasi, dan mengendalikan pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Orang Papua harus cerdas dalam menyikapi anugerah Tuhan berupa kekayaan alam dalam perut bumi Papua. Potensi itu seharusnya dijadikan motivasi untuk belajar dengan lebih giat lagi sehingga pada saatnya dengan ilmu yang dimiliki mampu mengolah sumber daya alam itu dengan baik.

Sebagai penutup, marilah kita bersama-sama membangun Papua agar lebih baik lagi. Hilangkan rasa benci dan dengki terhadap manusia yang mempunyai ciri fisik yang berbeda. Karena kita semua bersaudara. Hilangkan niat dan rasa ingin memisahkan diri. Karena apapun itu, NKRI yang terbentang dari Sabang sampai Merauke adalah harga mati. Seluruh komponen bangsa siap membela tiap jengkal NKRI, walaupun harus menumpahkan peluh dan darah.

Foto: www.antaranews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun